Filsafat modern berkembang melalui dua aliran,
pertama dibidani oleh Plato yang mengutamakan kekuatan rasio manusia, yaitu
pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri (apriori). Kedua adalah Aristoteles yang
memperhatikan peranan empiris terhadap objek pengetahuan (aposteriori). Selanjutnya masing-masing melahirkan penerus, rasio
didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza, Leibnis, dan Wolff. Filsafat
empirisme berkembang di tangan Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume (Hardiman,
1990). Ilmu alam berkembang melalui empirisme dan rasionalisme yang memisahkan
kepentingan dari teori.
Para pendahulu ilmu sosial meyakini empirisme dan
rasionalisme ilmu alam bisa dikembangkan sebagai metode ilmu sosial. Metode ini
melahirka filsafat positivisme. Filsafat positivisme mendapat mendapat tempat
dalam ilmu sosial melalui Aguste Comte (1798-1857). Comte dinobatkan oleh
sebagian kalangan sebagai sebagai bapak sosiologi karena temuannya dalam
istilah ilmu sosiologi (Ritzer, 2000; Giddens, 1986). Positivisme ilmu sosial
mencita-citakan ilmu yang bebas nilai, objektif, terlepas dari perasaan
subjektif seperti moralitas dan kepentingan. Semangat ini menyajikan
pengetahuan yang universal yang terlepas dari konteks dan sejarah. Pengetahuan
yang terlepas dari ruang dan waktu. Positivisme merupakan usaha membersihkan
pengetahuan dari kepentingan untuk melahirkan teori yang bebas nilai dari
subjektivitas manusia.
Sosiologi Comte menandai positivisme
awal dalam ilmu sosial, mengadopsi saintisme ilmu alam yang menggunakan
prosedur-prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subjektivitas, hasil
penelitian dapat dirumuskan ke dalam formasi-formasi (postulat) sebagaimana
ilmu alam. Sehingga ilmu sosila bersifat teknis, yaitu menyediakan ilmu-ilmu
sosial yang bersifat instrumental murni dan bebas nilai. Emile Durkheim
(1858-1917), sang liberal dalam politik tetapi konservatif dalam intelektual,
merupakan tokoh klasik sosiologi setelah Comte yang berpikiran positivis. Bagi
Durkheim, fakta sosial adalah landasan bagi ilmu sosial. Fakta sosial adalah
kenyataan masyarakat yang tidak bisa disingkirkan adanya, dan tidak dapat
direduksi menjadi fakta individu. Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui
penelitian empiris. Ia percaya bahwa ide-ide dapat diketahui secara instrospectively (philosophically), tetapi
benda tidak dapat disusun dengan aktivitas mental murni; mereka mengharuskan
untuk konsepsi mereka “data dari luar pikiran” (Ritzer, 2000: 185).
Positivism adalah kesadaran positivis
tentang kenyataan sebagaimana juga pengamatan oleh ilmu-ilmu alam. Dalam Dictonary of Philosophy and Religion (1980)
Resee mendefisikan positivisme sebagai kerabat filsafat yang bercirikan metode
evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Seperti layaknya
sebuah sistem pemikiran positivisme pada dasarnya mempunyai piakan; logika
empirisme, realitas objektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas
nilai. Lingkungan Wina adalah kelompok pendukung mazhab positivis pada filsafat
abad mutakhir. Mereka menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dari ilmu sosial.
Pernyataan-pernyataan tanpa bukti empiris, seperti etika, estetika, dan
metafisika adalah omong kosong. Lingkungan Wina secara gigih memperjuangkan
bersatunya semua ilmu pengetahuan ke dalam rumusan ilmiah yang universal.
Referensi:
Novri Susan. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar