Max Weber terlahir di tahun 1861 dari keluarga kaya
(borjuis) di Jerman. Ia menikmati kemewahan posisi sosial ayahnya yang menjadi
anggota penting parlemen di Jerman dari Partai Liberal Jerman. Walaupun demikian,
ia mengalami pengalaman pahit dari hubungan pernikahan ayah dan ibunya. Weber sendiri
merupakan pendiri Partai Demokrat Jerman (Deutshce
Democratishe Partie). Hal ini menunjukkan ketertarikannya pada dunia
politik di Jerman pada waktu itu. Latar belakang aktivitas dan lingkungan ini
akan memberi pengaruh besar terhadap sosiologi konflik Weber.
Max
Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada kepentingan alamiah dalam
setiap diri manusia. Kepentingan alamiah inilah yang mendorong manusia untuk
terus bergerak mencapai kekayaan serta menciptakan tujuan-tujuan penting dan
nilai-nilai dalam masyarakat. namun Weber tidak sepakat dengan apa yang
dipikirkan Marx tentang determinisme ekonomi. Bahkan Weber menyebut Marx
sebagai sosiologi dogmatis, dan menyebut sosiologinya sebagai sosiologi empiris
(Lowith, 1993: 121). Selanjutnya menurut Turner, perbedaan teoritis antara
Weber dan Marx ini juga terlihat dari komitmen metodologi Weber yang mengikuti individualism,
sosiologi sebagai perspektif interpretative pada tindakan sosial. Sedangkan Marx
mengacu pada epistemologi realis, strukturalisme, dan materialism sejarah
sebagai ilmu pengetahuan dari cara produksi (Turner, 1999: 50).
Weber
menciptakan tipe ideal tindakan sosial untuk memahami pola dalam sejarah dan
masyarakat kontemporer. Ia menciptakan tipe ideal tindakan, hubungan sosial, dan
kekuasaan. Weber mengklasifikasi tindakan individu ke dalam empat tipe ideal,
yaitu zwecrational, wertrational, tindakan
afektif, dan tindakan tradisional. Zwecrational
berkaitan dengan means and ends,
yaitu tujuan-tujuan dicapai dengan menggunakan alat atau cara, perhitungan yang
tepat, dan bersifat matematis. Wertrational
adalah tindakan nilai yang orientasi tindakan tersebut tidak berdasarkan
pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif
individu didominasi oleh sisi emosional,
dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung
tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell, 1994).
Sebagai
ilmuwan sosial menempatkan Weber sebagai seorang teoritikus micro anlaysis karena ia berangkat dari
tindakan sosial. Tetapi, seperti pendapat George Ritzer (2000), Weber memang
memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan individu tetapi ia sendiri memberi
analisis tentang masyarakat. bahkan menjangkau lebih luas dari definisi kelas
Karl Marx. Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme ekonomi,
Weber dalam The Theory of Social and
Economic Organization (1947) memberikan konsep sosiologis kelas yang
komprehensif. Stratifikasi tidak hanya ditentukan oleh ekonomi semata melainkan
juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik).
Konflik
muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial. Setiap stratifikasi adalah
posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka
memperoleh posisi yang lebih tinggi. Ini berarti stratifikasi sosial Weberian
bisa disebut sebagai lembaga pemenuhan dasar kebutuhan manusia. Untuk itulah
relasi-relasi sosial manusia diwarnai oleh usaha-usaha untuk meraih posisi-posisi
tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha-usaha tersebut bisa dibaca sebagai
bentuk dan kombinasi berbagai tipe ideal tindakan. Pada satu kasus tindakan
meraih posisi tinggi dalam stratifikasi sosial diwarnai oleh tindakan zwectrational saja, dan pada kasus lain
diwarnai oleh kombinasi tipe-tipe ideal tindakan. Keadaan inilah yang membuat
konflik muncul dalam banyak relasi sosial. Weber sendiri sebenarnya membagi tipe
ideal hubungan sosial menjadi tiga, yaitu hubungan sosial tradisional-komunal,
sosial konflik, dan asosialisasi.
Yang
menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah unsur dasar dari setiap tipe
ideal hubungan sosial, yaitu power. Weber
memperlihatkan tiga model kekuasaan. Pertama
adalah kekuasaan berbasis pada karisma yang berpusat pada kualitas pribadi. Seperti
karisma seorang Soekarno di Indonesia dan Ahmad Dinejaad di Iran. Kedua adalah wewenang tradisional yang
diwarisi melalui adat kebiasaan dan nilai-nilai komunal. Ketiga adalah wewenang legal formal yang merupakan kekuasaan
berbasis pada aturan hukum resmi (Wallace & Wolf, 2000: 81-82).
Referensi: Novri Susan. 2009. Sosiologi Koflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar