Minggu, 11 Desember 2016

Stratifikasi Sosial Dan Konflik



Max Weber terlahir di tahun 1861 dari keluarga kaya (borjuis) di Jerman. Ia menikmati kemewahan posisi sosial ayahnya yang menjadi anggota penting parlemen di Jerman dari Partai Liberal Jerman. Walaupun demikian, ia mengalami pengalaman pahit dari hubungan pernikahan ayah dan ibunya. Weber sendiri merupakan pendiri Partai Demokrat Jerman (Deutshce Democratishe Partie). Hal ini menunjukkan ketertarikannya pada dunia politik di Jerman pada waktu itu. Latar belakang aktivitas dan lingkungan ini akan memberi pengaruh besar terhadap sosiologi konflik Weber.
            Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada kepentingan alamiah dalam setiap diri manusia. Kepentingan alamiah inilah yang mendorong manusia untuk terus bergerak mencapai kekayaan serta menciptakan tujuan-tujuan penting dan nilai-nilai dalam masyarakat. namun Weber tidak sepakat dengan apa yang dipikirkan Marx tentang determinisme ekonomi. Bahkan Weber menyebut Marx sebagai sosiologi dogmatis, dan menyebut sosiologinya sebagai sosiologi empiris (Lowith, 1993: 121). Selanjutnya menurut Turner, perbedaan teoritis antara Weber dan Marx ini juga terlihat dari komitmen metodologi Weber yang mengikuti individualism, sosiologi sebagai perspektif interpretative pada tindakan sosial. Sedangkan Marx mengacu pada epistemologi realis, strukturalisme, dan materialism sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari cara produksi (Turner, 1999: 50).
            Weber menciptakan tipe ideal tindakan sosial untuk memahami pola dalam sejarah dan masyarakat kontemporer. Ia menciptakan tipe ideal tindakan, hubungan sosial, dan kekuasaan. Weber mengklasifikasi tindakan individu ke dalam empat tipe ideal, yaitu zwecrational, wertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional. Zwecrational berkaitan dengan means and ends, yaitu tujuan-tujuan dicapai dengan menggunakan alat atau cara, perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertrational adalah tindakan nilai yang orientasi tindakan tersebut tidak berdasarkan pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif individu  didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell, 1994).
            Sebagai ilmuwan sosial menempatkan Weber sebagai seorang teoritikus micro anlaysis karena ia berangkat dari tindakan sosial. Tetapi, seperti pendapat George Ritzer (2000), Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan individu tetapi ia sendiri memberi analisis tentang masyarakat. bahkan menjangkau lebih luas dari definisi kelas Karl Marx. Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme ekonomi, Weber dalam The Theory of Social and Economic Organization (1947) memberikan konsep sosiologis kelas yang komprehensif. Stratifikasi tidak hanya ditentukan oleh ekonomi semata melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik).
            Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial. Setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi yang lebih tinggi. Ini berarti stratifikasi sosial Weberian bisa disebut sebagai lembaga pemenuhan dasar kebutuhan manusia. Untuk itulah relasi-relasi sosial manusia diwarnai oleh usaha-usaha untuk meraih posisi-posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha-usaha tersebut bisa dibaca sebagai bentuk dan kombinasi berbagai tipe ideal tindakan. Pada satu kasus tindakan meraih posisi tinggi dalam stratifikasi sosial diwarnai oleh tindakan zwectrational saja, dan pada kasus lain diwarnai oleh kombinasi tipe-tipe ideal tindakan. Keadaan inilah yang membuat konflik muncul dalam banyak relasi sosial. Weber sendiri sebenarnya membagi tipe ideal hubungan sosial menjadi tiga, yaitu hubungan sosial tradisional-komunal, sosial konflik, dan asosialisasi.
            Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah unsur dasar dari setiap tipe ideal hubungan sosial, yaitu power. Weber memperlihatkan tiga model kekuasaan. Pertama adalah kekuasaan berbasis pada karisma yang berpusat pada kualitas pribadi. Seperti karisma seorang Soekarno di Indonesia dan Ahmad Dinejaad di Iran. Kedua adalah wewenang tradisional yang diwarisi melalui adat kebiasaan dan nilai-nilai komunal. Ketiga adalah wewenang legal formal yang merupakan kekuasaan berbasis pada aturan hukum resmi (Wallace & Wolf, 2000: 81-82).

Referensi: Novri Susan. 2009. Sosiologi Koflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar