Senin, 17 Oktober 2016

Teori Antropologi tentang Sistem Religi

A.    Pengertian Pendekatan Antropologi
Untuk dapat dimengerti apa itu pendekatan antropologi, maka terlebih dahulu membahas makna tersebut satu persatu. Pendekatan dalam bahasa inggris, approach yang diartikan dengan mendekat, datang, menjelang dan tiba.  Namun yang dimaksud disini pendekatan adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati disiplin ilmu karena tujuan utama pendekatan ini untuk mengetahui sebuah kajian dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam mengkaji atau peneliti itu sendiri. Setiap disiplin ilmu mempunyai kekhususan metodologi sebab tidak ada sebuah metode yang dapat digunakan dalam semua disiplin ilmu. Jika seorang pengkaji telah menentukan pendekatan yang di gunakannya, akan dengan mudah terbaca langkah-langkah metodelogis yang di gunakannya.
Adapun antropologi dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yaitu, anthropos berarti manusia dan logos berarti studi. Jadi, antropologi merupakan suatu studi disiplin ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang makhluk manusia. Namun secara istilah antropologi diartikan, ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai satu kesatuan fenomena bio-sosial secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial budaya. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi dalam memahami agama yaitu sebagai salahsatu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Agama sebagian dari budaya, keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, antropologi digunakan sebagai alat untuk meneliti dan mengkaji agama dalam antropologi. Selain itu juga, sejak awal permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat kebudayaan. 

B.     Definisi Agama Menurut Para Antropolog
Dalam mendefinisikan agama para tokoh sangat mengalami kesulitan. Dari segi etimologi mungkin ada kesepakatan diantara tokoh agama. Tetapi dalam mendefinisikan secara istilah sudah masuk pada subjektifitas para pemeluknya. Maka sangat sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut dialami oleh para tokoh antropolog dalam mendefinisikan agama. Pendapat para antropolog mengenai agama sebagai berikut:
1.      Edward Burnett Tylor (1832-1917)
Tylor mengusulkan definsi agama adalah kepercayaan pada makhluk spiritual (a belief in spritual being). Tylor menganggap karakteristik yang dimiliki oleh semua agama besar maupun kecil, kuno atau modern, adalah kepercayaan kepada ruh yang berfikir, bertindak dan merasa seperti pribadi manusia. Esensi agama menurut Tylor adalah animisme, yakni kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda.
Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal, yaitu (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Di situlah manusia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu; (2) peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmani dan rohani atau jiwa (Tylor, 1871/1903; 429).
2.      Sir James George Frazer (1854-1941)
Frazer sebenarnya tidak mengajukan definisi agama sendiri. Ia sepenuhnya sepakat dengan definisi Tylor, hanya ia ingin membedakan agama dengan magic sebagai sistem yang menurutnya mendahului agama. Agama sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan manusia (frazer, 1932: 693). Sedangkan magic dilihatnya sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang dipahami. Jadi magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudoscience). Pada masyarakat primitif, kata Frazer, ketika kondisi alam tidak mengakomodir kepentingan manusia, maka usaha mereka untuk memahami dan mengubahnya mengambil magic yakni pola tindakan manusia untuk mencapai tujuannya dengan cara memperdayakan kekuatan supranatural. Namun kemudian setelah magic dianggap sering gagal maka manusia beralih pada agama.
3.      Lucien Levy-Bruhl (1857-1945)
Bruhl mengkritik pendapat Tylor tentang agama. Bagi Bruhl, manusia primitif terlalu bodoh untuk bisa berfikir abstrak tentang adanya jiwa dibalik setiap benda-benda seperti yang diteorikan oleh Tylor. Menurut Bruhl, agama adalah adalah pandangan dan jalan hidup manusia priminif. Agama, sebagaimana megic, tidak pernah mampu mengantarkan kehidupan manusia kepada kemajuan.
4.      Radcliffe Brown (1881-1955)
Brown mengemukakan definisi agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.
5.      Clifford Greetz (1926)
Geerz memandang agama sebagai sistem budaya, maksudnya: ”Sebuah sistem simbil yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, perfasiv dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi ini dengan suatu aura fakutalitas semacam itu sehingga suasan hati dan motivasi tampak realistik secara unik”.
Dari berbagai definisi agama yang dikemukakan para tokoh antropog diatas, dapat kita simpulkan bahwa agama adalah kepercayaan pada sesuatu yang gaib diyakini mempunyai kekuatan yang lebih. Dan dapat mendorong pada diri seseorang untuk berbuat kebaikan.
C.     Sistem Religi
1.      Perhatian Ilmu Antropologi terhadap Religi
Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, ketika bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:
a)      Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahir;
b)      Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi.
Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian.
Masalah asal mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah penyebab manusia percaya pada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.
Dalam memecahkan masalah asal mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat pada sesuatu yang dianggapnya sisa-sisa bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha menyusun teori-teori tentang asal mula agama.
2.      Unsur-unsur Khusus dalam Sistem Religi
Dalam membahas pokok antropologi tentang religi, sebaiknya juga di bocarakan sistem ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi dua pokok khusus, yaitu: (1) sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib.
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Mengenai masalah definisi emosi, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam buku ini. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau gagasan, mendapat suatunilai keramat (sacred value) dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan, atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
            Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai cirri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu:
a)      Sistem keyakinan;
b)      Sistem upacara keagamaan;
c)      Suatu umat yang menganut religi itu.
Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak subunsur. Mengenai ini para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain.
            Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusasteraan suci.
            Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah:
a)      Tempat upacara keagamaan dilakukan;
b)      Saat-saat upacar keagamaan dijalankan;
c)      Benda-benda dan alat upacara;
d)     Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua adalah aspek mengeni saat-saat beribadah, hari-hari keramat suci dan sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta biksu, syaman, dukun dan lai-lain,
            Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
a)      Bersaji;
b)      Berkorban;
c)      Berdoa;
d)     Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa;
e)      Menari tarian suci;
f)       Menyanyi nyanyian suci;
g)      Berprosesi atau berpawai;
h)      Memainkan seni drama suci;
i)        Berpuasa;
j)        Intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius sampai kerasukan, mabuk;
k)      Bertapa;
l)        Bersemedi.
Di antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam suatu agama, tetapi ntidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Selain itu, suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan doa.
            Subunsur ketiga dalam religi adalah subunsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan. Secara khusus subunsur itu meliputi masalah pengikut suatu agama, hubungannyasatu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari; dan akhirnya subunsur itu juga meliputi masalah seperti organisasi dari para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
            Pokok-pokok khusus dalam sistem ilmu gaib (magic) pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama artinya; ada pemimpin atau pelakunya, yaitu dukun; ada saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pasa hari-hari keramat); ada peralatan untuk malakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu untuk pelaksanaan upacara. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib sering kali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan ayam yang hendak diadu dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu ia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
            Walaupun pada akhirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, walaupun sukar untuk menentukan batas dari upacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok  itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri kepda Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya.

Referensi :
Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta.

Analisis Lagu Me, Myself, and I

Makna yang tersirat pada lagu tersebut menceritakan tentang dirinya sendiri yang seakan-akan tidak membutuhkan bantuan orang lain, tidak mempedulikan perkataan orang lain, tidak suka dengan kehadiran orang lain dan lebih senang hidup sendiri dengan dunianya sendiri. Lagu tersebut berbicara tentang seseorang yang antisosial atau apatis. Namun di sisi lain, tetap harus melakukan interaksi dengan orang lain disekitarnya karena dirinya merupakan bagian dari warga masyarakat. Seseorang tidak mungkin mengalami proses interaksi antar individu dengan kelompok tanpa menjadi warga masyarakat. Masyarakat ada ketika seseorang berinteraksi dengan individu-individu lainnya. Interaksi itulah yang merupakan inti dari masyarakat.
Simmel membagi tipe interaksi sebagai berikut :
1.      Interaksi yang terjadi antara individu dengan individu;
2.      Interaksi yang terjadi antara individu dengan kelompok;
3.      Interaksi yang terjadi antara kelompok dengan kelompok.
Interaksi tidak hanya terjadi pada orang lain saja, tapi juga pada diri individu itu sendiri. Interaksi yang terjadi pada individu dengan individu memberikan ruang bagi dirinya sendiri. Karna sejatinya manusia pun harus memiliki waktu untuk sendiri untuk menjaga privasi mereka.
Seperti kebanyakan sosiolog Jerman, Georg Simmel adalah penganut mazhab formal. Simmel memperhatikan masalah yang lebih kecil (sosiologi mikro), yakni berkaitan dengan tindakan dan interaksi individual. Simmel mengatakan bahwa objek kajian sosiologi adalah bentuk-bentuk hubungan antarmanusia. Menurutnya, setiap individu menjadi bagian dari warga masyarakat dengan mengalami proses individualisasi dan sosiolisasi.
            Simmel membatasi interaksi ini dengan kesadaran sang aktor (pelaku). Jadi, interaksi yang benar menurut Simmel dilakukan secara sadar dan melalui proses berpikir untuk kepentingan lebih jauh. Interaksi itu dimulai dari hal-hal yang paling sederhana, seperti bertemu dan bertegur sapa. Interaksi terus berlanjut hingga tingkat yang paling rumit, misalnya mendirikan organisasi, melakukan transaksi, memberi bantuan, dan sebagainya.
            Georg Simmel menggunakan pendekatan dialektis dalam mengembangkan sosiologi. Ia mengaitkan hubungan sosial yang dinamis dengan beragam konflik. Ia juga memandang individu sebagai produk dari masyarakat. Analisis Simmel menekankan hubungan dan ketegangan yang terjadi antara individu dengan masyarakat. Jadi, isi kehidupan sosial meliputi insting erotis, kepentingan objektif, dorongan agama, tujuan membela dan menyerang, bermain, keuntungan, serta memberi dan menerima bantuan. Kehidupan sosial juga mencakup hal-hal lain yang menyebabkan seseorang untuk hidup bersama dengan orang lain, melakukan tindakan bersama atau melawan mereka, serta mempengaruhi atau dipengaruhi oleh orang lain.
            Sebagai produk masyarakat, individu merupakan mata rantai di dalam proses sosial. Individu yang bersosialisasi di dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki hubungan yang bersifat dualistis. Di satu sisi, ia merupakan anggota masyarakat dan terintegrasi di dalamnya. Akan tetapi, pada waktu bersamaan, ia juga menantang masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, individu secara bersamaan berada di dalam dan di luar masyarakat. Ia tetap eksis, baik bagi masyarakat maupun dirinya sendiri. Jadi, di dalam diri seseorang mempunya dua sisi yang bersifat individualis dan sosialis, diamana masyarakat harus bisa menyesuaikan kapan harus berinteraksi dan kapan harus hidup sendiri.
            Simmel juga menjelaskan bentuk-bentuk interaksi yang meliputi superioritas dan subordinasi, kompetisi, pembagian kerja, pembentukan partai, perwakilan, solidaritas ke dalam, sifat menutup diri terhadap orang asing, dan sebagainya. Hal-hal tersebut menyebabkan seseorang bisa memilih cara tertentu untuk melakukan interaksi.
             Dunia sosial atau masyarakat terbentuk dari peristiwa, tindakan, interaksi, dan sebagainya yang tak terhingga. Dunia sosial adalah semesta interaksi dan juga asosiasi. Interaksi dan asosiasi ini kemudian menjadi inti dari masyarakat yang mengakui keberadaan individu sekaligus menegaskan eksistensi kelompok.

Minggu, 16 Oktober 2016

Kedudukan Ilmu, Filsafat, dan Agama

1.      Ilmu
Ilmu yang dimaksud pada bagian ini mencakup di dalamnya pengetahuan. Jadi, ilmu dapat disebut dengan ilmu pengetahuan. Namun secara ringkas sering disebut dengan ilmu saja. Padahal sesungguhnya ada perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah, dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi, dan sebagainya. Jadi, pengetahuan mempunyai cakupan lebih luas dan umum daripada ilmu. Namun, dalam tulisan ini sengaja disebut dengan menggabungkan keduanya, yaitu ilmu pengetahuan. Karena keberadaan ilmu dan pengetahuan sama-sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan, tidak boleh dipisahkan. Ilmu membentuk daya inteligensi yang melahirkan keterampilan (skill). Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.
Dalam penggunaan sehari-hari orang cukup hanya menyebut ilmu saja untuk maksud ilmu pengetahuan. Ilmu artinya pengetahuan yang ilmiah. Oleh karena itu, Mohammad Hatta menyebut ilmu dan pengetahuan menggunakan dengan sebutan pengetahuan, karena bagi Hatta (1945: 5) antara ilmu dan pengetahuan adalah sama-sama sebagai pengetahuan. Menurutnya “pengetahuan adalah pengetahuan yang didapat dari pengalaman, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang didapat dengan keterangan”. Menurut Endang Saifuddin Anshari (1987: 49-50), ilmu   pengetahuan atau ilmu adalah usaha pemahaman manusia mengenai kegiatan, struktur, pembagian, hukum tentang hal ikhwal yang diselidiki melalui penginderaan dan dibuktikan kebenarannya melalui riset.
Setelah mengetahui definisi ilmu pengetahuan, maka selanjutnya yang perlu juga dipahami adalah tentang ciri suatu  ilmu tersebut. Ciri dari sesuatu yang dikategorikan menjadi ilmu pengetahuan adalah karena ada objeknya. Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu objek materi dan objek forma. Objek materi ialah sasaran atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan objek forma ialah sudut pandang atau cara pandang mengenai objek materi tersebut, sehingga dengan objek forma ini dapat dibedakan menjadi ilmu tertentu. jadi, yang membedakan suatu ilmu dari yang lainnya ialah objeknya. Sekalipun objek materinya sama, tetapi sudut pandangnya atau objek formanya berbeda.
Kemudian perlu dikemukakan pula di sini perihal ilmuwan. Ilmuwan adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan harus memiliki sikap-sikap yang harus dimiliki dalam melakukan tugasnya. Sikap tersebut, antara lain :
a.       Objektivitas. Sikap objektif artinya pandangan atau penilaian yang mengutamakan objeknya. Jadi, objektif berarti menilai atau memandang sesuatu sesuai dengan objeknya. Dengan sikap objektif ini, seorang ilmuwan menghindari sikap subjektif, yang bisa berupa emosi, prasangka, atau dugaan yang belum terbukti kebenaran ilmiahnya. Selain itu, dengan adanya sikap subjektif cenderung membawanya kepada hal-hal yang di luar kewajaran, misalnya karena ada kedekatan dengan seseorang, sehingga dalam memberikan penilaian atau pandangan hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
b.      Sikap skeptis, yaitu sikap yang selalu ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat dasar-dasar pembuktianya.
c.       Sikap selalu ingin tahu (misselinousness). Seorang ilmuwan harus memiliki minat, hasrat, dan semangat yang tinggi untuk mencari atau mengetahui jawaban atas berbagai persoalan ilmu yang ditekuninya.
d.      Sikap kejujura ilmiah. Sikap ini membawanya kepada sikap berani mengemukakan sesuatu yang hak (benar) dan menolak yang batil (buruk atau sesuatu yang salah). Dengan sikap jujur, mendorong dirinya untuk selalu terbuka menerima kebenaran atau teori baru yang sudah terbukti kebenaran ilmiahnya. Selain sikap-sikap di atas, seorang ilmuwan juga harus memiliki sikap-sikap lain, seoperti lapang dada, toleran, rendah hati, sabar, tabah, tekun, dan rajin dalam mencari kebenaran-kebenaran ilmiah.

2.      Filsafat
Secara garis besar filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji segala masalah-masalah yang berkenaan dengan segala sesuatu secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat yang sebenarnya. Kata filsafat yang terambil dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang berarti kebijaksanaan atau mencintai kebijaksanaan.
Mengenai objek filsafat, sama halnya dengan objek ilmu pengetahuan terdiri dari dua objek, yaitu objek materi dan objek fomal. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi objek filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Namun, secara garis besarnya objek filsafat terdiri dari tiga aspek, yaitu alam, manusia, dan Tuhan.
Kedudukan filsafat sebagai ilmu pengetahuan dikenal sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, dengan demikian filsafat mempunyai cabang-cabang atau bagian-bagian yang lebih kecil. Bagian-bagian atau cabang-cabang filsafat secara garis besarnya terdiri dari beberapa cabang, yaitu metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, dan sejarah filsafat. Cabang-cabang tersebut secara keseluruhan telah menjelaskan tentang posisi filsafat yang sangat luas cakupannya.
3.      Agama
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berasal dari kata a dan gama. A berarti ‘tidak’ dan gama berarti ‘kacau’. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar. Pengertian gama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhaan Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya.
Agama dibedakan dengan agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang  baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi.

Referensi :
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.