Tidak boleh dilalaikan bahwa dalam keadaan konkrit
dan historis dikatakan ada wahyu Allah atau revelation. Dilihat dari sudut
filsafat harus diakui mungkinnya wahyu Allah itu. Nah, kemungkinan ini tak
boleh dilalaikan, jika filsuf hendak mengambil pandangannya sebagai dasar dan
pedoman hidup. Sebab mungkin justru wahyu Allah inilah yang menunjukkan
bagaimana kehendak Tuhan yang nyata, bagaimana caranya melaksanakan tuntutan
kodrat kita (walaupun ini juga harus diselidiki dengan kritis dan seksama).
Memang
dan ini tetap kita pertahankan bahwa filsafat memberikan petunjuk-petunjuk dan
ukuran-ukuran yang benar dan yang harus dilaksanakan (tentang hidup kesusilaan,
kebenaran, kebaikan, kehidupan bersama dan sebagainya). Akan tetapi bahwa de
facto ukuran-ukuran ini sedemikian sukar dilaksanakan, sekalipun kodrat manusia
menuntut dilaksanakannya ukuran-ukuran itu. Inilah yang menimbulkan sangkaan
bahwa filsafat merupakan jawaban yang penghabisan, bahwa pandangan hidup
seperti yang diberikan oleh filsafat itu barangkali masih harus disempurnakan
dengan pelajaran dari wahyu Allah yaitu mengenai hal-hal yang tidak dapat
dicapai atau ditemukan oleh akal manusia sendiri (jika ada wahyu Allah itu
tentunya mengajarkan hal-hal yang tidak dapat dimengerti oleh manusia dengan
berdasarkan akalnya sendiri. Sebab jika yang diwahyukan itu sudah dapat
dimengerti sendiri maka apakah gunanaya wahyu Allah itu?).
Jadi
titik yang terakhir yang dapat dicapai o9leh filsafat ialah demikian: saya
berhadapan dengan kegaiban dan keajaiban realitas. Baik realitas saya sendiri
meupun realitas/kenyataan di luar saya. Pada akhirnya jawaban yang saya berikan
itu tidak memuaskan: saya tetap berhadapan dengan rahasia. Mengingat bahwa ada
realitas yang tertinggi ialah Maha realitas, Sumber ada, Tuhan, maka tidaklah
mungkin bahwa ada kemungkinan lain, kemungkinan yang lebih luas dan lebih dalam
lagi untuk memenuhi kehausan jihad an hati saya? Tidak mungkinkah ada wahyu
Allah betul-betul? Demikianlah pertanyaan manusia dan lihatlah pertanyaan ini
tidak dibuat-buat. Ingatlah, filsuf merenungkan tentang seluruh kenyataan, tak
ada yang dikecualikan, dengan sikap dan hati terbuka ia menghadapi
segala-galanya. Maka jika dalam sejarah dikatakan betul-betul ada wahyu Allah,
itupun tidak dilalui. Karena pentingnya persoalan, kemungkinan ini tidak boleh
diabaikan atau malah dienyahkan, jika orang memang hendak berfilsafat dengan
konsekuen dan logis. Dengan demikian filsafat menunjukkan agama sebagai
penyempurnaannya dan de facto dalam sejarah filsafat kentara juga bahwa semua
ahli-ahli pemikir yang besar pada akhirnya bersikap religious juga.
Dapat
juga dikatakan demikian: semua dorongan yang ada pada manusia itu tak lain
ialah dorongan untuk bahagia. Demikian pula dorongan untuk mengerti yang
dilaksanakan dalam filsafat, itu datangnya dari dorongan asasi itu tetapi
justru karena ia terdorong dan mau tidak mau tetap terdorong maka itu berarti
bahwa ia tidak dapat bahagia dengan dan dari dirinya sendiri. Dia haus, jadi ia
kekurangan.
Demikian
juga dalam filsafat. Dia haus akan kebenaran, akan kebahagiaan dank arena haus
jadi kekurangan! Maka dengan ini nampaklah bahwa filsafat seakan-akan
menanti-nantikan agama sebagai penyempurnaannya, sekalipun penyempurnaan itu
terletak di lapangan lain, di “tingkatan” yang lain jadi di luar lapangan
khusus dari filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar