Sabtu, 17 Desember 2016

Filsafat dan Eksistensi Wahyu Allah



Tidak boleh dilalaikan bahwa dalam keadaan konkrit dan historis dikatakan ada wahyu Allah atau revelation. Dilihat dari sudut filsafat harus diakui mungkinnya wahyu Allah itu. Nah, kemungkinan ini tak boleh dilalaikan, jika filsuf hendak mengambil pandangannya sebagai dasar dan pedoman hidup. Sebab mungkin justru wahyu Allah inilah yang menunjukkan bagaimana kehendak Tuhan yang nyata, bagaimana caranya melaksanakan tuntutan kodrat kita (walaupun ini juga harus diselidiki dengan kritis dan seksama).
            Memang dan ini tetap kita pertahankan bahwa filsafat memberikan petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran yang benar dan yang harus dilaksanakan (tentang hidup kesusilaan, kebenaran, kebaikan, kehidupan bersama dan sebagainya). Akan tetapi bahwa de facto ukuran-ukuran ini sedemikian sukar dilaksanakan, sekalipun kodrat manusia menuntut dilaksanakannya ukuran-ukuran itu. Inilah yang menimbulkan sangkaan bahwa filsafat merupakan jawaban yang penghabisan, bahwa pandangan hidup seperti yang diberikan oleh filsafat itu barangkali masih harus disempurnakan dengan pelajaran dari wahyu Allah yaitu mengenai hal-hal yang tidak dapat dicapai atau ditemukan oleh akal manusia sendiri (jika ada wahyu Allah itu tentunya mengajarkan hal-hal yang tidak dapat dimengerti oleh manusia dengan berdasarkan akalnya sendiri. Sebab jika yang diwahyukan itu sudah dapat dimengerti sendiri maka apakah gunanaya wahyu Allah itu?).
            Jadi titik yang terakhir yang dapat dicapai o9leh filsafat ialah demikian: saya berhadapan dengan kegaiban dan keajaiban realitas. Baik realitas saya sendiri meupun realitas/kenyataan di luar saya. Pada akhirnya jawaban yang saya berikan itu tidak memuaskan: saya tetap berhadapan dengan rahasia. Mengingat bahwa ada realitas yang tertinggi ialah Maha realitas, Sumber ada, Tuhan, maka tidaklah mungkin bahwa ada kemungkinan lain, kemungkinan yang lebih luas dan lebih dalam lagi untuk memenuhi kehausan jihad an hati saya? Tidak mungkinkah ada wahyu Allah betul-betul? Demikianlah pertanyaan manusia dan lihatlah pertanyaan ini tidak dibuat-buat. Ingatlah, filsuf merenungkan tentang seluruh kenyataan, tak ada yang dikecualikan, dengan sikap dan hati terbuka ia menghadapi segala-galanya. Maka jika dalam sejarah dikatakan betul-betul ada wahyu Allah, itupun tidak dilalui. Karena pentingnya persoalan, kemungkinan ini tidak boleh diabaikan atau malah dienyahkan, jika orang memang hendak berfilsafat dengan konsekuen dan logis. Dengan demikian filsafat menunjukkan agama sebagai penyempurnaannya dan de facto dalam sejarah filsafat kentara juga bahwa semua ahli-ahli pemikir yang besar pada akhirnya bersikap religious juga.
            Dapat juga dikatakan demikian: semua dorongan yang ada pada manusia itu tak lain ialah dorongan untuk bahagia. Demikian pula dorongan untuk mengerti yang dilaksanakan dalam filsafat, itu datangnya dari dorongan asasi itu tetapi justru karena ia terdorong dan mau tidak mau tetap terdorong maka itu berarti bahwa ia tidak dapat bahagia dengan dan dari dirinya sendiri. Dia haus, jadi ia kekurangan.
            Demikian juga dalam filsafat. Dia haus akan kebenaran, akan kebahagiaan dank arena haus jadi kekurangan! Maka dengan ini nampaklah bahwa filsafat seakan-akan menanti-nantikan agama sebagai penyempurnaannya, sekalipun penyempurnaan itu terletak di lapangan lain, di “tingkatan” yang lain jadi di luar lapangan khusus dari filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar