Minggu, 11 Desember 2016

Konflik Kelompok Dan Perjuangan Kelas



Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuwan sosial dari Afrika di abad ke-14. Sesungguhnya dia selalu menjadi bagian dari kekuasaan kesultanan karena ia menjadi pejabat negara di Tunisia, Algeria, Maroko, dan Spanyol. Dia melahirkan banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi. Terutama sekali kajian berkaitan dengan konflik sebagai hukum sosial dalam sejarah manusia.
            Masa Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup di zaman itu. Masa itu ditandai oleh kemunculan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering berada dalam keadaan ketidakstabilan politik. Kondisi inilah yang memengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khaldun. Sosiologi konflik Ibnu Khaldun memperlihatkan bagaimana dinamika konflik dalam sejarah menusia sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi dan menguasai.
            Suatu kelompok sosial akan mampu mendominasi kekuasaan tatkala secara internal kelompok tersebut mampu menjaga solidaritass kelompoknya. Loyalitas para anggota dalam menjaga persatuan kelompok sosial. Namun begitu solidaritas dalam kelompok mengalami kegoyahan, maka bisa dipastikan suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama dominasi kekuasaannya.  
            Pemikiran kelompok sosial, dominasi kekuasaan, dan dinamika konflik dalam sejarah manusia sebagai hukum sosial dari Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikiran Karl Marx yang muncul lima abad kemudian. Tidak ada dokumen yang memperlihatkan bahwa sosiologi konflik Marx juga dipengaruhi oleh sosiologi konflik Ibnu Khaldul. Namun pembahasan mengenai konflik dan hukum sosial dari usaha dominasi kekuasaan antar kelompok sosial memberi rangkaian pemikiran sosiologi konflik yang serupa.
            Karl Marx lahir dari keluarga Yahudi, ayahnya harus mengubah keyakinannya menjadi Katolik karena situasi politik di Jerman pada waktu itu. Marx menjadi murid Hegel yang cerdas dan kritis. Marx adalah salah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai perkembangan ilmu sosial secara umum. Marx hidup di masa revolusi industry pertama di Eropa dan liberalism politik akibat pengaruh revolusi Perancis. Pertumbuhan industrialisme yang mengubah struktur sosial masyarakat secara dramatis memberi pijakan orientasi pemikiran Marx, terutama sekali perkembangan sistem kapitalisme yang membagi struktur sosial dalam dua posisi berbeda yang ekstrem, yaitu antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang hanya memiliki tenaga.
            Sosiologi konflik Marx dipengaruhi oleh filsafat dialektika Hegel. Melalui perkembangan pemikirannya, Marx menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat material Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus-menerus secara material. Menurut penafsiran Cambell, melalui Tujuh Teori Sosial (1994), Marx adalah penganut materialism historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomis, dari masyarakat komunis primitive menuju feodalisme, berlanjut ke kapitalisme, dan berakhir pada masyarakat tanpa kelas komunisme (classless society).
            Marx mengajukan konsepsi penting tentang konflik, yaitu tentang masyarakat kelas dan perjuangan kelas. Marx menyatakan “… of all instruments of production the greatest force of production is the revolutionary class itself” (… dari semua instrument-instrumen produksi yang paling besar kekuatan produksi itu adalah kelas revolusioner itu sendiri) (dikutip oleh Dahrendorf, 1959: 9). Pernyataan Marx melalui artikelnya The Clasess tersebut memberi penekanan bahwa perubahan sosial dalam sejarah masyarakat manusia adalah akibat perjuangan revolusioner kelas. Kelas revolusioner yang dimaksudkan oleh Marx adalah kelas proletariat. Kelas, menurut Marx, adalah entitas dari perubahan-perubahan sosial. Kelas dan perjuangan kelas kemudian, dalam konteks masyarakat kapitalis Marx, berada dalam kontradiksi sistem ekonomi kapitalis.  Bryan Turner merangkum efek dari proses kontradiksi sistem ekonomi kapitalis: (1) polarisasi radikal dari sistem kelas ke dalam dua kelas bermusuhan, yaitu borjuis dan proletar; (2) proses segregasi sistem kelas, yaitu kelas pemilik modal (kaum borjuis) yang kikir dan pemiskinan kelas pekerja; dan (3) radikalisasi kelas pekerja yang ditransformasikan melalui perjuangan politis (Turner, 1999: 222).
            Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada waktu itu, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Pendefinisian struktur kelas ini tidak lepas dari konteks pada waktu itu ketika perubahan struktur masyarakat begitu dominan dipengaruhi oleh distribusi capital dalam perubahan mode of production (cara produksi). Kedua kelas ini berada dalam struktur sosial yang hierarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini terus berjalan karena masih mengakarnya kesadaran semu, false consciousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa berserah diri, menerima keadaan, dan berharap balasan akhirat. Melalui perspektif ini, Marx menilai agama adalah candu yang mengantar manusia pada halusinasi kosong dan menipu. Agama sebagai lembaga sosial tidak lebih dari instrument pragmatis kelas borjuis melanggengkan model produksi ekonomi kapitalis.
            Ketegangan hubunga produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar melahirkan gerakan sosial besar dan radikal, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Namun Marx tidak membahas bagaimana kesadarn ini terbentuk dan terorganisasi menjadi gerakan sosial melawan kapitalisme. Ini nantinya menjadi kritik Dahrendorf dan Habermas. Dahrendorf nantinya menjelaskan bagaimana perjuangan kelas terbentuk melalui formasi kepentingan dan gerakan kelompok kepentingan (1959).
            Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam sosiologi konflik Marx. Pertama, manusia secara alamiah memiliki angka kepentingan. Jika seseorang bertindak tidak di atas kepentingan alamiah tersebut, berarti mereka telah dicurigai dari kepentingan yang sebenarnya. Kedua, konflik dalam sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akibat benturan kepentingan kelompok-kelompok sosial. Ketiga, Marx melihat keterkaitan ideology dan kepentingan. Bagi Marx gagasan dari suatu zaman adalah refleksi dari kepentingan (Wallace & Wolf, 1995: 79).
            Sebagai seorang ‘reformer’, Marx adalah seorang yang meyakini perubahan sosial radikal. Tetapi lepas dari komitmen moralnya, Marx memberi esensi akademik mengenai realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah dan konflik kelas atas fakta eksploitasi. Ia melihat perubahan sosial melalui proses dialektis sejarah material yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Berkaitan dengan konflik sebagai bagian dari sejarah manusia, Marx menyatakan, “… without conflict, no progress; that is the law which is civilization has followed the present day (tanpa konflik, tidak ada perkembangan (peradaban, penulis); itu adalah hukum pada peradaban sampai sekarang)” (Dahrendorf, 1959: 8). Pernyataan ini juga telah disampaikan oleh Ibnu Khaldun beberapa abad sebelumnya melalui Muqaddimah bahwa sejarah manusia selalu dicirikan oleh konflik kelompok, dan hal ini adalah hukum sosial dalam peradaban manusia.
            Pemikiran Marx nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai tradisi sosiologi konflik neo-Marxis, mahzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik struktural lainnya.


Referensi: Novri Susan. 2009. Sosiologi Koflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

1 komentar:

  1. Kak ini sudah di analisis apa belum kak, karna sama persisis dari buka wkwk

    BalasHapus