Minggu, 25 Desember 2016

Estetika dan Pendidikan



         

   John Dewey berpendapat, bahwa seseorang dapat memahami segala sesuatu sebagai sains melalui penggunaan intelegensinya, namun hal itu akan lebih mendalam jika disentuhkan dengan praktik lain, yaitu seni. Bahkan dengan tegas Dewey mengatakan bahwa hanya orang yang mendapatkan imaji seni dalam titik fokus argumentasinyalah yang akan dapat mengembangkan klaim-klaim scientific inquiry. Dengan seni, seseorang akan dapat menekuni apa saja yang dilakukannya dengan rasa senang, bahagia dan penuh semangat, sehingga dengan begitu ia akan dapat memaksimalkan potensinya untuk mencapai apa yang diinginkannya.
            Estetika merupakan studi nilai dalam realitas keindahan. Nilai estetika biasanya sukar untuk dinilai, karena nilai-nilai ini menjadi nilai milik personal dan sangat subjektif. Karya seni tertentu umpamanya akan memunculkan banyak respon dari orang yang berbeda. Siapa pun orangnya, jika ia meyakini, bahwa ada nilai estetika yang objektif, tentulah ia dapat menentukan keputusan-keputusan yang mengarah pada seni yang baik dan diterima oleh banyak orang sebagai sebuah karya yang bernilai seni.
            Keindahan dapat diputuskan melalui penggunaan kriteria-kriteria yang dikatakan oleh pihak yang berwenang. Dan siapa pun dapat mengklaim bahwa setiap karya seni memiliki skor rendah dalam suatu kriteria, maka sejarahlah yang akan membuktikan nilainya itu. Kriteria objektif ditujukan kepada pendatang baru di mana mereka menjadi standar baku kritisisme. Buku-buku teks literatur, seni, dan music diarahkan pada standar-standar ketika materi-materi penilaian dan apresiasi diberitahukan kepada subjek-subjek didik. Sesungguhnya bagaimanapun juga bahwa kritik otoritatif dapat berbeda secara luas ketika menilai suatu karya seni yang memaksa kita kembali pada persoalan kita semula. Siapa yang mengatakan bahwa respon mana yang paling pantas. Sayangnya kita tidak dapat melacak kepada sains untuk menjawab persoalan ini. Pengetahuan saintifik secara luas tidak relevan untuk memutuskan karya seni.
            Walaupun telah sekian abad persoalan penting ini didiskusikan dalam kajian estetika, haruskah seni dihadirkan kembali? Atau haruskah ia menjadi produk imajinasi penciptanya? Menurut pendapat pertama, seni harus mereflesikan sepenuhnya kehidupan dan pengalaman anak manusia. Sementara pandangan kedua ekspresi seni itu sendiri secara spontan berhubungan dengan aspek kehidupan yang menarik bagi seniman. Contohnya sebuah gambar tidak pernah menjadi imitasi bagi gambar sebelumnya. Seniman melahirkan keinginan  dan pengalaman personalnya. Ia mengekspresikan perasaannya tentang kecantikan dan keburukan dari dunia ini atau boleh jadi menunjukkan bagaimana dunia ini semestinya menurut tatanan normatif yang digambarkan. Menurut pandangan ini, seniman menikmati kebebasannya tanpa batas untuk menggunakan mediumnya dalam upaya mengisi kreativitas dirinya.
            Menurut kedua pandangan ini, persoalan yang tampil adalah berkaitan tentang apa subjek matters yang lebih baik dan pantas dan apa scope seni itu sendiri. Sebagian orang berpendapat bahwa jika seni itu merupakan ekspresi kehidupan, maka tentulah berkenaan dengan aktivitas kehidupan manusia. Sementara yang lain berpendapat bahwa seni itu mesti memerankan fungi sosial, karena memang inti aktivitas seni adalah mengajak orang lain turut merasakan apa yang seniman rasakan dan atau apa yang seniman pikirkan. Seniman harus berbicara pada semua manusia tentang massanya, kendatipun masih ada sekelompok orang yang merasa skeptic akan tanggung jawab sosial dari seniman.
            Bagi John Dewey, kehadiran seni itu sendiri menjadi alat bagi akal manusia untuk memandang dunia yang satu dalam kaitannya dengan dunia yang lain. Seni selalu tampil dalam wujud kreativitas manusia dalam memanipulasi suatu realitas ke realitas lain sesuai dengan cita frasa yang diinginkan. Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa keseluruhan aktivitas intelek manusia baik dalam level proses produktivitas dan konsumsi maupun pada level kritik sesungguhnya merupakan tindakan seni.
            Keindahan sebagai ekspresi seni seseorang akan memuncurkan kesukaran, kesenangan dan kenyamanan orang yang menikmati apa yang ia kerjakan yag dalam banyak unsurnya dapat melahirkan rasa cinta yang biasanya tampil dalam rupa keasyikan seseorang berlama-lama menikmatinya dan ingin selalu bersamanya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, seni mempunyai peranan penting dalam memunculkan kenyamanan proses pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok. Ketika seorang anak didik telah merasa nyaman dengan suatu kondisi, maka ia pun akan bertahan lama dan bahan mungkin akan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar tanpa mudah merasa lelah.
            Dalam konteks ini, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa wujud keindahan adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari cinta kasih semesta. Keindahan dapat hilang seiring dengan adanya perubahan cara pandang subjek yang menikmatinya, namun rasa cinta bersifat abadi dan karenanya, rasa cintalah yang dapat memperlihatkan rahasia kehidupan. Keindahan tampil dari wujud ekspresi seseorang diri manusia dalam melihat dan melihat suatu realitas.
            Pendidikan dalam segala aktivitasnya selalu terkait dengan wilayah seni, karena memang mendidik itu sendiri adalah pekerjaan seni. Bahkan tidaklah salah jika dikatakan bahwa hampir keseluruhan kualitas aktivitas pendidikan itu ditentukan oleh kualitas seni yang ditampilkan. Pendidikan yang mengikutkan estetika sebagai sesuatu yang penting dalam setiap gerak langkahnya, menjadikan aktivitasnya hidup dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan, sehingga subjek didiknya akan betah dalam menjalankan proses belajar, karena memang tidak tersentuh oleh watak keterpaksaan yang akan menyiksa dirinya. Tindakan edukasi apa pun dilakukan guru yang akan enak dipandang, suaranya enak didengar, bahasanya jelas dan mudah dipahami, tidak membosankan subjek didik mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan jika dalam keseluruhan entitasnya dibangun di atas nilai-nilai estetika. Ketika seorang guru mengadakan interaksi dengan subjek didiknya dengan menerapkan nilai estetika yang tinggi, baik dalam penampilan maupun dalam interaksi pembelajaran, tentu akan lebih disukai oleh subjek didiknya daripada yang tampil seadanya.
            Kecuali itu, ketika aktivitas kependidikan dalam keseluruhan aspeknya bernilai estetis, tentu akan melahirkan suasana yang tidak menjenuhkan dan menegangkan yang akan memunculkan kecemasan-kecemasan yang tentu akan dapat mengganggu proses pembelajaran itu sendiri. Pendeknya, estetika dan pendidikan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, tidak saja karena aktivitasnya yang membutuhkan nilai estetis, tetapi juga mengingat entitasnya yang memang juga akan membangun nilai-nilai estetis dalam diri subjek didik.

Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.








2 komentar: