Minggu, 11 Desember 2016

Sistem Sosia dan Sistem Budaya



Sistem sosial dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih bayak dibahas dalam kajian sosiologi, sedangkan sistem budaya banyak dikaji dalam disiplin pengetahuan budaya. Jadi, istilah sistem ini dapat dipakai untuk berbagai cara, fenomena, undang-undang, dan lain-lain. secara sederhana sistem diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Pengertian sistem ini bersifat operasional, tetapi yang jelas, sistem itu memiliki sepuluh cirri, yaitu:
a.       Fungsi (function)
b.      Satuan (unit)
c.       Batasan (boundary)
d.      Bentuk (structure)
e.       Lingkungan (environment)
f.       Hubungan (relation)
g.      Proses (process)
h.      Masukan (input)
i.        Keluaran (output)
j.        Pertukaran (exchange)
Kesepuluh cirri sistem ini mempermudah seseorang dalam menganalisis suatu sistem menurut perspektif tertentu seperti sistem sosial atau sistem budaya.
Sistem Sosial
teori sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog Amerika, Talcot Parsons. Konsep sistem sosial merupakan konsep rasional sebagai pengganti konsep eksistensional perilaku sosial. Konsep struktur sosial digunakan untuk analisis yang abstrak, sedangkan konsep sistem sosial merupaka alat analisis realitas sosial sehingga sistem sosial menjadi suatu modal analisis terhadap organisasi sosial. Konsep sistem sosial adalah alat pembantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok-kelompok manusia merupakan suatu sistem. Tiap-tiap sistem sosial terdiri atas pola-pola perilaku tertentu yang mempunyai struktur dalam dua arti, yaitu: pertama, relasi-relasi sendiri antara orang-orang bersifat agak mantap dan tidak cepat berubah; kedua, perilaku-perilaku mempunyai corak atau bentuk yang relatif mantap.
Talcot Parsons menyusun strategi untuk analisis fungsional yang meliputi semua sistem sosial termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi kompleks, dan juga masyarakat keseluruhan. Sebagai ssuatu sistem sosial, ia mempunyai bagian yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya di dalam suatu kesatuan. Kesemuanya saling mengait satu sama lain dalam kebudayaan yang saling menguntungkan. Dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat empat hal, yaitu:
a.       Dua orang atau lebih
b.      Terjadi interaksi di antara mereka
c.       Bertujuan
d.      Memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut Talcot Parsons mengatakan bahwa sistem sosial tersebut dapat berfungsi apabila dipenuhi empat persyaratan fungsional, yaitu:
a.       Fungsi adaptasi, yaitu menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya.
b.      Fungsi mencapai tujuan, yaitu merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya (bersama sistem sosial).
c.       Fungsional integrasi, yaitu merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para anggota dalam sistem sosial.
d.      Fungsi pemeliharaan pola-pola tersembunyi, konsep latensi pada berhentinya interaksi akibat keletihan dan kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya yang mungkin terlibat.
Model persyaratan fungsional Talcot Parsons ini dapat digunakan untuk menganalisis interaksi di antara pola-pola institusional utama di adalam sistem-sistem sosial yang lebih besar. Unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial. Unsur-unsur sistem sosial tersebut ada sepuluh, yaitu:
a.       Keyakinan (pengetahuan)
b.      Perasaan (sentiment)
c.       Tujuan, sasaran, atau cita-cita
d.      Norma
e.       Kedudukan peranan (status)
f.       Tingkatan atau pangkat (rank)
g.      Kekuasaan atau pengaruh (power)
h.      Sanksi
i.        Sarana atau fasilitas
j.        Tekanan ketegangan (stress-strain)
Sistem Budaya
Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau pelembagaan. Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan. Tetapi ada juga individu yang dalam proses pembudayaan tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya di lingkungan sosial sekitarnya.
Menurut Bakker (1984: 37) kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik., personal dan sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat. jelaslah bahwa usaha membudaya selalu dapat dilanjutkan lebih sempurna lagi dan tak akan terbentur pada suatu batas terakhir. Tetapi jelas pula bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kuantitatif nilai-nilai tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar. Untuk kebudayaan hasil penciptaan dan perkembangan nilai tersebut meliputi kebudayaan subjektif dan kebudayaan objektif, sebagai berikut:
a.       Kebudayaan Subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dalam hierarki nilai perwujudannya tampak dalam kesehatan badan, penghalusan perasaan, kecerdasan budi bersama dengan kecakapan untuk mengkomunikasikan hasil pemakaian budi kepada lain-lain, serta kerohanian. Kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan merupakan puncak-puncak bakat dari badan, rasa, kemauan dan akal. Itulah dikonkretisasikan lebih lagi dalam keterampilan, kecekatan, keadilan, kedermawanan, elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh pengalaman dan pendidikan. Lewat fungsi-fungsi itu manusia menyempurnakian kosmos dan menghumanisasikan dirinya. Keselarasan nilai-nilai subjektif diutamkan oleh humanism klasik.
b.      Kebudayaan Objektif
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakan diri dalam tata lahir sebagai materialisasi dan institusionalisasi. Di sana terbentanglah dunia kebudayaan objektif yang amat luas dan serba guna, yang dihasilkan oleh usaha raksasa ratusan angkatan/generasi sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina, dengan “trial and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam memijam antar kebudayaan. Ddi sana dialog manusia dengan alam memuncak. Nilai-nilai yang direalisasikan secara batin, sekali diproyeksi secara serupa, merupakan landasan untuk perkembangan batin lebih lanjut dan demikian terus menerus dalam sarang yang semakin kompleks. Nilai0nilai objektif itu, yang juga disebut hasil unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematiskan menurut beberapa prinsip pembagian antara lain: ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama.

Referensi: Jacobus Ranjabar. 2014. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar