Minggu, 25 Desember 2016

Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Realisme



Kendatipun realisme sependapat dengan idealisme yang menyatakan bahwa nilai fundamental dalam diri manuisa bersifat permanen dan absolut, namun masing-masing mereka berbeda dalam argumentasi. Jika idealisme berpendirian bahwa absolutism nilai hanya karena ia memang bukan produksi manusia tetapi bagian dari alam jagad raya dan dibawa manuisa sejak ia dilahirkan ke dunia, maka realisme melihat absolutisme nilai semata-mata karena akal yang dianugerahkan kepada manusia mampu menempuh ruang nilai yag ditentukan Tuhan.
Ajaran filsafat realisme memperlihatkan, bahwa suatu yang riil atau suatu yang benar adalah suatu yang merupakan gambaran nyata atau salinan sebenarnya dari dunia realitas. Sedemikian rupa sehingga pengetahuan manuisa tentang sesuatu tidak lain adalah jelmaan jelas dari gambaran dunia yang direduksi oleh akal dalam dirinya. Dapat dikatakan bahwa, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar adan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
Kelompok realisme sependapat dengan kelompok idealis bahwa nilai fundamental bersifat permanen, tetapi mereka berbeda pendapat di dalam alasan untuk menyatakan hal itu. Kelompok realisme klasik sependapat dengan Aristoteles bahwa ada hukum-hukum moral yang universal ini melalui akal kita, tetapi mereka mengatakan bahwa hukum moral universal ini telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan akal untuk dapat memahami hukum-hukum moral Tuhan tersebut. Sesungguhnya kita dapat memahami hukum moral itu tanpa pertolongan wahyu, tetapi karena hakikat kita telah dirusak oleh dosa waris kita tidak mampu memperaktikannya tanpa bantuan dari Tuhan. Sementara kelompok realisme saintis menyangkal bahwa nilai itu memiliki sangsi supernatural. Sesuatu yang baik adalah yang mendekatkan kita pada lingkungan kita, sedangkan sesuatu yang jahat adalah sesuatu yang menjauhkan kita dari lingkungan kita. Karena hakikat manuisa dan hakikat fisik ini adalah tetap, maka nilai yang mendekatkan kita dengan yang lainnya adalah juga konstan atau tetap. Diakui memang benar bahwa institusi dan praktik-praktik sosial sangat beragam di dunia ini, tetapi nilai dasar tetap sama. Berbeda dengan kelompok idealis yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menjadi sempurna, sedangkan kelompok saintis realis menerima manusia itu sebagaimana apa adanya alias tidak sempurna.
Kelompok realisme sependapat bahwa guru harus memahami nilai-nilai baik yang telah ditentukan. Moral dasariah dan estetika yang standarlah yang kita mesti ajarkan kepada anak agar ia tidak dapat terpengaruh oleh isu-isu temporal. Anak harus secara jelas memahami hakikat yang benar dan yang salah itu dan respek terhadap sesuatu yang baik secara objektif tanpa menghiraukan perubahan-perubahan dalam moral dan tampilan-tampilan estetika.
Kelompok realisme klasik walaupun menginginkan konsentrasi nilai itu pada mata pelajaran, namun sekolah menurut mereka harus mampu menciptakan individu-indiviud yang hidup dalam lingkungan yang baik. Anak harus diajarkan untuk hidup dengan standar moral yang absolut dan universal, karena apa yang benar itu adalah juga benar bagi semua orang secara umum bukan hanya untuk sekelompok ras dan masyarakat tertentu saja. Penting bagi anak untuk menerima kebiasaan yang baik dari lingkungannya. Perilaku yang baik dan bijak itu tidak akan datang kepada manusia secara otomatis, tetapi harus dipelajari.
Kelompok realisme menyatakan bahwa etika naturalistic tidaklah cocok, karena manusia diciptakan untuk melampaui yang natural dan mencapai yang suoernatural. Tujuan sesungguhnya dari pendidikan moral adalah penyerahan jiwa pada Tuhan. Oleh karena itu subjek didik harus diajar menjaga jiwanya dalam keadaan yang baik, yakni dengan mengisinya dengan kebesaran Tuhan dan terlepas dari dosa besar. Subjek didik harus mengupayakan yang baik dan menghindari yang jahat, tidak karena akal yang melarangnya, tetapi juga karena memang Tuhan tidka menghendaki hal itu. Kelompok realis yang religius ini menempatkan manusia seperti inteleknya. Bagi kelompok filsafat ini, walaupun Tuhan mengajak penyerahan diri, namun indiviud tetap bertugas untuk memutuskan apakah menerima atau menolaknya. Dengan demikian, keinginan harus dibiasakan membuat pilihan-pilihan nilai yang benar. Bagi realis religius ini, manusia bisa dirusak oleh kecenderungan dirinya pada yang tidak baik, maka baginya, pendidikan secara essensial memiliki peranan kolektif untuk kondisi ini. Dalam konteks ini, memperkuat disiplin dibutuhkan untuk mengiliminasi kebiasaan yang buruk dan mengembangkan kebiasaan yang baik dalam diri individu. Kendatipun akan tidak memiliki otoritas, namun sesungguhnya pemahamna yang sempurna tentang hakikat sesuatu terletak pada kekuatan akal ini. Dan kita mesti mendalami keyakinan yang dapat membawa kita ke sana. Akal mesti menyokong karena Tuhan telah memberikannya kepada kita sehingga kita dapat mengenal-Nya lebih baik.
Berbeda dengan aliran realis religius, kelompok realis saintik justru mengajarkan bahwa sesuatu yang benar dan yang salah adala produksi akal manusia dalam memahami suatu realitas, bukan dari prinsip-prinsip agama. Oleh karena itu, nilai moral pun harus didasari pada prinsip-prinsip penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya kepada manusia sebagai makhluk yang paling tinggi. Penyakit adalah sesuatu yang tidak diharapkan, karena memang ia tidak baik. Kesehatan adalah sesuatu yang diharapkan dan disukai semua orang, karena sifatnya baik. Kita mesti meningkatkan dengan ukuran meningkatnya konstitusi genetic kita dan menundukkan hal-hal yang tidak diinginkan dengan upaya meningkatkan lingkungan di mana kita hidup. Jadi, dapat dipahami bahwa nilai moral selalu muncul dari upaya penyelidikan seseorang akan nilai kebenarannya dan karenanya dapat dibuktikan secara ilmiah.

Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar