Margaret M. Poloma dengan mengutip Cotton (1966) dan
Wrong (1976) menjelaskan; Berbeda dengan sosiologi naturalistis atau positivis,
sosiologi humanistis bertolak dari tiga isu penting, yaitu: pertama, tidak
seperti sosiologi naturalistis, sosiologi humanistis menerima “pandangan common-sense tentang hakikat sifat
manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya di atas pandamgan itu;
kedua, para ahli sosiologi humanis itu yakin bahwa pandangan common-sense tersebut dapat dan harus
diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan sosiologis
berasal. Dengan demikian, pembanguan teori dalam sosiologi bermula dari hal-hal
yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari dan umum; ketiga,
sosiologi humanis “mengetengahkan lebih banyak maslah kemanusiaan ketimbang
usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dalam ilmu-ilmu
alam untuk mempelajari masalah-masalah manusia” (Poloma, 1994: 10).
Humanisme ilmu sosial menolak
positivisme yang mengambil alih metode ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Aliran
ini berangkat dari filsafat Kantian yang menolak fakta sosial, angka dari suatu
rumusan umum, dan mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (objek).
“ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu.
epistemology transcendental Immanuel Kant menjelaskan refleksi atas
syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai
subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu
kebingungan dari kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Dunia
hanya dapat diketahui hanya melalui proses penyaringan, seleksi, dan
pengkategorian kejadian-kejadian” (Ritzer, 2000: 25), kemudian melahirkan
aliran ilmu sosial Kantian yang menolak positivisme, seperti Max Weber dan W.
Dilthey.
Max Weber (1864-1920) dapat disebut yang
mengawali aliran humanism dalam sosiologi, mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial
harus berkaitan dengan fenomena ‘spiritual’ ‘atau’/’ideal’, yang sesungguhnya
merupakan ciri khas dari manusia, yang tidak ada dalam jangkauan bidang
ilmu-ilmu alam. Pendekatan untuk ilmu sosial tidak seperti dalam tradisi
positivisme yang mengasumsikan kehidupan sosial atau masyarakat selayaknya
benda-benda, tetapi ia meletakka pada realitas kesadaran manusia sehingga
muncul usaha untuk memahami dan menafsirkan.
Menurut Anthony Giddens (1986) Weber
menekankan bahwa ‘dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kita berurusan dengan
gejala-gejala jiwa yang “memahaminya” dengan sungguh-sungguh dan tentu saja
merupakan suatu tugas dari suatu jenis yang khusus berbeda dari
fenomena-fenomena yang bisa diterangkan atau diusahakan agar bisa diterangkan
oleh rencana-rencana ilmu pengetahuan alam eksakta pada umumnya (Giddens, 1986:
164-179). Weber selain mendekati ilmu sosiologi, melalui konsep Kantian, dia
juga telah berusaha membuat garis penghubung perdebatan antara positivisme dan
humanisme.
Alfred Schuzt, di Austria, ikut
meletakkan dasar aliran humanisme melalui fenomenologi, baginya subject matter (pokok pikiran) sosiologi
adalah melihat bagaimana cara manusia mengangkat, atau menciptakan, dunia
kehidupan sehari-hari (Ritzer, 2000: 387), atau bagaimana manusia
mengkonstruksi realitas sosial. Schuzt sendiri merupakan pelanjut pemikiran
Edmund Husrell dan juga Weber, yang lebih dahulu meletakkan dasar humanisme
ilmu sosial. Pendekatan mereka mencirikan historisisme (Berger dan Luckman,
1966: 10).
Setelah Schuzt dengan fenomenologinya,
dalam ilmu sosial kontemporer Peter L. Berger dan Thomas Luckman merupakan
generasi yang melanjutkan tradisi humanisme ilmu sosial melalui sosiologi
pengetahuan (sociology of
knowledge-wissenssoziologie). Beberapa ilmuwan sosial menyebut sosiologi
pengetahuan Berger seperti usaha Weber adalah usaha menjembatani anatar positivis
dan humanis. Berger sering diposisikan sebagai aliran humanis yang juga
memanfaatkan pendekatan fakta sosial. Berger memasukkan konsep realitas
objektif dan subyektif dalam dialektika simultan. Poloma menyatakan “bahwa
dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan
mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun
teoritis dan relevan” (Poloma, 1994: 303).
Aliran ilmu sosial humanistis memandang
bahwa sejarah dan pemahaman terhadap dunia sosial, dunia sehari-hari yang
meliputi tindakan dan pemaknaan, bahasa, menjadi pijakan untuk melihat realitas
sosial.
Referensi:
Novri Susan. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar