Nilai
adalah gambaran tentang sesuatu yang indah dan menarik, yang mempesona, yang
menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan merupakan sesuatu yang
menjadikan seseorang atau sekelompok orang ingin memilikinya.
Nilai itu tersebar di setiap sudut
wilayah pendidikan. Nilai itu mencakup setiap aspek praktik sekolah. Nilai itu
merupakan dasar bagi sebuah persoalan piliha dan pembuatan keputusan.
Menggunakan ini, guru mengevaluasi siswa dan siswa mengevaluasi guru.
Masyarakat mengevaluasi perjalanan studi program sekolah dan bahkan kompetensi
guru. Sebaliknya, masyarakat itu sendiri dievaluasi oleh guru. Ketika kita
membuat suatu keputusan tentang praktik pendidikan, ketika kita meramalkan
segi-segi kebijakan pendidikan, pertanyaannya adalah apa jenis nilai yang akan
kita terapkan.
Pada dasarnya nilai mimiliki pengertian
yang sangat luas, sehingga selalu uraiannya dalam beragam makna. Nilai dapat
diartikan dalam makna benar dan salah, baik dan buruk, manfaat atau berguna,
indah dan jelek, dan lain sebagainya. Kualitas nilai biasanya terlihat pada
rasa puasnya seseorang dalam melihat hasil karyanya. Seseorang akan merasa
bahagia jika telah berbuat yang benar dan merasa gelisah jika tidak dapat
merealisasikan apa yang dianggapnya benar. Seseorang akan merasakan bermakna
dalam hidupnya jika ia telah dapat mewujudkan kebaikan tertinggi dalam
hidupnya. Orang akan senantiasa mengarahkan matanya, pikirannya dan karyanya
pada sesuatu yang indah dan nyaman, bukan pada sesuatu yang tidak indah dan
tidak nyaman untuk dilihat dan dinikmati. Oleh karena itu, istilah nilai selalu
dihubungkan pada penunjukan kualitas sesuatu benda ataupun perilaku dalam
berbagai realitas. Dan hal ini perwujudan dari watak hakiki manuisa yang memang
akan senantiasa memuarakan semua aktivitasnya pada hal yang terbaik dan
bernilai.
Studi umum tentang nilai, dikenal dengan
aksiologi yang meliputi tiga pertanyaan utama, yaitu: (1) Apakah nilai itu
subjektif atau objetif, atau apakah nilai itu personal atau impersonal; (2)
Apakah nilai itu berubah atau konstan; (3) Apakah ada hierarkis dalam nilai
itu; (4) Dapatkah nilai itu diajarkan?
Pendapat yang menyebutkan bahwa nilai
bersifat objektif berarti memberikan klaim bahwa nilai itu berada di dalam
kebenaran itu sendiri tanpa menghiraukan preferensi manuisanya. Nilai-nilai
seperti kebaikan, kebenaran dan kecantikan merupakan realitas kosmik.
Kesemuanya itu merupakan bagian dari hakikat sesuatu. Sesuatu yang pasti adalah
benar secara objektif. Nilai baik dan kualitas dalam suatu tindakan adalah baik
secara inheren. Pendidikan memiliki nilai objektif, karena kebaikannya berada
dalam dirinya. Pendeknya, nilai dan kualitas atau nilai sesuatu bersifat
inheren dengan benda atau tindakan itu sendiri, bukan karena sesuatu yang lain
di luar dirinya.
Bagi yang mengatakan bahwa nilai itu
subjektif, berarti mengklaim bahwa nilai itu merupakan refleksi prefrensi
perorangan, karena memang dinilai oleh seseorang dengan segala sesuatu yang ada
dalam dirinya, sehingga sesuatu itu dikatakan bernilai selalu berdasarkan pada
subjektivitas penilaiannya. Oleh karena itu, nilai suatu benda atau perbuata
bukan dari dirinya, tetapi karena susuatu yang ada pada penilaiannya.
Mengatakan bahwa pendidikan itu dapat bernilai umpamanya berarti mengatakan
bahwa seseorang menilai pendidikan berdasarkan dirinya atau berdasarkan orang
yang menilai pendidikan itu. Hal ini bukan mengklaim bahwa pendidikan adalah
bernilai tanpa memperhatikan apakah ada orang yang memikirkan hal seperti itu.
Jika demikian, maka nilai bersifat relatif.
Kecuali itu, sebagian orang berpendapat,
bahwa nilai itu adalah absolute dan abadi. Nilai-nilai ini merupakan sesuatu
yang valid hari ini adalah juga valid pada masa lalu dan juga valid untuk
setiap orang tanpa memperhatikan ras dan kelas sosial. Kedermawanan umpamanya
kadang-kadang merupakan sesuatu yang baik bagi semua manusia di mana pun dan
kapan pun. Pendapat lain mengatakan bahwa semua nilai itu relatif menurut
keinginan manusia. Seperti keinginan kita merubah sehigga nilai itu
mengekspresikan perubahan keinginan kita itu. Keinginan demikian juga
menjadikan nilai berubah dalam merespons kondisi-kondisi historis yang baru,
ajaran agama yang baru, penemuan sains yang baru, perkembanagn teknologi yang
baru, kemajuan dalam bidang pendidikan dan seterusnya.
Nilai-nilai ini dapat disampaikan secara
empiric dan dapat pula diuji secara general. Nilai ini dapat tercipta dari
pikiran rasional atau dapat juga merupakan hasil dari keyakinan yang kuat.
Umpamanya kita dapat menanyakan apakah grading
itu merupakan sesuatu nilai? Kita secara absolut tidak mengatakan yes atau no. jika dapat atau tidak sangat tergantung pada orang yang
terlibat dalam hal itu. Bagaimana kita dapat mengetahuinya? Secara jelas tentu
melalui penerapan standar atau kriteria yang dapat diterima oleh orang-orang
terdidik. Sebaliknya standar-standar semacam ini dikaitkan secara dekat kepada
nilai-nilai absolut. Atau paling tidak kepada nilai-nilai yang lebih bersifat
permanen. Sejauh mana kita dapat mengetahui akan nilai-nilai mana yang dapat
berubah jika kita tidak memiliki sesuatu yang permanen yang menentang berhadap
perubahan itu?
Seperti sebuah peraturan, anak-anak muda
lebih menangkap nilai-nilai mereka secara personal dan relatif. Dalam hal ini
mereka menghargai sesuatu ketika mereka menginginkan untuk memeliharanya.
Sesungguhnya pemikiran untuk memiliki sesutau yang absolut merusak mereka
secara mendasar kecuali ketika yang absolut itu muncul sebagai keinginan mereka
seperti kebebasan kasih sayang, menghormati, dan saling memahami antarmanusia.
Sikap apa pun dari pemikiran seseorang
yang menetapkan bahwa nilai itu tergantung pada filsafatnya secara umum seperti
yang akan saya tunjukkan, kaum filosofis idealis mengatakan bahwa ditemukan
adanya hirarkhi nilai yang mana nilai spiritual lebih tinggi dari nilai
material. Kaum idealis merangking nilai agama pada posisi yang tinggi, karena
menurut mereka nilai-nilai ini akan membantu kita merealisasikan tujuan kita
yang tertinggi, penyatuan dengan tatanan spiritual. Sementara filsuf realis
juga meyakini bahwa ditemukan hierari nilai, tetapi kelompok ini merangking
nilai rasional dan empiris pada posisi yang tinggi, karena nilai ini mendorong
kita untuk mengakui realitas yang objektif, hukum-hukum alam dan hukum-hukum
logika. Filsuf pragmatis menyangkal adanya hierarki nilai. Bagi kelompok ini,
sebuah aktivitas mejadi baik seperti yang lainnya jika ia dapat memuaskan suatu
kebutuhan yang urgen dan memiliki nilai instrumentalis. Kaum pragmatis,
sensitive terhadap nilai yang dihargai oleh masyarakat, tetapi kelompok ini
percaya bahwa yang paling penting untuk menguji nilai secara empiris dari pada
secara rasional. Kelompok ini juga meyakini demikian karena menganggap bahwa
semua nilai-nilai tertentu semata-mata merupakan instrument bagi pencapaian
nilai yang lebih baik.
Dengan demikian, studi nilai secara
saintifik, sama baiknya dengan studi nilai filosofis. Umpamanya, jika kita
dapat menunjukkan bahwa orang Amerika menghargai nilai yang sama sebagaimana
juga dilakukan oleh orang lain di tempat lain, kita akan mendatangkan suatu
cara yang pandang untuk menetapkan dasar-dasar di mana pemahaman internasioanal
dapat dibangun. Menjelaskan klasifikasi yang telah dibuat oleh manuisa dalam
nilai sesungguhnya berbeda dengan apa yang mereka ucapkan tentang nilai itu.
Hasil-hasil ini, harus ditelaah oleh setiap pendidik. Temuan-temuan saintis
sosial memberikan masukan kepada pendidik dan filsuf mengenai fakta-fakta untu
studi yang lebih mendalam.
Nilai pada hakikatnya tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang menjadi prasyarat dan
pembangkit. Nilai timbul karena manusia mempunyia bahasa, sehingga memungkinkan
adanya saling berhubungan seperti yang tampak dalam pergaulannya dalam
masyarakat. nilai tidaklah dapat dipisahkan dari realitas dan pengetahuan yang
dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Hal ini disebabkan karena suatu nilai
muncul dari keinginan, dorongan, perasaan dan kebiasaan manusia yang menjadi
wataknya yang adalah kesatuan antara faktor-faktor individual, sosial yang
terwujud ke dalam suatu keprinbadian.
Hubungan timbal-balik karakteristik
nilai instrinsik dan instrumentalis dapat menyebabkan terwujudnya transformasi
dalam nilai. Nilai-nilai yang telah menjadi bagian integral dalam suatu
kebudayaan tampil sebagai bagian pengalaman yang senantiasa menjadi bahan
penilaian setiap individu dalam suatu masyarakat yang akan menentukan berubah
tidaknya standar nilai sesuatu. Pendeknya, nilai akan selalu menunjukkan
perkembangan dan perubahan seiring dengan kecenderungan dan sikap mental
individu-individu dalam suatu masyarakat.
Sesungguhnya hakikat interaksi ini
dihasilkan oleh apa yang disebut dengan interest. Secara etimologis interest ini berarti to be between yang menempatkan nilai
antara dua sisi interest, yaitu anka dan kurikulum. Begitu terciptanya hubungan
dua sisi, segera memunculkan reaksi yang pada gilirannya mendatangkan
kebiasaan. Hasil dari kebiasaan ini yang juga termasuk mengelola kurikulum dan
siswa. Sedemikian rupa dalam setiap peristiwa apa pun, interest atau nilai betapapun kecilnya akan tersaring dari proses
interaksi ini sekalipun interaksi ini sebagian besar membuat hal-hal yang
bersifat kognitif. Untuk hal seperti inilah nilai itu sangat jarang dikenal
sebagai bentuk known about, tetapi
nilai itu adalah sesuatu yang dirasakan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengajarkan
suatu kebenaran tentang nilai tanpa mengajarkan niali itu sendiri. Namun
demikian dalam bentuk pengajaran guru diharapkan sangat untuk memperkenalkan
nilai; tentang segala hal yang dipelajari siswa dituntut dapat memuaskan
nilai-nilai ke dalam materi pelajaran mereka berdasarkan hasil antusias
personal mereka masing-masing. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa nilai
yang dipahami siswa berasal dari materi yang mereka pelajari dalam aktivitas
pembelajaran mereka sedemikia rupa nilai bukan sesuatu yang diberitahukan
kepada siswa melalui kurikulum yang memang dirancang untuk pengajaran nilai
mereka, atau diserahkan sepenuhnya kepada siswa menurut kebutuhan biologis dan
psikis mereka masing-msing tanpa direncanakan seperti dua pendapat yang telah
dipaparkan di atas.
Dari paparan di atas dapat dikatakan
bahwa nilai secara sederhana merupakan sebuah idea tau konsep tentang sesuatu
yang amat penting dalam kehidupan yang memang menjadi perhatian seseorang,
sehingga jika seseorang sedang memikirkan sesuatu nilai, maka pada dasarnya ia
telah mengusahakan nilai-nilai dari Sesutu tersebut.
Dalam konteks kajian akademik studi
nilai biasanya dibagi pada kelompok area, yakni aksetis dan etika. Dalam
lapangan aksetis studi nilai diarahkan pada semacam upaya penelaahan dan
pembenaran tentang keindahan dan kecantikan oleh manuisa. Pada bidang etika
lebih mengacu pada upaya penelahaan dan pembenaran tentang perilaku yang
semestinya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Pendek kata, studi
nilai dalam konteks etika adalah penelahaan tentang persoalan moral dalam
bentuk pemikiran reflektif tentang apa yang benar dan salah, baik dan tidak
baik.
Pada dasarnya nilai tidak berada dalam
dunia pengalaman, akan tetapi ia berada dalam pikiran, sebagaimana halnya dalam
dunia ide-ide yang lain. secara praktis nilai menjadi standar perilaku yang
menjadikan orang selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang
telah diyakininya itu. Sedemikian rupa, sehingga menjadikan semua orang selalu
memiliki nilai-nilai, kendatipun ada banyak orang yang justru tidak menyadari
nilai apa yang ia miliki dan ia inginkan dalam hidup dan kehidupannya.
Sebagai standar perilaku, nilai membantu
kita menentukan dalam pengertian sederhana terhadap sesutau. Dalam pengertian
yang lebih komples nilai membantu kita menentukan apakah sesuatu itu perlu,
atau baik atau buruk.
Jadi, kendatipun nilai berada pada
wilayah pikiran manusia, tetapi eksistensinya dibutuhkan manusia untuk menjadi
standar bagi sebuah perilaku yang diinginkan. Oleh karena itu, karena
pendidikan erat kaitannya dengan perubahan perilaku manusia kea rah
kesempurnaan dan kebaikan meniscayakan dirinya bersentuhan dengan persoalan
nilai.
Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar