Sabtu, 17 Desember 2016

Manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Otonom



Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan dalam uraian ini, berangkat pada konstruksi filsafat perennial mengenai kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya terdiri atas dua hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang dalam kesadaran tentang keterbatasan mempu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
            Manusia pada prinsipnya adalah makhluk lemah. Lemah dalam ketergantungan manusia (dependensi) terhadap penciptanya. Walaupun manusia memiliki ketergangtungan, akan tetapi pada hakikatnya Tuhan telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan manusia yang berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda yang merupakan gambaran keseimbangan (balance) terhadap dependensi tersebut. Tentunya, script itu diharapkan dapat dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang variatif. Proses pewarnaan yang dilakukan oleh manusia itulah yang menjadi gambar dan potret kehidupan setiap manusia yang dalam kondisi sesungguhnya dapat dijewantahkan sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
            Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan segala dependensinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi, dan kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri (survive) dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan segala otonomi yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud penghambaannya (dependensi) kepada Tuhan penciptanya (mutual interest). Jiwa manusia dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada hakikatnya tidak terbatas, di mana mereka tidak pernah puas akan apa yang telah diperolehnya. Sementara di pihak lain, manusia sangat berhasrat agar posisinya ditinggikan kea rah perhubungan dengan Tuhan yang Maha Abadi. Pleh karena itu, sinergitas otonom dan dependensi manusia pada Tuhan yang secara kasatmata kontradiktif, haruslah berada dalam kesatuan yang seimbang.
Pertanyaan yang kemudia muncul terkait otoritas Tuhan dan otonom manusia adalah sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia dan sejauh mana delegasi Tuhan kepada manusia? Untuk menjawab pertanyaan otoritas Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan. Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya mengikuti seluruh ketentuan Tuhan yang telah digariskan. Dalam hal ini, manusia dipandang seperti “robot” yang dikendalikan dengan sebuah remote control. Kedua, manusia digambarkan sebagai makhluk otonom penuh, di mana otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan dan keterbatasan.
            Kedua pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai ke dalam dua konsep yang menyatakan hubungan Tuhan dengan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Kensep pertama mengatakan bahwa Tuhan Mahakuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Konsep ini dalam literatur Arab disebut dengan Jabariah, yang berasal dari bahasa Arab yang artinya Jabara kata ini kemudian menjadi paham jabariah. Dalam bahasa Inggris disebut predestination (fatalisme).
            Manusia dalam aliran ini dapat dianologikan seperti mobil balap yang bergerak jika digerakkan dengan remote control yang dikendalikan oleh seseorang yang memegangnya. Ditinjau dari kekuasaan mutlak Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun, dari segi kebebasan manusia paham ini menimbulkan persoalan yang cukup rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalm agama kalau perbuatan manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah perbuatan Tuhan lagi dia tidak bebas berkehendak dan berbuat?
            Konsep kedua, perbuatan manusia adalah hakiki bukan kiasan. Manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat daya kebebasan itu sendiri diserahkan kepada manusia. Paham ini yang dalam bahasa Arab disebut Qadariah.
            Konsep kedua ini, dalam bahasa Inggris biasa dikenal free will. Ketika dihadapkan pada paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan tidak bebas lagi berbuat bebas karena Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan yang telah diberikan kepada manusia atau mengubah pemberian pahala kepada orang jahat dan menyiksa orang baik.
Kontradiktif pandamgan pertama dan kedua serta kedua konsep dalam filsfat agama, berimplikasi pada lahirnya pandangan ketiga yang merupakan bargaining dari kedua pandangan dan konsep tersebut. Manusia dalam hal ini, digambarkan sebagai makhluk yang memiliki otonomi dengan keterbatasan. Dengan kata lain, manusia itu bebas dalam keterikatan, dan terikat dalam kebebasannya.  
            Dalam konteks delegasi Tuhan kepada manusia, Tuhan membekali manusia dengan fitrah ilmu. Fitrah ilmu ini pertama kali diberikan kepada Adam khususnya dalam urusan tata pengelolaan bumi yang termaktub dalam dialog Tuhan dengan Malaikat pada proses penciptaan manusia. Adam oleh Tuhan dalam proses penciptaannya dilengkapi dengan kesempurnaan ilmu yang menjadi pembeda Adam (manusia) dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti malaikat dan jin.

Referensi: Sukarno Aburaera, dkk. 2013. Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.

1 komentar: