Filsafat dalam usahanya menunjukkan apa yang
terdalam dalam barang-barang, dalam manusia dan dunia, maka sampailah pada
pengertian tentang sebab pertama (Causa
Prima) pada Yang Mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama-tama dan tujuan
terkakhir ini bukanlah hanya “sesuatu” melainkan suatu “Zat Yang Maha Sempurna”. Dan ini sesuai dengan keyakinan yang
hidup dalam hati setiap orang, bahwa ada sesuatu yang mengatasi manusia dan
dunia, sesuatu yang lebih luhur, lebih tinggi dan lebih mendalam. Jadi filsafat
sendiri menunjukkan kepada “Yang
mengatasi segala-galanya” dan bersama-sama dengan itu mengakui
batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan dengan “rahasia” tentang manusia
dan dunia. Akan tetapi jika filsafat, berdasarkan logika yang sehat dan tajam,
mengatakan bahwa: “setiap orang wajib mengabdi kepada Tuhan, harus hidup
sebagai hamba Allah (dan ini berlaku umum, bagi setiap orang, demikian pula
bagi mereka yang “tidak beragama”) maka timbullah pertanyaan: bagaimanakah
tuntutan kodrati kita ini harus dilaksanakan dalam kodratnya?”. Manakah cara
yang harus dipakai, manakah cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan? Sebab
mengabdi kepada Tuhan itu sudah seharusnya demikian menurut kehendak Tuhan.
Bagaimanakah
pendapat kita terhadap seseorang “hamba” yang katanya mengabdi kepada kita
tetapi tidak menurut perintah-perintah yang telah kita berikan kepadanya,
melainkan semata-mata menurut kehendaknya sendiri belaka? Itu bukan mengabdi
lagi! Begitu juga halnya mengenai soal mengabdi kepada Tuhan, oleh manusia
sebagai seorang hamba.
terimakasih postingannya, keren nih!
BalasHapus