Sabtu, 17 Desember 2016

Manusia sebagai Makhluk Berpikir



Aritoteles mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang memiliki rasional (animal rationale), yang membedakannya dengan binatang. Manusia dipandang sebagai satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup, sementara binatang yang lain tak memiliki perasaan dan tak tahu suka dan duka. Sehingga, binatang-binatang lain dipandang hanyalah mesin-mesin setengah hidup.
            Animale rationale manusia telah menempatkan manusia dengan cirri yang istimewa. Keistimewaan tersebut terwujud dalam kemampuan manusia untuk menggunakan rasio (akal pikirannya) yang mengantarkan manusia pada level atau strata yang lebih dari ciptaan-ciotaan Tuhan lainnya. Keistimewaan tersebut semakin lengkap dengan ditempatkannya wujud kemampuan berpikir pada satu struktur yang padu dengan perasaan dan kehendak manusia itu sendiri. Dalam konteks ini maka berpikir dapat dipandang sebagai suatu fitrah kodrati manusia yang selalu melekat pada manusia di mana dan dalam konsisi apa pun.
            Tuhan sebagai penetap fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan manusia untuk menggunakan potensi berpikirnya sebagaimana firman Allah dengan kata-kata “afala tatafakarun” (apakah kamu tidak berpikir), “afala ta’qilun” (apakah kamu tidak berakal), “tandzur” (maka perhatikanlah), dan sebagainya. Firman-firman Allah tersebut yang ditemukan dalam Al-Qur’an, pada hakikatnya dipandang sebagai stimulus yang menyebabkan manusia berpikir.
Ajakan berpikir yang dibumikan Allah dalam firmanNya dapat dilihat seperti: “kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al’Qur’an itu adalah benar…”. Dalam surah lain, Allah berfiman bahwa “Dan Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohin-pohin dan biji tanaman yang diketam”. Selanjutnya, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar antara tulang sulbi laki-laki dan dada perempuan”.
            Ketiga surat tersebut adalah bukti autentik betapa berpikir merupakan bagian langsung dari proses transformasi yang Tuhan inginkan kepada manusia. Surat Fushshilat ayat 53 memberi petunjuk tentang makna berpikir induktif yang melibatkan penalaran dalam memeproleh kesimpulan yang bersifat umum (mayor) dari kenyataan yang bersifat individual (minor). Ayat 9 surat Qaaf  memberi stimulus agar manusia berpikir tentang hidrologi, energy, sumber daya air, hubungan air, dan unsur hara sebagai unsur vital tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Sementara stimulus dan acuan pengetahuan tentang kejadian manusia yang dipikirkan dapat ditemukan dalam surat at-Thariq ayat 5-7.
            Untaian stimulus-stimulus Tuhan dalam firman-Nya sebagaimana diuraikan di atas, pada hakikatnya memberi ruangan yang cukup kepada manusia untuk melakukan proses pengolahan diri yang dimulai dengan suatu pertanyaan mendasar yaitu apa yang dipikirkan? Pertanyaan ini berpusat pada proses dialog dengan diri manusia itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan terasa “sepele” dan mungkin terabaikan. Akan tetapi, kemudian terjelmakan menjadi pertanyaan-pertanyaan “sepele” yang penting. Siapa saya? Saya mau ke mana? Dan pertanyaan-pertanyaan pengenalan diri lainnya menjadi menu pokok dalam proses dialogis ini.
            Pertanyaan tentang pengenalan diri merupakan proses yang akan mengantarkan manusia pada fase di mana manusia memahami hakikat manusia sebagai manusia. Proses berpikir yang terjadi di dalamnya menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi di dalamnya menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi pada diri, lingkungan, dan apa saja yang menjadi dan bias pada diri manusia sebagai sebuah ekosistem. Proses ini diharapkan melahirkan manusia dengan kerangka piker yang kritis dan kreatif, di mana pada saat yang bersamaan seorang manusia memuji dan mengkritisi dirinya sendiri.
            Dalam proses pengenalan diri manusia, kadang kala diketemukan manusia-manusia yang “stag” pada pertanyaan sebagaimana di atas dengan argumentasi Tuhan telah meletakkan ketetapannya atas diri saya dan saya tak ingin bertanya tentang siapa saya. Argumentasi ini sangat dipengaruhi pandangan yang menyebutkan bahwa manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubah ketetapan Tuhan atau dengan kata lain menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan. Pendekatan-pendekatan seperti ini banyak dianut pada masyarakat dengan mistis-religius yang sangat kuat.
            Pada tahapan perkembangan manusia berpikir, manusia-manusia yang terlena akan hidup dan kehidupannya kemudian lebih berpikir pragmatis dan praktis yang berdasar pada tingkat keperluan minimal. Sehingga dalam praktiknya, tingkat ketergantungan manusia akan manusia dan bahkan benda-benda lainnya (baca makhluk) menjadi sangat dominan melebihi ketergantungannya pada Tuhan.
Referensi: Sukarno Aburaera, dkk. 2013. Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.

2 komentar: