Aritoteles mengatakan bahwa manusia adalah binatang
yang memiliki rasional (animal
rationale), yang membedakannya dengan binatang. Manusia dipandang sebagai
satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup, sementara binatang yang lain tak
memiliki perasaan dan tak tahu suka dan duka. Sehingga, binatang-binatang lain
dipandang hanyalah mesin-mesin setengah hidup.
Animale rationale manusia telah
menempatkan manusia dengan cirri yang istimewa. Keistimewaan tersebut terwujud
dalam kemampuan manusia untuk menggunakan rasio (akal pikirannya) yang
mengantarkan manusia pada level atau strata yang lebih dari ciptaan-ciotaan
Tuhan lainnya. Keistimewaan tersebut semakin lengkap dengan ditempatkannya
wujud kemampuan berpikir pada satu struktur yang padu dengan perasaan dan
kehendak manusia itu sendiri. Dalam konteks ini maka berpikir dapat dipandang
sebagai suatu fitrah kodrati manusia yang selalu melekat pada manusia di mana
dan dalam konsisi apa pun.
Tuhan
sebagai penetap fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan manusia untuk
menggunakan potensi berpikirnya sebagaimana firman Allah dengan kata-kata “afala tatafakarun” (apakah kamu tidak
berpikir), “afala ta’qilun” (apakah
kamu tidak berakal), “tandzur” (maka
perhatikanlah), dan sebagainya. Firman-firman Allah tersebut yang ditemukan
dalam Al-Qur’an, pada hakikatnya dipandang sebagai stimulus yang menyebabkan
manusia berpikir.
Ajakan berpikir yang dibumikan Allah dalam firmanNya
dapat dilihat seperti: “kami perlihatkan
kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al’Qur’an itu adalah benar…”. Dalam
surah lain, Allah berfiman bahwa “Dan
Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan
dengan air itu pohin-pohin dan biji tanaman yang diketam”. Selanjutnya, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apakah ia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar antara tulang sulbi
laki-laki dan dada perempuan”.
Ketiga
surat tersebut adalah bukti autentik betapa berpikir merupakan bagian langsung
dari proses transformasi yang Tuhan inginkan kepada manusia. Surat Fushshilat ayat 53 memberi petunjuk
tentang makna berpikir induktif yang melibatkan penalaran dalam memeproleh
kesimpulan yang bersifat umum (mayor) dari kenyataan yang bersifat individual
(minor). Ayat 9 surat Qaaf memberi stimulus agar manusia berpikir tentang
hidrologi, energy, sumber daya air, hubungan air, dan unsur hara sebagai unsur
vital tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Sementara stimulus dan acuan
pengetahuan tentang kejadian manusia yang dipikirkan dapat ditemukan dalam
surat at-Thariq ayat 5-7.
Untaian
stimulus-stimulus Tuhan dalam firman-Nya sebagaimana diuraikan di atas, pada
hakikatnya memberi ruangan yang cukup kepada manusia untuk melakukan proses
pengolahan diri yang dimulai dengan suatu pertanyaan mendasar yaitu apa yang
dipikirkan? Pertanyaan ini berpusat pada proses dialog dengan diri manusia itu
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan terasa “sepele”
dan mungkin terabaikan. Akan tetapi, kemudian terjelmakan menjadi
pertanyaan-pertanyaan “sepele” yang
penting. Siapa saya? Saya mau ke mana? Dan pertanyaan-pertanyaan pengenalan
diri lainnya menjadi menu pokok dalam proses dialogis ini.
Pertanyaan
tentang pengenalan diri merupakan proses yang akan mengantarkan manusia pada
fase di mana manusia memahami hakikat manusia sebagai manusia. Proses berpikir
yang terjadi di dalamnya menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi di dalamnya
menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi pada diri, lingkungan, dan apa saja
yang menjadi dan bias pada diri manusia sebagai sebuah ekosistem. Proses ini
diharapkan melahirkan manusia dengan kerangka piker yang kritis dan kreatif, di
mana pada saat yang bersamaan seorang manusia memuji dan mengkritisi dirinya
sendiri.
Dalam
proses pengenalan diri manusia, kadang kala diketemukan manusia-manusia yang
“stag” pada pertanyaan sebagaimana di atas dengan argumentasi Tuhan telah
meletakkan ketetapannya atas diri saya dan saya tak ingin bertanya tentang
siapa saya. Argumentasi ini sangat dipengaruhi pandangan yang menyebutkan bahwa
manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubah ketetapan Tuhan atau dengan kata
lain menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan. Pendekatan-pendekatan
seperti ini banyak dianut pada masyarakat dengan mistis-religius yang sangat kuat.
Pada
tahapan perkembangan manusia berpikir, manusia-manusia yang terlena akan hidup
dan kehidupannya kemudian lebih berpikir pragmatis dan praktis yang berdasar
pada tingkat keperluan minimal. Sehingga dalam praktiknya, tingkat
ketergantungan manusia akan manusia dan bahkan benda-benda lainnya (baca
makhluk) menjadi sangat dominan melebihi ketergantungannya pada Tuhan.
Referensi: Sukarno Aburaera, dkk. 2013. Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
tulisan mba nur sangat bermanfaat.
BalasHapusterimakasih dan salam kenal,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
bagus nih artikelnya. Makasih mba nur😊
BalasHapus