John Dewey berpendapat, bahwa seseorang
dapat memahami segala sesuatu sebagai sains melalui penggunaan intelegensinya,
namun hal itu akan lebih mendalam jika disentuhkan dengan praktik lain, yaitu
seni. Bahkan dengan tegas Dewey mengatakan bahwa hanya orang yang mendapatkan
imaji seni dalam titik fokus argumentasinyalah yang akan dapat mengembangkan
klaim-klaim scientific inquiry. Dengan
seni, seseorang akan dapat menekuni apa saja yang dilakukannya dengan rasa
senang, bahagia dan penuh semangat, sehingga dengan begitu ia akan dapat
memaksimalkan potensinya untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Estetika
merupakan studi nilai dalam realitas keindahan. Nilai estetika biasanya sukar
untuk dinilai, karena nilai-nilai ini menjadi nilai milik personal dan sangat
subjektif. Karya seni tertentu umpamanya akan memunculkan banyak respon dari
orang yang berbeda. Siapa pun orangnya, jika ia meyakini, bahwa ada nilai
estetika yang objektif, tentulah ia dapat menentukan keputusan-keputusan yang
mengarah pada seni yang baik dan diterima oleh banyak orang sebagai sebuah
karya yang bernilai seni.
Keindahan
dapat diputuskan melalui penggunaan kriteria-kriteria yang dikatakan oleh pihak
yang berwenang. Dan siapa pun dapat mengklaim bahwa setiap karya seni memiliki
skor rendah dalam suatu kriteria, maka sejarahlah yang akan membuktikan
nilainya itu. Kriteria objektif ditujukan kepada pendatang baru di mana mereka
menjadi standar baku kritisisme. Buku-buku teks literatur, seni, dan music
diarahkan pada standar-standar ketika materi-materi penilaian dan apresiasi
diberitahukan kepada subjek-subjek didik. Sesungguhnya bagaimanapun juga bahwa
kritik otoritatif dapat berbeda secara luas ketika menilai suatu karya seni
yang memaksa kita kembali pada persoalan kita semula. Siapa yang mengatakan
bahwa respon mana yang paling pantas. Sayangnya kita tidak dapat melacak kepada
sains untuk menjawab persoalan ini. Pengetahuan saintifik secara luas tidak
relevan untuk memutuskan karya seni.
Walaupun
telah sekian abad persoalan penting ini didiskusikan dalam kajian estetika,
haruskah seni dihadirkan kembali? Atau haruskah ia menjadi produk imajinasi
penciptanya? Menurut pendapat pertama, seni harus mereflesikan sepenuhnya
kehidupan dan pengalaman anak manusia. Sementara pandangan kedua ekspresi seni
itu sendiri secara spontan berhubungan dengan aspek kehidupan yang menarik bagi
seniman. Contohnya sebuah gambar tidak pernah menjadi imitasi bagi gambar
sebelumnya. Seniman melahirkan keinginan
dan pengalaman personalnya. Ia mengekspresikan perasaannya tentang
kecantikan dan keburukan dari dunia ini atau boleh jadi menunjukkan bagaimana
dunia ini semestinya menurut tatanan normatif yang digambarkan. Menurut
pandangan ini, seniman menikmati kebebasannya tanpa batas untuk menggunakan mediumnya
dalam upaya mengisi kreativitas dirinya.
Menurut
kedua pandangan ini, persoalan yang tampil adalah berkaitan tentang apa subjek matters yang lebih baik dan pantas dan
apa scope seni itu sendiri. Sebagian
orang berpendapat bahwa jika seni itu merupakan ekspresi kehidupan, maka
tentulah berkenaan dengan aktivitas kehidupan manusia. Sementara yang lain
berpendapat bahwa seni itu mesti memerankan fungi sosial, karena memang inti
aktivitas seni adalah mengajak orang lain turut merasakan apa yang seniman
rasakan dan atau apa yang seniman pikirkan. Seniman harus berbicara pada semua
manusia tentang massanya, kendatipun masih ada sekelompok orang yang merasa
skeptic akan tanggung jawab sosial dari seniman.
Bagi
John Dewey, kehadiran seni itu
sendiri menjadi alat bagi akal manusia untuk memandang dunia yang satu dalam
kaitannya dengan dunia yang lain. Seni selalu tampil dalam wujud kreativitas
manusia dalam memanipulasi suatu realitas ke realitas lain sesuai dengan cita
frasa yang diinginkan. Bahkan secara tegas ia menyatakan bahwa keseluruhan
aktivitas intelek manusia baik dalam level proses produktivitas dan konsumsi
maupun pada level kritik sesungguhnya merupakan tindakan seni.
Keindahan
sebagai ekspresi seni seseorang akan memuncurkan kesukaran, kesenangan dan
kenyamanan orang yang menikmati apa yang ia kerjakan yag dalam banyak unsurnya
dapat melahirkan rasa cinta yang biasanya tampil dalam rupa keasyikan seseorang
berlama-lama menikmatinya dan ingin selalu bersamanya. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, seni mempunyai peranan penting dalam memunculkan kenyamanan proses
pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok. Ketika seorang anak didik
telah merasa nyaman dengan suatu kondisi, maka ia pun akan bertahan lama dan
bahan mungkin akan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar tanpa mudah merasa
lelah.
Dalam
konteks ini, Muhammad Iqbal mengatakan
bahwa wujud keindahan adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari cinta kasih
semesta. Keindahan dapat hilang seiring dengan adanya perubahan cara pandang
subjek yang menikmatinya, namun rasa cinta bersifat abadi dan karenanya, rasa
cintalah yang dapat memperlihatkan rahasia kehidupan. Keindahan tampil dari
wujud ekspresi seseorang diri manusia dalam melihat dan melihat suatu realitas.
Pendidikan
dalam segala aktivitasnya selalu terkait dengan wilayah seni, karena memang
mendidik itu sendiri adalah pekerjaan seni. Bahkan tidaklah salah jika
dikatakan bahwa hampir keseluruhan kualitas aktivitas pendidikan itu ditentukan
oleh kualitas seni yang ditampilkan. Pendidikan yang mengikutkan estetika
sebagai sesuatu yang penting dalam setiap gerak langkahnya, menjadikan
aktivitasnya hidup dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan, sehingga subjek
didiknya akan betah dalam menjalankan proses belajar, karena memang tidak
tersentuh oleh watak keterpaksaan yang akan menyiksa dirinya. Tindakan edukasi
apa pun dilakukan guru yang akan enak dipandang, suaranya enak didengar,
bahasanya jelas dan mudah dipahami, tidak membosankan subjek didik mengikuti
proses pembelajaran yang dilakukan jika dalam keseluruhan entitasnya dibangun
di atas nilai-nilai estetika. Ketika seorang guru mengadakan interaksi dengan
subjek didiknya dengan menerapkan nilai estetika yang tinggi, baik dalam
penampilan maupun dalam interaksi pembelajaran, tentu akan lebih disukai oleh
subjek didiknya daripada yang tampil seadanya.
Kecuali
itu, ketika aktivitas kependidikan dalam keseluruhan aspeknya bernilai estetis,
tentu akan melahirkan suasana yang tidak menjenuhkan dan menegangkan yang akan
memunculkan kecemasan-kecemasan yang tentu akan dapat mengganggu proses
pembelajaran itu sendiri. Pendeknya, estetika dan pendidikan merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, tidak saja karena aktivitasnya yang
membutuhkan nilai estetis, tetapi juga mengingat entitasnya yang memang juga
akan membangun nilai-nilai estetis dalam diri subjek didik.
Referensi:
Muhmidayeli. 2013. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
terimakasih mba nur untuk artikelnya.
BalasHapussalam,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
terimakasih mba nur,
BalasHapussalam hangat salam kenal,
JC