Upaya-upaya merumuskan
filsafat pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian
terhadap perlunya filsafat pendidikan itu pun baru muncul di sana-sini belum
terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkannya. Kondisi
seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik
terhadap pendidikan itu sendiri.
Ada suatu hasil penelitian
bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dkk (1994) dengan
responden para mahasiswa PGSD, S1, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli
pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal
seperti berikut (1) lebih dari sebagian responden menginginkan penegasan
kembali pengertian pendidikan dan pengajaran, (2) hampir sebagian responden
mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan,
sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang
fungsional untuk menyiapkan para calon guru, (3) para mahasiswa dan dosen
berpendapat ilmu pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga
para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan, dan (4) semua
responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman
pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung
pernyataan yang menyatakan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian
lagi menolak.
Dari hasil penelitian tersebut
dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu :
1. Belum
jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.
2. Ilmu
pendidikan kurang dikembangkan.
3. Ilmu
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4. Belum
jelas apakah ilmu pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5. Struktur
ilmu pendidikan kurang dikenal.
6. Belum
jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum
ditangani. Mulai dari pengertian pendidikan, juga pengertian pengajaran, apakah
sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan
penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu
pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan
dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu
pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu diperlukan
pemikiran dan perenungan yang mendalam tentang ilmu itu sendiri dan budaya
serta geografis Indonesia yang akan mewarnainya. Pemikiran dan perenungan itu
adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterapkan di Indonesia.
Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak
Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak
Indonesia pula.
Bagaimana kiat untuk
meningkatkan kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan di Indonesia ini,
yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadis? Tampaknya kiat itu
perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan
terjadi secara relatif lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati
oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam
pengembangannya, manakala pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk
menyetujuinya.
Upaya mendorong pemerintah untuk
memberi isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori
pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang siding umum
MPR (Kompas, 27 November 1992), sebagai
satu sumbangan untuk bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang
itu, tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan. Hal itu
menunjukkan kemauan politik pemerintah ke arah tersebut belum ada. Mudah-mudahan
di waktu yang akan datang kemauan tersebut akan muncul.
Di samping kunci utama untuk
memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci
kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu,
yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di
lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila pernah dijabarkan menjadi 45 butir,
tetapi penjabaran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli
pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai
sekarang tidak setiap ahli siap menjabarkan sila-sila Pancasila.
Andaikan isyarat untuk
mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang
sudah berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang perlu
dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah :
1. Apakah
filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya
Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain?
2. Apakah
nama filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional
yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensialis, Perenialis,
Progresivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi
agar cocok dengan kondisi Indonesia.
3. Ataukah
filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku
secara internasional, seperti yang dilaksanakan oleh negara Australia. Ahli pendidikan
di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan mereka adalah
Liberal, Demokrasi, dan Multikultural (Made Pidarta, 1995). Seakan-akan mereka
tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.
ISPI (1989) mengingatkan bahwa
tugas utama para ahli ilmu pendidikan adalah (1) mengungkapkan pemikiran yang sistematik
dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan
nasioanal yang akan dibentuk, dan (2) dalam menggunakan sumber-sumber dari luar
termasuk teori pendidikan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan
filsafat negara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar