Minggu, 11 Desember 2016

Sosialisasi Dan Konflik Alamiah



Perkembangan ilmu sosial telah memperoleh fondasi tradisi pemikiran yang berkembang di Eropa dari determinisme ekonomi dan perjuangan kelas dari Marx, teori-teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan fakta sosial dari Durkheim. George Simmel, meramalkan diskursus intelektual melalui pemikiran yang bercorak realis dan interaksionis. Ia tumbuh di pusat kebudayaan dagang orang-orang Yahudi di Belin. Pada saat dewasa ia mempelajari filsafat dan sejarah. Hal ini menjadikan Simmel seorang ilmuwan murni, tidak berpretensi membangun ideology perubahan seperti Marx. Simmel adalah bapak dari sosiologi konflik, selain istilah yang ia berikan terhadap disiplin ini namun jua analisisnya yang komprehensif mengenai sosiologi konflik.
            Menurut Turner, kunci perspektif sosiologi Simmel secara umum adalah relasionisme, sosialisasi, dan bentuk-bentuk sosial. Relasionisme menjelaskan bahwa tidak ada satu pun unsur-unsur sosial dapat dipahami melalui isolasi tetapi selalu dalam kondisi saling keterkaitan dengan totalitas. Sedangkan bentuk-bentuk sosial menunjuk pada keberadaan lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, bentuk pertukaran sosial, jaringan, dan lain-lain (Turner, 1999: 147-149). Sedangkan bentuk sosiologi formal Simmel ditunjukkan melalui sosialisasi (socialization: Vergesellschaftung). Sosialisasi merupakan proses yang menghubungkan bagian-bagian menjadi suatu keseluruhan sistem, menghubungkan antar-individu menjadi masyarakat. sosialisasi adalah bentuk (dinyatakan dalam berbagai cara yang begitu banyak) para individu tumbuh bersama ke dalam kesatuan dan di dalam kepentingan-kepentingan mereka yang terealisasikan (Simmel, 1971: 24).
            Sosialisasi melihat pada proses interksi sosial sebagai cara memciptakan persatuan tersebut. Menurut Lallement “Simmel mengajukan sebuah konsep kunci, yaitu konsep tindakan timbale balik. Melalui tidakan timbale balik secara sederhana ia memahami pengaruh yang diberikan seseorang kepada sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi yang beragam (insting erotis, kepentingan praktis, keyakinan religious, keharusan untuk bertahan hidup atau untuk menyerang, kesenangan bermain-main, pekerjaan, dan sebagainya …) dan – tanpa pernah berhenti bergerak – itulah totalitas seluruh tindakannya yang memberi kontribusi untuk mempersatukan totalitas individu menjadi satu masyarakat global” (Lallement, 2004: 64).
            Fenomena konflik dipandang sebagai proses sosialisasi. Sosialisasi bisa menciptakan asosialisasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. sebaliknya, sosialisasi juga bisa melahirkan disasosialisasi yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya feeling of hostility secara alamiah. Simmel menyatakan: “The actually dissociating elements are the causes of the conflict – hatred and envy, want and desire” (unsur-unsur yang sesungguhnya dari disasosialisasi adalah sebab-sebab konflik – kebencian dan kecemburuan, keinginan, dan nafsu) (Simmel, 1903: 409).
            Teori sosialisasi Simmel mengenai konflik, bisa dipahami melalui konsep “geometry of social space”. Simmel memberi perspektif hubungan konflik dan mediasi yang menarik. Simmel menggambar hubungan dyad (dyadic relationship) dan triad (triadic relationship). Dalam hubungan dyad yang terdiri dari dua peserta, sifat hubungan itu adalah konfrontatif. Pengertian integratifnya, dua peserta saling bergantung satu sama lain. Karena kepergian satu partisipan akan menghancurkan hubungan tersebut. Perubahan polulasi, dari dyad menjadi triad memberi perubahan kualitatif yang mendasar. Dalam hubungan triad, salah satu peserta mungkin akan ditinggalkan oleh koalisi dua peserta lainnya. Strategi lainnya yang mungkin adalah kemunculan satu peserta sebagai mediator yang menjaga kelompok terus berinteraksi positif dengan menciptakan kesepakatan. Sebaliknya moderator bisa menciptakan konflik terus-menerus untuk keuntungannya sendiri (Wallace & Wolf, 1995: 185).
            Selanjutnya menurut Simmel, ketika konflik menjadi bagian dari interaksi sosial, maka konflik menciptakan batasan-batasan antar kelompok dengan memperkuat kesadaran internal yang membuat kelompok tersebut terbedakan dan terpisah dari kelompok lain. hal ini berlaku secara resiprokal antagonistic atau permusuhan timbale balik. Akibat dari “reciprocal antagonisms” antar kelompok itulah terbentuk divisi-divisi sosial dan sistem stratifikasi. Permusuhan timbale balik tersebut mendirikan identitas dari berbagai macam kelompok dalam sistem dan sekaligus juga menolong untuk memelihara keseluruhan sistem sosial.
            Walaupun konflik menjadi perhatian Simmel, integrasi sistem sosial adalah proses organis yang dituju oleh Simmel. Menurut Jonathan Turner, Simmel concern pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari proses sosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi dari impuls naluriah dari pelaku dan ketentuan yang memerintah oleh berbagai macam tipe hubungan sosial. Oleh sebab itu, proses konflik adalah satu karakter di mana pun dari sistem sosial, tetapi tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petujuk mengenai kerusakan sistem dan/atau perubahan sosial. Kenyataannya, konflik dalam satu proses prinsip pengoprasian pada pemeliharaan keseluruhan sosial dan/atau beberapa sub bagiannya (Turner, 1978: 128), pemikiran ini nantinya banyak memengaruhi Lewis Coser yang melahirkan teori fungsi-fungsi konflik, yaitu konflik secara alamiah membawa struktur sosial pada kondisi yang lebih mapan dan baru.
            Jonathan Turner mencatat, perbedaan antara Marx dan Simmel terletak pada pandangan Simmel terhadap hubungan sosial terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan sebagai pencampuradukan organis dari proses sosialisasi dandisosialisasi, konflik terjadi di mana-mana dalam sistem sosial, kenyataannya konflik adalah satu prinsip oprasional memelihara keseluruhan sosial dan/atau beberapa bagiannya. Sedangkan Marx cenderung pada kelas dan dominasi, bukan sesuatu yang alami (Turner, 1978).

Referensi: Novri Susan. 2009. Sosiologi Koflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
  
           

1 komentar: