Sabtu, 17 Desember 2016

Kontradiksi Kehidupan Konkrit Manusia



Kita harus membedakan empat tingkatan/ruangan pengetahuan (level of thought), yaitu:
1)      Tingkatan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan).
2)      Tingkatan ilmu-ilmu pasti.
3)      Tingkatan filsafat.
4)      Tingkatan agama atau theology.
Masing-masing tingkatan ini mempunyai metode, cara penyelidikan, ukuran-ukuran, hukum-hukum sendiri, yang tidak boleh “dioper” atau dialihkan ke tingkatan lain dengan semaunya saja.
Juga mengenai peranan dan kepentingan filsafat itu. Filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang, karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia.
Akan tetapi, walaupunkita selalu akan mempertahankan pendapat bahwa filsafat adalah usaha menerangkan segala sesuatu itu sampai kepada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi pula bahwa filsafat tidak dapat menerangkan realitas yang kita alami. Misalnya: hasrat mengejar kemerdekaan: bahwa manusia adalah merdeka, artinya ialah bahwa manusia mengatasi dan menguasai materi, bahwa ia tidak seluruhnya terikat pada materi dan dikuasai oleh materi.  Kemerdekaan kita itu seakan-akan merupakan sayap dengan nama manusia dapat membumbung ke atas. Akan tetapi yang terang dan nyata yang tak dapat disangkal bahwa yang kita alami sendiri ialah: ada luka-luka pada sayap kita itu. Keerdekaan kita berupa sayap, tetapi sayap yang luka. Kemudian, kita seakan-akan berada dalam belenggu. Penyebabnya kemungkinan akan tetap rahasia bagi kita. Belum pernah filsafat dapat menunjukkan sebab itu.
Kemerdekaan berdasarkan pengetahuan. Ini berarti bahwa kemerdekaan kita itu berdasarkan intelek/akal pikiran kita. Bagaimanakah keadaan pikiran kita? Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pengetahuan kita tentang tujuan manusia demikian kurang terangnya, hingga kebanyakan manusia tidak mempunyai orientasi yang cukup, orientasi yang memungkinkan bergerak kea rah tujuan tadi. Dan memang paling sedikit dapatlah disangsikan apakah manusia itu jika hanya berpikir sendiri dapat memperoleh pengetahuan yang cukup tentang hal ini. Kita di sini tidak mempersoalkan pengetahuan yang abstrak tentang Tuhan, pengetahuan yang tidak menarik (itu memang ada). Kita memperbicangkan pengetahuan-pengetahuan yang memenuhi hati, “pengetahuan yang mendinamisir” jiwa, kita bicarakan pengetahuan yang mendekatkan Tuhan yang taqarrub ilallah, pengetahuan yang memberi hidup, yang tahan, yang kuat dan memberi isi betul-betul kepada hidup. Pengetahuan yang semacam itu dapat dicapai oleh manusia berdasarkan kekuatannya sendiri saja padahal hanya pengetahuan yang semacam inilah yang akan cukup kuat untuk mendorong kita ke atas.
Kesadaran penuh dengan diri sendiri dengan badannya, dengan kesenangannya. Ikatan dunia material adalah menjadi sedemikian rupa sehingga manusia-manusia sangat sukar berpikir tentang yang tinggi-tinggi, tentang cita-cita rohani yang mulia, tentang Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Manusia diikat dan dicenderungkan oleh pancainderanya kepada dunia material. Inilah yang lebih terasa daripada dorongan yang tinggi-tinggi itu.
Bukan saja pikiran kita melainkan juga dorongn-dorongan yang ada pada kita itu mengandung luka-luka. Jika mengingat kodratnya yang rohani, bukankah manusia harus terdorong akan kesempurnaan rohani? Memang pada hakikatnya dorongan ini ada, bahkan kadang-kadang terasa pula akan tetapi apakah lagi yang kita lihat sehari-hari? Kebanyakan manusia sehari-hari hanyalah penuh dengan dorongan kesenangan badan/jasmani. Inilah yang kebanyakn lebih terasa.
Emang demikianlah manusia itu, sebagai rohani ia pada hakikatnya mempunyai benih kemerdekaan. Ia hendak merdeka, ia ingin terlepas dari godaan kejasmaniannya, ia ingin bebas merdeka. Akan tetapi sementara itu merupakan kemerdekaan yang terikat yang terbelenggu dan sebabnya filsafat belum pernah dapat menerangkan kekurangan ini.
Untuk filsafat hal ini selalu merupakan rahasia. Bagaianakah mungkinnya bahwa manusia yang menurut kodratnya mengatasi dunia dan kebendaan yang seharusnya hanya mempergunakan “dunia” itu untuk mencapai kerohaniannya, yang pada hakikatnya harus mengatasi kebendaannya senditi, toh ingin tenggelam ke dalam materi, ingin menjerumuskan diri ke dalam dunia itu, seakan-akan tidak ingin mengatasi keadaan itu. Inilah kontradiksi hidup konkrit manusia. Dan bagaimanakah kontradiksi itu dapat diatasi? Manakah jalan keluarnya? Di sinilah filsafat bungkem dan membisu seribu bahasa.
Ahli pikir dan ulama besar dari tokoh Islam An Nadawiy secara filosofis mengemukakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang sulit dan penuh paradox atau kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan keinginannya banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas dari alam ini.
Manusia itu terdiri dari roh dan jasad, sedangkan roh selalu menariknya untuk kembali pada asal dan sumbernya (Allah), sedangkan jasad menariknya kepada asalnya pula yaitu tanah. Bila pengaruh roh menjadi lemah maka menjadi lepas lalai, manusia dalam kelezatan syahwati, bagaikan hewan liar. Menjadi padamlah sinar roh dan hati, lalu muncullah kezaliman dan berbagai kejahatan. Manusia menjadi hewan liar yang berbahaya, menerkam sesamanya. Manusia menjadi “homo homini lupus”.
Selanjutnya An Nadawiy menegaskan betapa Nubuwwah (Allah mengirim Rasul) untuk menolong perikemanusiaan dari bahaya materi yang merusak, membina roh dan akhlak perasaan halus dengan adanya muwazin (neraca) yang adil, mempersiapkan mereka untuk apa sebenarnya manusia lahir ke dunia, yaitu: beribadah untuk menjadi pemegang “wilayah”, pimpinan yang karenanya mereka ada di bumi persada: “khalifah”, pengolah bumi raya ini dengan segala ketentuannya.

2 komentar: