Minggu, 11 Desember 2016

Ilmu Sosial Humanis



Margaret M. Poloma dengan mengutip Cotton (1966) dan Wrong (1976) menjelaskan; Berbeda dengan sosiologi naturalistis atau positivis, sosiologi humanistis bertolak dari tiga isu penting, yaitu: pertama, tidak seperti sosiologi naturalistis, sosiologi humanistis menerima “pandangan common-sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya di atas pandamgan itu; kedua, para ahli sosiologi humanis itu yakin bahwa pandangan common-sense tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan sosiologis berasal. Dengan demikian, pembanguan teori dalam sosiologi bermula dari hal-hal yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari dan umum; ketiga, sosiologi humanis “mengetengahkan lebih banyak maslah kemanusiaan ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dalam ilmu-ilmu alam untuk mempelajari masalah-masalah manusia” (Poloma, 1994: 10).
Humanisme ilmu sosial menolak positivisme yang mengambil alih metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Aliran ini berangkat dari filsafat Kantian yang menolak fakta sosial, angka dari suatu rumusan umum, dan mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (objek). “ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. epistemology transcendental Immanuel Kant menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kebingungan dari kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Dunia hanya dapat diketahui hanya melalui proses penyaringan, seleksi, dan pengkategorian kejadian-kejadian” (Ritzer, 2000: 25), kemudian melahirkan aliran ilmu sosial Kantian yang menolak positivisme, seperti Max Weber dan W. Dilthey.
Max Weber (1864-1920) dapat disebut yang mengawali aliran humanism dalam sosiologi, mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena ‘spiritual’ ‘atau’/’ideal’, yang sesungguhnya merupakan ciri khas dari manusia, yang tidak ada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Pendekatan untuk ilmu sosial tidak seperti dalam tradisi positivisme yang mengasumsikan kehidupan sosial atau masyarakat selayaknya benda-benda, tetapi ia meletakka pada realitas kesadaran manusia sehingga muncul usaha untuk memahami dan menafsirkan.
Menurut Anthony Giddens (1986) Weber menekankan bahwa ‘dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kita berurusan dengan gejala-gejala jiwa yang “memahaminya” dengan sungguh-sungguh dan tentu saja merupakan suatu tugas dari suatu jenis yang khusus berbeda dari fenomena-fenomena yang bisa diterangkan atau diusahakan agar bisa diterangkan oleh rencana-rencana ilmu pengetahuan alam eksakta pada umumnya (Giddens, 1986: 164-179). Weber selain mendekati ilmu sosiologi, melalui konsep Kantian, dia juga telah berusaha membuat garis penghubung perdebatan antara positivisme dan humanisme.
Alfred Schuzt, di Austria, ikut meletakkan dasar aliran humanisme melalui fenomenologi, baginya subject matter (pokok pikiran) sosiologi adalah melihat bagaimana cara manusia mengangkat, atau menciptakan, dunia kehidupan sehari-hari (Ritzer, 2000: 387), atau bagaimana manusia mengkonstruksi realitas sosial. Schuzt sendiri merupakan pelanjut pemikiran Edmund Husrell dan juga Weber, yang lebih dahulu meletakkan dasar humanisme ilmu sosial. Pendekatan mereka mencirikan historisisme (Berger dan Luckman, 1966: 10).
Setelah Schuzt dengan fenomenologinya, dalam ilmu sosial kontemporer Peter L. Berger dan Thomas Luckman merupakan generasi yang melanjutkan tradisi humanisme ilmu sosial melalui sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge-wissenssoziologie). Beberapa ilmuwan sosial menyebut sosiologi pengetahuan Berger seperti usaha Weber adalah usaha menjembatani anatar positivis dan humanis. Berger sering diposisikan sebagai aliran humanis yang juga memanfaatkan pendekatan fakta sosial. Berger memasukkan konsep realitas objektif dan subyektif dalam dialektika simultan. Poloma menyatakan “bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan” (Poloma, 1994: 303).
Aliran ilmu sosial humanistis memandang bahwa sejarah dan pemahaman terhadap dunia sosial, dunia sehari-hari yang meliputi tindakan dan pemaknaan, bahasa, menjadi pijakan untuk melihat realitas sosial.


Referensi:
Novri Susan. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar