Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuwan sosial dari
Afrika di abad ke-14. Sesungguhnya dia selalu menjadi bagian dari kekuasaan
kesultanan karena ia menjadi pejabat negara di Tunisia, Algeria, Maroko, dan
Spanyol. Dia melahirkan banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk
sosiologi. Terutama sekali kajian berkaitan dengan konflik sebagai hukum sosial
dalam sejarah manusia.
Masa
Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh
kelompok-kelompok yang hidup di zaman itu. Masa itu ditandai oleh kemunculan
kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga
negara sering berada dalam keadaan ketidakstabilan politik. Kondisi inilah yang
memengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khaldun. Sosiologi konflik Ibnu
Khaldun memperlihatkan bagaimana dinamika konflik dalam sejarah menusia
sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial berbasis pada
identitas, golongan, etnis, maupun tribal.
Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia
memberi kontribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat
asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu
mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi
dan menguasai.
Suatu
kelompok sosial akan mampu mendominasi kekuasaan tatkala secara internal
kelompok tersebut mampu menjaga solidaritass kelompoknya. Loyalitas para
anggota dalam menjaga persatuan kelompok sosial. Namun begitu solidaritas dalam
kelompok mengalami kegoyahan, maka bisa dipastikan suatu kelompok tidak dapat
mempertahankan lebih lama dominasi kekuasaannya.
Pemikiran
kelompok sosial, dominasi kekuasaan, dan dinamika konflik dalam sejarah manusia
sebagai hukum sosial dari Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikiran Karl
Marx yang muncul lima abad kemudian. Tidak ada dokumen yang memperlihatkan
bahwa sosiologi konflik Marx juga dipengaruhi oleh sosiologi konflik Ibnu
Khaldul. Namun pembahasan mengenai konflik dan hukum sosial dari usaha dominasi
kekuasaan antar kelompok sosial memberi rangkaian pemikiran sosiologi konflik
yang serupa.
Karl
Marx lahir dari keluarga Yahudi, ayahnya harus mengubah keyakinannya menjadi
Katolik karena situasi politik di Jerman pada waktu itu. Marx menjadi murid
Hegel yang cerdas dan kritis. Marx adalah salah satu tokoh yang pemikirannya
mewarnai perkembangan ilmu sosial secara umum. Marx hidup di masa revolusi industry
pertama di Eropa dan liberalism politik akibat pengaruh revolusi Perancis. Pertumbuhan
industrialisme yang mengubah struktur sosial masyarakat secara dramatis memberi
pijakan orientasi pemikiran Marx, terutama sekali perkembangan sistem
kapitalisme yang membagi struktur sosial dalam dua posisi berbeda yang ekstrem,
yaitu antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang hanya memiliki tenaga.
Sosiologi
konflik Marx dipengaruhi oleh filsafat dialektika Hegel. Melalui perkembangan
pemikirannya, Marx menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material,
yang diambil dari filsafat material Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses
perubahan terus-menerus secara material. Menurut penafsiran Cambell, melalui Tujuh Teori Sosial (1994), Marx adalah
penganut materialism historis yang menjelaskan proses dialektika sosial
masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan
ekonomis, dari masyarakat komunis primitive menuju feodalisme, berlanjut ke
kapitalisme, dan berakhir pada masyarakat tanpa kelas komunisme (classless society).
Marx
mengajukan konsepsi penting tentang konflik, yaitu tentang masyarakat kelas dan
perjuangan kelas. Marx menyatakan “… of
all instruments of production the greatest force of production is the
revolutionary class itself” (… dari semua instrument-instrumen produksi yang paling besar kekuatan produksi
itu adalah kelas revolusioner itu sendiri) (dikutip oleh Dahrendorf, 1959: 9). Pernyataan
Marx melalui artikelnya The Clasess tersebut
memberi penekanan bahwa perubahan sosial dalam sejarah masyarakat manusia
adalah akibat perjuangan revolusioner kelas. Kelas revolusioner yang
dimaksudkan oleh Marx adalah kelas proletariat. Kelas, menurut Marx, adalah
entitas dari perubahan-perubahan sosial. Kelas dan perjuangan kelas kemudian,
dalam konteks masyarakat kapitalis Marx, berada dalam kontradiksi sistem
ekonomi kapitalis. Bryan Turner
merangkum efek dari proses kontradiksi sistem ekonomi kapitalis: (1) polarisasi
radikal dari sistem kelas ke dalam dua kelas bermusuhan, yaitu borjuis dan
proletar; (2) proses segregasi sistem kelas, yaitu kelas pemilik modal (kaum
borjuis) yang kikir dan pemiskinan kelas pekerja; dan (3) radikalisasi kelas
pekerja yang ditransformasikan melalui perjuangan politis (Turner, 1999: 222).
Marx
tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa
dalam masyarakat, pada waktu itu, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis)
dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Pendefinisian struktur kelas
ini tidak lepas dari konteks pada waktu itu ketika perubahan struktur masyarakat
begitu dominan dipengaruhi oleh distribusi capital dalam perubahan mode of production (cara produksi). Kedua
kelas ini berada dalam struktur sosial yang hierarkhis, dan borjuis melakukan
eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini
terus berjalan karena masih mengakarnya kesadaran semu, false consciousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa
berserah diri, menerima keadaan, dan berharap balasan akhirat. Melalui perspektif
ini, Marx menilai agama adalah candu yang mengantar manusia pada halusinasi
kosong dan menipu. Agama sebagai lembaga sosial tidak lebih dari instrument pragmatis
kelas borjuis melanggengkan model produksi ekonomi kapitalis.
Ketegangan
hubunga produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan
proletar melahirkan gerakan sosial besar dan radikal, yaitu revolusi. Ketegangan
hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi
borjuis terhadap mereka. Namun Marx tidak membahas bagaimana kesadarn ini
terbentuk dan terorganisasi menjadi gerakan sosial melawan kapitalisme. Ini nantinya
menjadi kritik Dahrendorf dan Habermas. Dahrendorf nantinya menjelaskan
bagaimana perjuangan kelas terbentuk melalui formasi kepentingan dan gerakan
kelompok kepentingan (1959).
Wallace
dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam sosiologi konflik Marx. Pertama, manusia secara alamiah memiliki
angka kepentingan. Jika seseorang bertindak tidak di atas kepentingan alamiah
tersebut, berarti mereka telah dicurigai dari kepentingan yang sebenarnya. Kedua, konflik dalam sejarah dan
masyarakat kontemporer adalah akibat benturan kepentingan kelompok-kelompok
sosial. Ketiga, Marx melihat
keterkaitan ideology dan kepentingan. Bagi Marx gagasan dari suatu zaman adalah
refleksi dari kepentingan (Wallace & Wolf, 1995: 79).
Sebagai
seorang ‘reformer’, Marx adalah
seorang yang meyakini perubahan sosial radikal. Tetapi lepas dari komitmen
moralnya, Marx memberi esensi akademik mengenai realitas kekuasaan kelas
terhadap kelas lain yang lemah dan konflik kelas atas fakta eksploitasi. Ia melihat
perubahan sosial melalui proses dialektis sejarah material yang sarat konflik
dan determinisme ekonomi. Berkaitan dengan konflik sebagai bagian dari sejarah
manusia, Marx menyatakan, “… without
conflict, no progress; that is the law which is civilization has followed the
present day (tanpa konflik, tidak ada perkembangan (peradaban, penulis);
itu adalah hukum pada peradaban sampai sekarang)” (Dahrendorf, 1959: 8). Pernyataan
ini juga telah disampaikan oleh Ibnu Khaldun beberapa abad sebelumnya melalui Muqaddimah bahwa sejarah manusia selalu
dicirikan oleh konflik kelompok, dan hal ini adalah hukum sosial dalam
peradaban manusia.
Pemikiran
Marx nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai tradisi sosiologi
konflik neo-Marxis, mahzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik
struktural lainnya.
Referensi: Novri Susan. 2009. Sosiologi Koflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Kak ini sudah di analisis apa belum kak, karna sama persisis dari buka wkwk
BalasHapus