Sistem sosial dan sistem budaya merupakan
sistem-sistem yang secara analisis dapat dibedakan. Sistem sosial lebih bayak
dibahas dalam kajian sosiologi, sedangkan sistem budaya banyak dikaji dalam
disiplin pengetahuan budaya. Jadi, istilah sistem ini dapat dipakai untuk
berbagai cara, fenomena, undang-undang, dan lain-lain. secara sederhana sistem
diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan suatu maksud. Pengertian sistem ini bersifat operasional, tetapi yang
jelas, sistem itu memiliki sepuluh cirri, yaitu:
a.
Fungsi (function)
b.
Satuan (unit)
c.
Batasan (boundary)
d.
Bentuk (structure)
e.
Lingkungan (environment)
f.
Hubungan (relation)
g.
Proses (process)
h.
Masukan (input)
i.
Keluaran (output)
j.
Pertukaran (exchange)
Kesepuluh cirri sistem ini mempermudah
seseorang dalam menganalisis suatu sistem menurut perspektif tertentu seperti
sistem sosial atau sistem budaya.
Sistem
Sosial
teori sistem sosial pertama kali
diperkenalkan oleh seorang sosiolog Amerika, Talcot Parsons. Konsep sistem
sosial merupakan konsep rasional sebagai pengganti konsep eksistensional
perilaku sosial. Konsep struktur sosial digunakan untuk analisis yang abstrak,
sedangkan konsep sistem sosial merupaka alat analisis realitas sosial sehingga
sistem sosial menjadi suatu modal analisis terhadap organisasi sosial. Konsep sistem
sosial adalah alat pembantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok
manusia. Model ini bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok-kelompok
manusia merupakan suatu sistem. Tiap-tiap sistem sosial terdiri atas pola-pola
perilaku tertentu yang mempunyai struktur dalam dua arti, yaitu: pertama, relasi-relasi sendiri antara
orang-orang bersifat agak mantap dan tidak cepat berubah; kedua, perilaku-perilaku mempunyai corak atau bentuk yang relatif
mantap.
Talcot Parsons menyusun strategi untuk
analisis fungsional yang meliputi semua sistem sosial termasuk hubungan berdua,
kelompok kecil, keluarga, organisasi kompleks, dan juga masyarakat keseluruhan.
Sebagai ssuatu sistem sosial, ia mempunyai bagian yang saling bergantung antara
yang satu dengan yang lainnya di dalam suatu kesatuan. Kesemuanya saling
mengait satu sama lain dalam kebudayaan yang saling menguntungkan. Dalam suatu
sistem sosial, paling tidak harus terdapat empat hal, yaitu:
a.
Dua orang atau
lebih
b.
Terjadi interaksi
di antara mereka
c.
Bertujuan
d.
Memiliki struktur,
simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomaninya.
Lebih lanjut Talcot Parsons mengatakan
bahwa sistem sosial tersebut dapat berfungsi apabila dipenuhi empat persyaratan
fungsional, yaitu:
a.
Fungsi adaptasi,
yaitu menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi
lingkungannya.
b.
Fungsi mencapai
tujuan, yaitu merupakan persyaratan fungsional bahwa tindakan itu diarahkan
pada tujuan-tujuannya (bersama sistem sosial).
c.
Fungsional integrasi,
yaitu merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antara para
anggota dalam sistem sosial.
d.
Fungsi pemeliharaan
pola-pola tersembunyi, konsep latensi pada berhentinya interaksi akibat
keletihan dan kejenuhan sehingga tunduk pada sistem sosial lainnya yang mungkin
terlibat.
Model persyaratan fungsional Talcot
Parsons ini dapat digunakan untuk menganalisis interaksi di antara pola-pola
institusional utama di adalam sistem-sistem sosial yang lebih besar. Unsur-unsur
tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem
sosial. Unsur-unsur sistem sosial tersebut ada sepuluh, yaitu:
a.
Keyakinan (pengetahuan)
b.
Perasaan (sentiment)
c.
Tujuan, sasaran,
atau cita-cita
d.
Norma
e.
Kedudukan peranan
(status)
f.
Tingkatan atau
pangkat (rank)
g.
Kekuasaan atau
pengaruh (power)
h.
Sanksi
i.
Sarana atau
fasilitas
j.
Tekanan ketegangan
(stress-strain)
Sistem
Budaya
Sistem budaya merupakan wujud yang
abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya merupakan ide-ide dan gagasan manusia
yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. gagasan tersebut tidak dalam keadaan
lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem.
Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula
adat istiadat. Adat istiadat mencakup sistem nilai budaya, sistem norma,
norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang
bersangkutan, termasuk norma agama.
Fungsi sistem budaya adalah menata dan
memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari
sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau pelembagaan. Dalam proses
pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran
serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan yang hidup
dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan
keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan meniru
berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan
motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka
tindakannya itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur
tindakannya dibudayakan. Tetapi ada juga individu yang dalam proses pembudayaan
tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya di lingkungan sosial sekitarnya.
Menurut Bakker (1984: 37) kebudayaan
sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam
alam fisik., personal dan sosial, yang disempurnakan untuk realisasi tenaga
manusia dan masyarakat. jelaslah bahwa usaha membudaya selalu dapat dilanjutkan
lebih sempurna lagi dan tak akan terbentur pada suatu batas terakhir. Tetapi jelas
pula bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kuantitatif nilai-nilai
tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah kesatuan,
sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar. Untuk kebudayaan hasil
penciptaan dan perkembangan nilai tersebut meliputi kebudayaan subjektif dan
kebudayaan objektif, sebagai berikut:
a.
Kebudayaan
Subjektif
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada
manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam
perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dalam hierarki nilai
perwujudannya tampak dalam kesehatan badan, penghalusan perasaan, kecerdasan
budi bersama dengan kecakapan untuk mengkomunikasikan hasil pemakaian budi
kepada lain-lain, serta kerohanian. Kesehatan, gaya indah, kebajikan dan
kebijaksanaan merupakan puncak-puncak bakat dari badan, rasa, kemauan dan akal.
Itulah dikonkretisasikan lebih lagi dalam keterampilan, kecekatan, keadilan,
kedermawanan, elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam
tabiat manusia oleh pengalaman dan pendidikan. Lewat fungsi-fungsi itu manusia
menyempurnakian kosmos dan menghumanisasikan dirinya. Keselarasan nilai-nilai
subjektif diutamkan oleh humanism klasik.
b.
Kebudayaan Objektif
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus
menyatakan diri dalam tata lahir sebagai materialisasi dan institusionalisasi. Di
sana terbentanglah dunia kebudayaan objektif yang amat luas dan serba guna,
yang dihasilkan oleh usaha raksasa ratusan angkatan/generasi sepanjang sejarah.
Sedikit demi sedikit dibina, dengan “trial
and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam memijam antar kebudayaan. Ddi
sana dialog manusia dengan alam memuncak. Nilai-nilai yang direalisasikan
secara batin, sekali diproyeksi secara serupa, merupakan landasan untuk perkembangan
batin lebih lanjut dan demikian terus menerus dalam sarang yang semakin
kompleks. Nilai0nilai objektif itu, yang juga disebut hasil unsur-unsur
kebudayaan itu dapat disistematiskan menurut beberapa prinsip pembagian antara
lain: ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian dan agama.
Referensi: Jacobus Ranjabar. 2014. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar