Minggu, 25 Desember 2016

Etika dan Pendidikan



           
Nilai, moral, dan etika, merupakan tiga istilah yang sering terkait yang biasanya dalam bahasa sehari-hari dianggap sepadan, baik dalam makna maupun dalam fungsi, padahal ketiga kata itu memiliki hakikat dan orientasi yang berbeda-beda kendatipun antara satu dengan yang lain terkait erat.
            Nilai adalah gambaran seseorang tentang sesuatu yang indah dan yang menarik, yang mempesona, yang menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan ingin memilikinya. Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
            Kajian etika atau filsafat moral dalam bentuk pendekatan normatif ini biasanya mencermati bentuk-bentuk sistem yang konsisten dari norma-norma yang ditunjukkan validitasnya bagi semua manusia secara rasional oleh seorang filsuf moral, sedangkan pendekatan analitik meliputi dua aspek; penelahaan tentang konsep-konsep yang dipakai dan penelahaan mengenai logika dari alasan-alasan moral. Kedua bentuk pendekatan kajian etika seperti ini menurut para ahli tidak dapat dipisahkan, keduanya berjalan beriringan dan saling menyempurnakan.
            Pendidikan secara luas dianggap sebagai usaha moral. Guru harus selalu memberikan perhatian apa yang harus dikatakan dan dilakukan dan bagaimana subjek didik mesti berperilaku. Subjek didik diupayakan dengan penanaman nilai-nilai moral dan peningkatan perilaku individual maupun soisal. Plato sebagai tokoh idealisme berprinsip bahwa idea tentang kebaikan memberikan konsekuensi logis pada pengembangan pengetahuan dan oleh karena itu, bangunan pendidikan mestilah diarahkan pada pembentukan hidup yang baik yang tergambar pada prinsip keadilan. Harmonisasi fungsi-fungsi jiwa rasio, emosi dan syahwat mestilah menjadi perhatian utama di dalam mengembangkan kepribadian manusia.
            Apa jenis perilaku moral yang harus guru ajukan di dalam kelasnya. Haruskah ia berusaha meningkatkan perilaku yang ia nilai atau perilaku yang dinilai oleh masyarakatnya. Haruskah ia membangkitkan pertumbuhan karakter-karakter tertentu yang ia yakini merupakan hal yang diharapkan atau haruskah ia membiarkan karakter subjek didik itu sebagaimana apa adanya dalam merespon kondisi kelas. Jawaban guru terhadap tiga persoalan ini akan tergantung pada sikap etis yang dimilikinya. Setiap guru yang mengerjakan pekerjaannya secara serius, tentu mesti mencari jawaban akan persoalan-persoalan ini, demikian juga sikapnya. Ia akan dibantu dalam persoalan ini melalui studi mempelajari etika secara formal.
            Etika merupakan studi nilai dalam realita perilaku dan tindakan manusia. Ia meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti kehidupan yang bagaimana bagi seseorang yang disebut baik? Bagaimana kita harus berperilaku dalam kehidupan? Bagaimana memilih dan menentukan bahwa perilaku kita itu baik atau tidak baik? Kecuali itu, etika juga terkait dengan persoalan-persoalan nilai benar sebagai basis bagi tindakan yang benar. Pada saat itu, sistem etika terkait dengan nilai-nilai agama. Sekarang sistem etika dunia Barat, walaupun sebagian besar diambil dari pengajaran agaman, biasanya dijustifikasi berdasarkan pada dasar-dasar nilai yang baik. Amerika Serikat telah memisahkan gereja dan negara, sebagai akibatnya pengajaran agama dilarang di sekolahsekolah umum, tetapi pelarangan ini sesungguhnya telah menstimulasi suatu keinginan untuk menggantikan jenis pengajaran moral.
            Dua tipe etika penting di sini adalah intuisisme dan naturalism. Kelompok intuisisme mengatakan bahwa nilai moral dipahami oleh individu secara langsusng. Kita menangkap yang benar atau yang salah bagi sesuatu melalui perasaan moral bawaan yang ada pada kita. Nilai moral kita pahami dalam cara seperti ini adalaah right in self, kebenaran tidak dapat dibuktikan secara logika maupun ketika dites secara empirik. Ia hanya menjadi persoalan intuisi.
            Kaum naturalis berpendapat bahwa nilai moral itu harus ditentukan melalui studi secara hati-hati terhadap konsekuensi yang muncul dari perbuatan tertentu. umpanya bila orang meyakini hubungan seks di luar nikah adalah salah secara moral, kita memutuskan yang demikian bukan karena keputusan etika yang dibuat atas persoalan ini, tetapi sebagai konsekuensi atas observasi seseorang atau studi saintifik tentang efek hubungan seperti ini. Seseorang yang menerima interpretasi pilihan-pilihan etik yang naturalistic atau menerima nilai-nilai moral sesuai dengan hasil penyelidikan saintifik yang menghaislkan perilaku right atau wrong yang telah teruji melalui pengalaman. Tegasnya, kaum naturalistic berpendapat bahwa nilai moral harus didasari pada pengujian objektif akan konsekuensi praktis dari setiap tindakan perilaku manusia.
            Dapatkah nilai-nilai moral itu diajarkan seperti mengajarkan pengetahuan actual? Socrates berusaha menjawab pertanyaan ini. Asumsi bahwa nilai moral itu adalah laten bagi setiap orang, ia menyebutkan bahwa guru dapat membawa nilai-nilai ke dalam kesadaran subjek didik. Nilai moral seperti kita katakana dapat diajarkan apabila pengajaran nilai moral itu kita artikan membantu subjek didik menjadi sabar akan nilai-nilai moral itu. Tetapi apakah subjek didik akan berperilaku sesuatu dengan yang dipelajarinya? Kita semua mengakui bahwa seorang subjek didik dapat dikatakan secara tegas telah mempelajari secara riil sesuatu kalau ia menunjukkan kemampuan melakukan ha itu. Di sisni lantas muncul kesukaran, di mana jila belajar dan mengajar kita artikan secara sederhana menanamkan dan menerima pengetahuan dari nilai-nilai moral, tentulah nilai-nilai itu dapat diajarkan. Guru boleh saja menguji siswa-siswa untuk mengetahui berapa banyak mereka ketahui tentang nilai-nilai moral dan dapat juga membantu subjek didik dalam memilih antara berbagai pilihan tindakan. Tetapi tidak ada guru yang dapat menjamin melakukan semua yang ia dapat berikan pada siswanya untuk mengetahui tentang nilai-nilai etika, dan membantu subjek didiknya untuk memilih nilai-nilai tertentu bagi kehidupan dirinya. Seorang subjek didik tidak akan dapat menyontek untuk tes seperti ini. Semua guru dapat berharap bahwa subjek didiknya: (a) mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; (b) mengetahui kenapa berbuat demikian; (c) memiliki ide tentang apa yang harus ia lakukan tentang hal-hal yang sudah diketahuinya. Jika subjek didik berupaya untuk berperilaku benar, guru akan memberikan reward yang lebih atas usaha subjek didiknya.


Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

3 komentar: