Sabtu, 17 Desember 2016

Manusia sebagai Makhluk Tuhan



Realitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas dua unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad dimaknai sebagai elemen kasar (fisik) yang terkonstruksi dari bertemunya sperma dan ovum dalam steam sel, darah, daging, tulang, kulit, bulu, dan unsur fisik lainnya. Adapun elemen roh adalah unsur halus (nonfisik/gaib) yang merupakan pemberian Tuhan melalui proses transformasi kehidupan. Unsur roh ini memegang posisi strategis dan menentukan dalam memosisikan eksistensi manusia untuk dapat dikatakan sebagai homo Sapiens.
Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya tidak berarti apa-apa tanpa eksisnya roh di dalamnya. Dengan roh, manusia yang terdiri atas kolektivitas jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan yang telah diteteapkan Tuhan baik dalam bentuk jasad maupun pikiran. Rohlah yang mengantarkan manusia pada fase untuk merasakan senang, sedih, bahagia, berani, takut, dan benci, dan dengan roh jualah manusia dapat menjadi makhluk hidup yang bermoral, bersusila, dan bersosial. Oleh karena itu, roh dipandang sebagai sumber kepribadian manusia yang akan mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
            Roh adalah suatu unsur dari Ilahi yang ganya Tuhanlah yang mengetahui rahasia yang ada di balik dan di dalamnya. Roh inilah yang menjadi mesin bagi jasad manusia, di mana ketika mesin ini tidak berfungsi, maka jasad manusia akan berada pada titik nol (zero) yang dengan demikian tanpanya manusia sesungguhnya tidak dapat dikatakan lagi sebagai manusia. Oleh karena itu, urgensitas roh terhadap jasad manusia sangat vital, meskipun tidaklah selalu berdampak pada apresiasi manusia akan roh itu sendiri.
            Dalam tataran awam, roh dan jasad dipandang sebagai suatu variabel terpisah dan bahkan ada yang menganggap sebagai suatu bentuk rivalitas ciptaan Tuhan. Menusia awam ini menganggap bahwa kemampuan mendengar, berbicara, dan berpikir adalah ranah jasad karena dianggapnya sebagai suatu hal yang secara struktur dianggap berbentuk fisik. Sehingga manusia awam tidak memahami esensi ranah jasad.
            Ketidakmampuan manusia awam memahami esensi jasad dan roh sebagai kesatuan terpadu, mengakibatkan pada saat-saat tertentu dalam konteks sebagai binatang (memiliki akal piker), maka manusia dianggap lebih hina dari binatang (tidak memiliki akal pikiran) yang sesungguhnya. Kehinaan ini timbul akibat ketidakmampuan manusia membangun eksistensi kemanusiaannya yang berujung pada ketidakmampuan manusia menonjolkan sifat keistimewaan yang melekat pada dirinya, yang hakikatnya jika ditelaah lebih dalam merupakan kelebihan yang diriripkan Allah keoada manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya.
            Manusia sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki wawasan luas tentang jagat. Wawasan tersebut dapat diperoleh baik secara ilahiah maupun melalui upaya manusia yang dihimpun dan dikembangkan selama berabad-abad. Dalam proses pencarian tersebut, kecenderungan spiritual dan luhur manusia terus bekerja dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang tentunya akan direfleksikan dalam proses dialog jasad dan roh.

Referensi: Sukarno Aburaera, dkk. 2013. Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.

1 komentar: