Rabu, 30 November 2016

Ilmu Sosial Positivis



Filsafat modern berkembang melalui dua aliran, pertama dibidani oleh Plato yang mengutamakan kekuatan rasio manusia, yaitu pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri (apriori). Kedua adalah Aristoteles yang memperhatikan peranan empiris terhadap objek pengetahuan (aposteriori). Selanjutnya masing-masing melahirkan penerus, rasio didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza, Leibnis, dan Wolff. Filsafat empirisme berkembang di tangan Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume (Hardiman, 1990). Ilmu alam berkembang melalui empirisme dan rasionalisme yang memisahkan kepentingan dari teori.
Para pendahulu ilmu sosial meyakini empirisme dan rasionalisme ilmu alam bisa dikembangkan sebagai metode ilmu sosial. Metode ini melahirka filsafat positivisme. Filsafat positivisme mendapat mendapat tempat dalam ilmu sosial melalui Aguste Comte (1798-1857). Comte dinobatkan oleh sebagian kalangan sebagai sebagai bapak sosiologi karena temuannya dalam istilah ilmu sosiologi (Ritzer, 2000; Giddens, 1986). Positivisme ilmu sosial mencita-citakan ilmu yang bebas nilai, objektif, terlepas dari perasaan subjektif seperti moralitas dan kepentingan. Semangat ini menyajikan pengetahuan yang universal yang terlepas dari konteks dan sejarah. Pengetahuan yang terlepas dari ruang dan waktu. Positivisme merupakan usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan untuk melahirkan teori yang bebas nilai dari subjektivitas manusia.
Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu sosial, mengadopsi saintisme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subjektivitas, hasil penelitian dapat dirumuskan ke dalam formasi-formasi (postulat) sebagaimana ilmu alam. Sehingga ilmu sosila bersifat teknis, yaitu menyediakan ilmu-ilmu sosial yang bersifat instrumental murni dan bebas nilai. Emile Durkheim (1858-1917), sang liberal dalam politik tetapi konservatif dalam intelektual, merupakan tokoh klasik sosiologi setelah Comte yang berpikiran positivis. Bagi Durkheim, fakta sosial adalah landasan bagi ilmu sosial. Fakta sosial adalah kenyataan masyarakat yang tidak bisa disingkirkan adanya, dan tidak dapat direduksi menjadi fakta individu. Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui penelitian empiris. Ia percaya bahwa ide-ide dapat diketahui secara instrospectively (philosophically), tetapi benda tidak dapat disusun dengan aktivitas mental murni; mereka mengharuskan untuk konsepsi mereka “data dari luar pikiran” (Ritzer, 2000: 185).
Positivism adalah kesadaran positivis tentang kenyataan sebagaimana juga pengamatan oleh ilmu-ilmu alam. Dalam Dictonary of Philosophy and Religion (1980) Resee mendefisikan positivisme sebagai kerabat filsafat yang bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya sebuah sistem pemikiran positivisme pada dasarnya mempunyai piakan; logika empirisme, realitas objektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai. Lingkungan Wina adalah kelompok pendukung mazhab positivis pada filsafat abad mutakhir. Mereka menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dari ilmu sosial. Pernyataan-pernyataan tanpa bukti empiris, seperti etika, estetika, dan metafisika adalah omong kosong. Lingkungan Wina secara gigih memperjuangkan bersatunya semua ilmu pengetahuan ke dalam rumusan ilmiah yang universal.


Referensi:
Novri Susan. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar