Masyarakat nusantara adalah bentukan masyarakat atau
hasil pembentukan melalui proses waktu panjang yang telah ditempuh oleh semua
kelompok masyarakat menurut jenis dan intensitas pengaruh berlainan. Oleh pengaruh
yang berterusan setelah berimigrasi di masa silam dan tinggal di tempat
tertentu, hal itu telah menyebabkan tumbuh kembang daya kemampuan adaptasi yang
relatif cermat dan tinggi guna memilih unsur budaya luar yang berfaedah bagi
bentukan diri masyarakat tersebut dalam menghadapi lingkungan serta
perubahannya. Masyarakat Indonesia adalah salah satu kelompok besar serta juga
masyarakat Malaysia yang tumbuh dari asal masyarakat nusantara (Garna, 1996). Tumbuh
kembang kedua masyarakat besar tersebut dari satu asal atau sumber serupa,
yaitu tradisi nusantara atau alam melayu, kemudia oleh perjalan masa dan
intensitas pengaruh luar tampak menunjuk sisi-sisi perbedaan.
Di masa lampau dan malahan di masa kini,
sistem politik yang berlaku semasa memberikan aksentualisasi tertentu yang
mungkin meneruskan perbedaan atau persamaan, walaupun hanya pada permukaan,
dengan dalil perlu kesadaran dan solidaritas sosial bagi kepentingan
kelangsungan sistem tersebut. Hidup keagamaan memperlihatkan sesuatu yang unik,
yaitu kesinambungan tradisi kepercayaan nusantara dalam kehidupan keagamaan
yang baru. Artinya, hakikat sinkretik diakui sebagai cara yang bersifat toleran
untuk menerima agama yag baru, yang dengan demikian karena akar kepercayaan
masih ada., masyarakat menerima agama baru tersebut tidak atau kurang merasakan
kehilangan dirinya. Mungkinkeadaan itu yang menyebabkan di abad ke-20 dan abad
ke-21 pengaruh agama-agama baru di Indonesia berlangsung tanpa perlawanan dari
warga masyaralat yang sudah beragama. Suatu gerak balik hidup keagamaan juga
timbul yaitu untuk kembali kepada ajaran agama yang hakikat dan mencoba
melepaskan diri dari tradisi budaya regional atay lokal yang mempengaruhinya. Pada
sisi lainnya, persamaan unsur-unsur budaya yang ada pada berbagai kelompok
masyarakat itu dianggap sebagai keberhasilan dari upaya integrasi oleh sistem
politik sesame tersebut, padahal kesamaan unsur-unsur tersebut adalah demikian
karena berakar sama. Konsep Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya kenyataan belaka,
tetapi merupakan model ideal dari integritas tersebut (Garna, 1996).
Memang masyarakat nusantara itu tidaklah
menaifkan bahwa berbagai pengaruh budaya luar dan agama-agama global telah
memberikan manfaat bagi pembentukan kehidupan mereka. Namun, mereka juga sadar
akan peluang dan didorong oleh pertimbangan manusiawi untuk melakukan seleksi
dari pengaruh itu terhadap unsur manakah yang diambil atau diperlukan mereka. Pada
awal proses pengaruh luar itu masih boleh terjadi seleksi atas dasar
pertimbangan fungsi dan emosi penerima, tetapi pada masa kemudiannya kurang
terjadi peluang melakukan pertimbangan karena pengaruh datang secara
berterusan, tak henti.
Pengaruh budaya luar itu adalah menuju
kepada satuan-satuan budaya lokal atau regional sehingga unsur pengaruh budaya
itu menjadi penting dalam bentukan budaya-budaya daerah tersebut. Dengan demikian,
ada kecenderungan kuat bahwa makin banyak dan tinggi intensitas pengaruh budaya
luar, maka makin lengkap kepemilikian unsur-unsur budaya penerima. Sedangkan pada
pengaruh yang kecil dan rendah intensitasnya maka tradisi nusantara akan
menonjol karena memainkan peranan penting dalam bentuk budaya daerah tersebut
(Garna, 1996). Pengaruh dari berbagai kebudayaan yang berasal dari daei Cina,
India Selatan dan Barat, Parsi, Dunia Arab, dan Eropa Barat itu tidaklah merata
dialami penduduk nusantara sehingga menambah keanekaragaman. Keanekaragaman
masyarakat Indonesia itu berkaitan pula dengan gejala dinamika penduduk karena
berbagai alasan warga masyarakat sering kali tidak tinggal terus menetap di
desa, tetapi berpindah dan merantau.
Masyarakat Indonesia dalam proses
kehidupan saat kini harus dipahami adalah menempuh gerak tradisi akomodasi
modernisasi. Tradisi masyarakat juga mengenal pembagian kerja sebagai cara
mendayagunakan potensi dalam memenuhi keperluan hidup mereka, malahan sesuai dengan
potensi dan ruang gerak hidupnya dasar kemampuan teknologi berkaita dengan pola
piker yang menggerakkan kehendak melalui perbuatan dan tindakan, termasuki
mencurahkan rasa kagum akan jagat raya ini melalui hasil-hasil kesenian. Karena
itu, gambaran nenek moyang yang telah berjasa akan keberadaan mereka dihormati
dan dikagumi melalui hail seni tersebut, totalitas curahan itu memerlukan
pengintegrasian sistem nilai-nilai tradisi mereka (Garna, 1996). Dengan demikian,
nilai nilai dari tradisional itu merupakan tatanan sosial yang berwujud mapan
sebagai bentuk relasi antara unsur-unsur kehidupan yang menjadi aturan sosial
itu, bahwasanya aturan harus bersifat normatif (hukum). Perubahan adalah
penambahan kapasitas adaptasi, bukan menghancurkan nilai-nilai lama, tetapi
memakai nilai-nilai dari tradisi sebagai acuan untuk menyusun tatanan kehidupan
yang baru.
Referensi: Jacobus Ranjabar. 2014. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar