Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan
dalam uraian ini, berangkat pada konstruksi filsafat perennial mengenai
kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya terdiri atas dua
hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang dalam kesadaran
tentang keterbatasan mempu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas
dari keterbatasannya.
Manusia
pada prinsipnya adalah makhluk lemah. Lemah dalam ketergantungan manusia (dependensi) terhadap penciptanya.
Walaupun manusia memiliki ketergangtungan, akan tetapi pada hakikatnya Tuhan
telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan manusia yang berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda
yang merupakan gambaran keseimbangan (balance)
terhadap dependensi tersebut. Tentunya, script
itu diharapkan dapat dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang variatif.
Proses pewarnaan yang dilakukan oleh manusia itulah yang menjadi gambar dan
potret kehidupan setiap manusia yang dalam kondisi sesungguhnya dapat
dijewantahkan sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan
kehidupan manusia.
Dalam
kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan segala dependensinya kepada
Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep
otonomi, independensi, dan kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan
diri (survive) dan mengembangkan
hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan segala otonomi yang dimiliki oleh
manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud
penghambaannya (dependensi) kepada Tuhan
penciptanya (mutual interest). Jiwa
manusia dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak akan pernah damai,
kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada hakikatnya tidak
terbatas, di mana mereka tidak pernah puas akan apa yang telah diperolehnya.
Sementara di pihak lain, manusia sangat berhasrat agar posisinya ditinggikan
kea rah perhubungan dengan Tuhan yang Maha Abadi. Pleh karena itu, sinergitas
otonom dan dependensi manusia pada Tuhan yang secara kasatmata kontradiktif,
haruslah berada dalam kesatuan yang seimbang.
Pertanyaan yang kemudia muncul terkait otoritas
Tuhan dan otonom manusia adalah sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia dan
sejauh mana delegasi Tuhan kepada manusia? Untuk menjawab pertanyaan otoritas
Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan. Pertama, manusia digambarkan sebagai
makhluk yang hanya mengikuti seluruh ketentuan Tuhan yang telah digariskan.
Dalam hal ini, manusia dipandang seperti “robot”
yang dikendalikan dengan sebuah remote
control. Kedua, manusia digambarkan sebagai makhluk otonom penuh, di mana
otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan dan keterbatasan.
Kedua
pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai ke dalam dua konsep
yang menyatakan hubungan Tuhan dengan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan
mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Kensep pertama mengatakan bahwa Tuhan
Mahakuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Konsep ini dalam
literatur Arab disebut dengan Jabariah, yang
berasal dari bahasa Arab yang artinya Jabara
kata ini kemudian menjadi paham jabariah. Dalam bahasa Inggris disebut predestination (fatalisme).
Manusia
dalam aliran ini dapat dianologikan seperti mobil balap yang bergerak jika
digerakkan dengan remote control yang
dikendalikan oleh seseorang yang memegangnya. Ditinjau dari kekuasaan mutlak
Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Namun, dari segi kebebasan manusia paham ini menimbulkan
persoalan yang cukup rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalm agama kalau
perbuatan manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki adalah perbuatan Tuhan lagi
dia tidak bebas berkehendak dan berbuat?
Konsep
kedua, perbuatan manusia adalah hakiki bukan kiasan. Manusia mempunyai
kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat daya
kebebasan itu sendiri diserahkan kepada manusia. Paham ini yang dalam bahasa
Arab disebut Qadariah.
Konsep
kedua ini, dalam bahasa Inggris biasa dikenal free will. Ketika dihadapkan pada paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan
tidak bebas lagi berbuat bebas karena Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah
ditetapkan kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan
yang telah diberikan kepada manusia atau mengubah pemberian pahala kepada orang
jahat dan menyiksa orang baik.
Kontradiktif pandamgan pertama dan kedua serta kedua
konsep dalam filsfat agama, berimplikasi pada lahirnya pandangan ketiga yang
merupakan bargaining dari kedua
pandangan dan konsep tersebut. Manusia dalam hal ini, digambarkan sebagai
makhluk yang memiliki otonomi dengan keterbatasan. Dengan kata lain, manusia
itu bebas dalam keterikatan, dan terikat dalam kebebasannya.
Dalam
konteks delegasi Tuhan kepada manusia, Tuhan membekali manusia dengan fitrah
ilmu. Fitrah ilmu ini pertama kali diberikan kepada Adam khususnya dalam urusan
tata pengelolaan bumi yang termaktub dalam dialog Tuhan dengan Malaikat pada
proses penciptaan manusia. Adam oleh Tuhan dalam proses penciptaannya
dilengkapi dengan kesempurnaan ilmu yang menjadi pembeda Adam (manusia) dengan
makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti malaikat dan jin.
terimakasih mba nur.
BalasHapussalam sehat selalu,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel