Kita harus membedakan empat tingkatan/ruangan
pengetahuan (level of thought), yaitu:
1)
Tingkatan ilmu
pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan).
2)
Tingkatan
ilmu-ilmu pasti.
3)
Tingkatan
filsafat.
4)
Tingkatan agama
atau theology.
Masing-masing tingkatan ini mempunyai
metode, cara penyelidikan, ukuran-ukuran, hukum-hukum sendiri, yang tidak boleh
“dioper” atau dialihkan ke tingkatan lain dengan semaunya saja.
Juga mengenai peranan dan kepentingan
filsafat itu. Filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting pula
pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang, karena filsafat justru
hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia.
Akan tetapi, walaupunkita selalu akan
mempertahankan pendapat bahwa filsafat adalah usaha menerangkan segala sesuatu
itu sampai kepada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi pula
bahwa filsafat tidak dapat menerangkan realitas yang kita alami. Misalnya: hasrat mengejar kemerdekaan: bahwa
manusia adalah merdeka, artinya ialah bahwa manusia mengatasi dan menguasai
materi, bahwa ia tidak seluruhnya terikat pada materi dan dikuasai oleh materi.
Kemerdekaan kita itu seakan-akan
merupakan sayap dengan nama manusia dapat membumbung ke atas. Akan tetapi yang
terang dan nyata yang tak dapat disangkal bahwa yang kita alami sendiri ialah:
ada luka-luka pada sayap kita itu. Keerdekaan kita berupa sayap, tetapi sayap
yang luka. Kemudian, kita seakan-akan berada dalam belenggu. Penyebabnya
kemungkinan akan tetap rahasia bagi kita. Belum pernah filsafat dapat
menunjukkan sebab itu.
Kemerdekaan berdasarkan pengetahuan. Ini
berarti bahwa kemerdekaan kita itu berdasarkan intelek/akal pikiran kita.
Bagaimanakah keadaan pikiran kita? Bagaimanapun juga harus diakui bahwa
pengetahuan kita tentang tujuan manusia demikian kurang terangnya, hingga
kebanyakan manusia tidak mempunyai orientasi yang cukup, orientasi yang
memungkinkan bergerak kea rah tujuan tadi. Dan memang paling sedikit dapatlah
disangsikan apakah manusia itu jika hanya berpikir sendiri dapat memperoleh
pengetahuan yang cukup tentang hal ini. Kita di sini tidak mempersoalkan
pengetahuan yang abstrak tentang Tuhan, pengetahuan yang tidak menarik (itu
memang ada). Kita memperbicangkan pengetahuan-pengetahuan yang memenuhi hati,
“pengetahuan yang mendinamisir” jiwa, kita bicarakan pengetahuan yang
mendekatkan Tuhan yang taqarrub ilallah, pengetahuan yang memberi hidup, yang
tahan, yang kuat dan memberi isi betul-betul kepada hidup. Pengetahuan yang
semacam itu dapat dicapai oleh manusia berdasarkan kekuatannya sendiri saja
padahal hanya pengetahuan yang semacam inilah yang akan cukup kuat untuk
mendorong kita ke atas.
Kesadaran penuh dengan diri sendiri
dengan badannya, dengan kesenangannya. Ikatan dunia material adalah menjadi
sedemikian rupa sehingga manusia-manusia sangat sukar berpikir tentang yang
tinggi-tinggi, tentang cita-cita rohani yang mulia, tentang Tuhan dan
pengabdian kepada-Nya. Manusia diikat dan dicenderungkan oleh pancainderanya
kepada dunia material. Inilah yang lebih terasa daripada dorongan yang
tinggi-tinggi itu.
Bukan saja pikiran kita melainkan juga
dorongn-dorongan yang ada pada kita itu mengandung luka-luka. Jika mengingat
kodratnya yang rohani, bukankah manusia harus terdorong akan kesempurnaan
rohani? Memang pada hakikatnya dorongan ini ada, bahkan kadang-kadang terasa
pula akan tetapi apakah lagi yang kita lihat sehari-hari? Kebanyakan manusia
sehari-hari hanyalah penuh dengan dorongan kesenangan badan/jasmani. Inilah
yang kebanyakn lebih terasa.
Emang demikianlah manusia itu, sebagai
rohani ia pada hakikatnya mempunyai benih kemerdekaan. Ia hendak merdeka, ia
ingin terlepas dari godaan kejasmaniannya, ia ingin bebas merdeka. Akan tetapi
sementara itu merupakan kemerdekaan yang terikat yang terbelenggu dan sebabnya
filsafat belum pernah dapat menerangkan kekurangan ini.
Untuk filsafat hal ini selalu merupakan
rahasia. Bagaianakah mungkinnya bahwa manusia yang menurut kodratnya mengatasi
dunia dan kebendaan yang seharusnya hanya mempergunakan “dunia” itu untuk
mencapai kerohaniannya, yang pada hakikatnya harus mengatasi kebendaannya
senditi, toh ingin tenggelam ke dalam materi, ingin menjerumuskan diri ke dalam
dunia itu, seakan-akan tidak ingin mengatasi keadaan itu. Inilah kontradiksi
hidup konkrit manusia. Dan bagaimanakah kontradiksi itu dapat diatasi? Manakah
jalan keluarnya? Di sinilah filsafat bungkem dan membisu seribu bahasa.
Ahli pikir dan ulama besar dari tokoh
Islam An Nadawiy secara filosofis
mengemukakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang sulit dan penuh paradox atau
kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan keinginannya
banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas
dari alam ini.
Manusia itu terdiri dari roh dan jasad,
sedangkan roh selalu menariknya untuk kembali pada asal dan sumbernya (Allah),
sedangkan jasad menariknya kepada asalnya pula yaitu tanah. Bila pengaruh roh
menjadi lemah maka menjadi lepas lalai, manusia dalam kelezatan syahwati,
bagaikan hewan liar. Menjadi padamlah sinar roh dan hati, lalu muncullah
kezaliman dan berbagai kejahatan. Manusia menjadi hewan liar yang berbahaya,
menerkam sesamanya. Manusia menjadi “homo homini lupus”.
Selanjutnya An Nadawiy menegaskan betapa Nubuwwah (Allah mengirim Rasul) untuk
menolong perikemanusiaan dari bahaya materi yang merusak, membina roh dan
akhlak perasaan halus dengan adanya muwazin (neraca) yang adil, mempersiapkan
mereka untuk apa sebenarnya manusia lahir ke dunia, yaitu: beribadah untuk
menjadi pemegang “wilayah”, pimpinan yang karenanya mereka ada di bumi persada:
“khalifah”, pengolah bumi raya ini dengan segala ketentuannya.
best artikel. Bermanfaat terimakasih!
BalasHapusbagus nih artikelnya. Terimakasih
BalasHapus