Realitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
terdiri atas dua unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad dimaknai sebagai
elemen kasar (fisik) yang terkonstruksi dari bertemunya sperma dan ovum dalam
steam sel, darah, daging, tulang, kulit, bulu, dan unsur fisik lainnya. Adapun
elemen roh adalah unsur halus (nonfisik/gaib) yang merupakan pemberian Tuhan
melalui proses transformasi kehidupan. Unsur roh ini memegang posisi strategis
dan menentukan dalam memosisikan eksistensi manusia untuk dapat dikatakan
sebagai homo Sapiens.
Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya
tidak berarti apa-apa tanpa eksisnya roh di dalamnya. Dengan roh, manusia yang
terdiri atas kolektivitas jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan
yang telah diteteapkan Tuhan baik dalam bentuk jasad maupun pikiran. Rohlah
yang mengantarkan manusia pada fase untuk merasakan senang, sedih, bahagia,
berani, takut, dan benci, dan dengan roh jualah manusia dapat menjadi makhluk
hidup yang bermoral, bersusila, dan bersosial. Oleh karena itu, roh dipandang
sebagai sumber kepribadian manusia yang akan mengantarkan manusia pada proses
pemahaman hakikat manusia.
Roh
adalah suatu unsur dari Ilahi yang ganya Tuhanlah yang mengetahui rahasia yang
ada di balik dan di dalamnya. Roh inilah yang menjadi mesin bagi jasad manusia,
di mana ketika mesin ini tidak berfungsi, maka jasad manusia akan berada pada
titik nol (zero) yang dengan demikian
tanpanya manusia sesungguhnya tidak dapat dikatakan lagi sebagai manusia. Oleh
karena itu, urgensitas roh terhadap jasad manusia sangat vital, meskipun
tidaklah selalu berdampak pada apresiasi manusia akan roh itu sendiri.
Dalam
tataran awam, roh dan jasad dipandang sebagai suatu variabel terpisah dan
bahkan ada yang menganggap sebagai suatu bentuk rivalitas ciptaan Tuhan.
Menusia awam ini menganggap bahwa kemampuan mendengar, berbicara, dan berpikir
adalah ranah jasad karena dianggapnya sebagai suatu hal yang secara struktur
dianggap berbentuk fisik. Sehingga manusia awam tidak memahami esensi ranah
jasad.
Ketidakmampuan
manusia awam memahami esensi jasad dan roh sebagai kesatuan terpadu,
mengakibatkan pada saat-saat tertentu dalam konteks sebagai binatang (memiliki
akal piker), maka manusia dianggap lebih hina dari binatang (tidak memiliki
akal pikiran) yang sesungguhnya. Kehinaan ini timbul akibat ketidakmampuan
manusia membangun eksistensi kemanusiaannya yang berujung pada ketidakmampuan
manusia menonjolkan sifat keistimewaan yang melekat pada dirinya, yang hakikatnya
jika ditelaah lebih dalam merupakan kelebihan yang diriripkan Allah keoada
manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki wawasan luas tentang jagat.
Wawasan tersebut dapat diperoleh baik secara ilahiah maupun melalui upaya
manusia yang dihimpun dan dikembangkan selama berabad-abad. Dalam proses
pencarian tersebut, kecenderungan spiritual dan luhur manusia terus bekerja
dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang tentunya akan direfleksikan
dalam proses dialog jasad dan roh.
Referensi: Sukarno Aburaera, dkk. 2013. Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
terimakasih mba nur..
BalasHapussalam,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel