Kendatipun realisme sependapat dengan
idealisme yang menyatakan bahwa nilai fundamental dalam diri manuisa bersifat
permanen dan absolut, namun masing-masing mereka berbeda dalam argumentasi.
Jika idealisme berpendirian bahwa absolutism nilai hanya karena ia memang bukan
produksi manusia tetapi bagian dari alam jagad raya dan dibawa manuisa sejak ia
dilahirkan ke dunia, maka realisme melihat absolutisme nilai semata-mata karena
akal yang dianugerahkan kepada manusia mampu menempuh ruang nilai yag
ditentukan Tuhan.
Ajaran filsafat realisme memperlihatkan,
bahwa suatu yang riil atau suatu yang benar adalah suatu yang merupakan
gambaran nyata atau salinan sebenarnya dari dunia realitas. Sedemikian rupa
sehingga pengetahuan manuisa tentang sesuatu tidak lain adalah jelmaan jelas
dari gambaran dunia yang direduksi oleh akal dalam dirinya. Dapat dikatakan
bahwa, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar adan tepat bila
sesuai dengan kenyataan.
Kelompok realisme sependapat dengan
kelompok idealis bahwa nilai fundamental bersifat permanen, tetapi mereka
berbeda pendapat di dalam alasan untuk menyatakan hal itu. Kelompok realisme
klasik sependapat dengan Aristoteles bahwa ada hukum-hukum moral yang universal
ini melalui akal kita, tetapi mereka mengatakan bahwa hukum moral universal ini
telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan akal untuk
dapat memahami hukum-hukum moral Tuhan tersebut. Sesungguhnya kita dapat
memahami hukum moral itu tanpa pertolongan wahyu, tetapi karena hakikat kita
telah dirusak oleh dosa waris kita tidak mampu memperaktikannya tanpa bantuan
dari Tuhan. Sementara kelompok realisme saintis menyangkal bahwa nilai itu memiliki
sangsi supernatural. Sesuatu yang baik adalah yang mendekatkan kita pada
lingkungan kita, sedangkan sesuatu yang jahat adalah sesuatu yang menjauhkan
kita dari lingkungan kita. Karena hakikat manuisa dan hakikat fisik ini adalah
tetap, maka nilai yang mendekatkan kita dengan yang lainnya adalah juga konstan
atau tetap. Diakui memang benar bahwa institusi dan praktik-praktik sosial
sangat beragam di dunia ini, tetapi nilai dasar tetap sama. Berbeda dengan
kelompok idealis yang mengatakan bahwa manusia itu dapat menjadi sempurna,
sedangkan kelompok saintis realis menerima manusia itu sebagaimana apa adanya
alias tidak sempurna.
Kelompok realisme sependapat bahwa guru
harus memahami nilai-nilai baik yang telah ditentukan. Moral dasariah dan
estetika yang standarlah yang kita mesti ajarkan kepada anak agar ia tidak
dapat terpengaruh oleh isu-isu temporal. Anak harus secara jelas memahami
hakikat yang benar dan yang salah itu dan respek terhadap sesuatu yang baik
secara objektif tanpa menghiraukan perubahan-perubahan dalam moral dan
tampilan-tampilan estetika.
Kelompok realisme klasik walaupun
menginginkan konsentrasi nilai itu pada mata pelajaran, namun sekolah menurut
mereka harus mampu menciptakan individu-indiviud yang hidup dalam lingkungan
yang baik. Anak harus diajarkan untuk hidup dengan standar moral yang absolut
dan universal, karena apa yang benar itu adalah juga benar bagi semua orang secara
umum bukan hanya untuk sekelompok ras dan masyarakat tertentu saja. Penting
bagi anak untuk menerima kebiasaan yang baik dari lingkungannya. Perilaku yang
baik dan bijak itu tidak akan datang kepada manusia secara otomatis, tetapi
harus dipelajari.
Kelompok realisme menyatakan bahwa etika
naturalistic tidaklah cocok, karena manusia diciptakan untuk melampaui yang
natural dan mencapai yang suoernatural. Tujuan sesungguhnya dari pendidikan
moral adalah penyerahan jiwa pada Tuhan. Oleh karena itu subjek didik harus
diajar menjaga jiwanya dalam keadaan yang baik, yakni dengan mengisinya dengan
kebesaran Tuhan dan terlepas dari dosa besar. Subjek didik harus mengupayakan
yang baik dan menghindari yang jahat, tidak karena akal yang melarangnya,
tetapi juga karena memang Tuhan tidka menghendaki hal itu. Kelompok realis yang
religius ini menempatkan manusia seperti inteleknya. Bagi kelompok filsafat
ini, walaupun Tuhan mengajak penyerahan diri, namun indiviud tetap bertugas
untuk memutuskan apakah menerima atau menolaknya. Dengan demikian, keinginan
harus dibiasakan membuat pilihan-pilihan nilai yang benar. Bagi realis religius
ini, manusia bisa dirusak oleh kecenderungan dirinya pada yang tidak baik, maka
baginya, pendidikan secara essensial memiliki peranan kolektif untuk kondisi
ini. Dalam konteks ini, memperkuat disiplin dibutuhkan untuk mengiliminasi
kebiasaan yang buruk dan mengembangkan kebiasaan yang baik dalam diri individu.
Kendatipun akan tidak memiliki otoritas, namun sesungguhnya pemahamna yang
sempurna tentang hakikat sesuatu terletak pada kekuatan akal ini. Dan kita
mesti mendalami keyakinan yang dapat membawa kita ke sana. Akal mesti menyokong
karena Tuhan telah memberikannya kepada kita sehingga kita dapat mengenal-Nya
lebih baik.
Berbeda dengan aliran realis religius,
kelompok realis saintik justru mengajarkan bahwa sesuatu yang benar dan yang
salah adala produksi akal manusia dalam memahami suatu realitas, bukan dari
prinsip-prinsip agama. Oleh karena itu, nilai moral pun harus didasari pada
prinsip-prinsip penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya kepada
manusia sebagai makhluk yang paling tinggi. Penyakit adalah sesuatu yang tidak
diharapkan, karena memang ia tidak baik. Kesehatan adalah sesuatu yang
diharapkan dan disukai semua orang, karena sifatnya baik. Kita mesti
meningkatkan dengan ukuran meningkatnya konstitusi genetic kita dan menundukkan
hal-hal yang tidak diinginkan dengan upaya meningkatkan lingkungan di mana kita
hidup. Jadi, dapat dipahami bahwa nilai moral selalu muncul dari upaya
penyelidikan seseorang akan nilai kebenarannya dan karenanya dapat dibuktikan
secara ilmiah.
Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar