Para tokoh filsafat di atas yang kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh yang lain, walaupun pandangan mereka belum tentu sama, membuahkan
suatu pemahaman tentang filsafat. Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan
secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu di sini dapat
berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas,
filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan
filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu,
filsafat pendidikan, filsafat seni, dan sebagainya.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang
mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang
sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena
kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja.
Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan
mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja.
Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung es itu untuk
meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu
metafisiska, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi
masing-masing sebagai berikut:
1.
Metafisika ialah filsafat yang meninjau
tentang hakikat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya
dengan manusia, ada dua pandangan yaitu: (Callahan, 1983)
a. Manusia
ada hakikatnya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain
adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu.
Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum
Idealis, Skolastik, dan beberapa Realis.
b. Manusia
adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materalis,
Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup.
Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi kenyataan.
2.
Epistemologi ialah filsafat yang
membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing
sebagai berikut:
a. Ada
lima sumber pengetahuan yaitu:
1) Otoritas,
yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan tabel.
2) Common
sense, yang ada pada adat dan tradisi.
3) Intuisi
yang berkaitan dengan perasaan.
4) Pikiran
untuk menyimpulkan hasil pengalaman.
5) Pengalaman
yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.
b. Ada
empat teori kebenaran yaitu:
1) Koheren,
sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.
2) Koresponden,
sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
3) Pragmatisme,
sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.
4) Skeptivisme,
kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3.
Logika ialah filsafat yang membahas
tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika
diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan pendapatnya secara tepat dan
benar.
4.
Etika ialah filsafat yang menguraikan
tentang perilaku maniusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama
menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar
mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangkan perilaku
manusia, antara lain afeksi peserta didik.
Sesudah
kita mengetahui sedikit tentang filsafat, pembahasan ini kita teruskan dengan
hubungan antara filsafat dengan ilmu. Pada zaman kuno yang ada hanyalah
filsafat. Para ahli pikir pada waktu itu mempelajari dan memikirkan segala sesuatu
yang ada di alam ini yang menarik minat mereka. Seolah-olah informasi yang ada
di alam ini masuk semua ke dalam benak mereka. Mereka itulah para filsof. Bagi
anggota masyarakat yang ingin mengetahui atau mempelajari sesuatu akan datang
bertanya atau menjadi siswa pada salah seorang dari filsof ini. Sebab
satu-satunya yang banyak mengetahui tentang alam ini adalah mereka.
Suasana
penguasaan pengetahuan pada waktu itu dapat dibandingkan dengan sesuasa
pemegang kekuasaan pada kepala-kepala suku. Pada zaman sebelum negara banyak
berdiri, kepala suku inilah yang memegang semua kekuasaan dalam sukunya. Dia sebagai
kepala pemerintahan, ketua pengadilan, pemimpin militer, dan penguasa-penguasa
lainnya. Pada masyarakat seperti ini belum ditemukan diferensiasi jabatan.
Sama
halnya dengan di zaman suku-suku pada zaman kuno inipun belum ditemukan
diferensiasi pengetahuan. Satu-satunya pengetahuan adalah filsafat. Semua macam
pengetahuan berakumulasi pada filsafat. Namun beberapa ahli sesudah zaman itu
mulai berpikir-pikir tentang kebenaran filsafat. Beberapa di antara mereka
tidak merasa puas akan kebenaran itu. Mereka mulai mencarai jalan
sendiri-sendiri untuk menemukan kebenaran yang dapat memuaskan dirinya. Salah
satu hasil upaya mereka adalah melahirkan ilmu. Selanjutnya ilmu-ilmu makin
berdiferensiasi sehingga terbentuklah berbagai bidang ilmu yang kina kenal
sekarang.
Jujun
(1985) menulis bahwa filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat
diibaratkan pasukan merinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan
infantri dalam suatu invlasi militer ke sebuah pulau. Pasukan infantri baru
bisa masuk dan berfungsi setelah pantai dikuasai oleh pasukan mariner. Suatu
ilmu baru muncul setelah terjadi pengkajian dalam filsafat. Filsafat merupakan
tempat berpijak bagi kegiatan pembentukan ilmu itu. Dikatakan selanjutnya bahwa
setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, dalam rangka
menyempurnakan kemenangan ini untuk membentuk ilmu sebagai pengetahuan yang
dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan, ilmu terwujud, maka filsafat
pun pergi.
Penggambaran
di atas yang mengibaratkan filsafat sebagai pasukan mariner dan ilmu sebagai
pasukan infantri menambah kejelasan kita tentang jasa filsafat terhadap
berbagai bidang ilmu. Karea itu filsafat dikatakan sebagai induk dari semua
bidang ilmu. Dari filsafatlah ilmu-ilmu itu lahir. Dalam penjelasan-penjelasan
berikutnya akan dapat diketahui berapa erat kaitan antara filsafat dengan ilmu.
Jujun
juga membahas sifat ilmu pada taraf peralihan yang dibedakan dengan sifat ilmu
yang sudah benar-benar mapan. Ketika ilmu baru muncul, baru terlepas dan
filsafat sebagai induknya, ilmu masih punya pertautan dengan filsafat. Pada
taraf ini ilmu masih mengguanakan norma-norma filsafat, yaitu norma-norma
tentang bagaimana seharusnya. Penemuan-penemuan ilmiah masih dikonfirmasikan
kepada norma-norma filsafat.
Pada
taraf selanjutnya, ilmu menyatakan dirinya otonom, ia bebas sama sekali dengan
konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Ilmu mengungkapkan penemuan-penemuannya
hanya berdasarkan apa adanya di lapangan. Ilmu mengemukakan hakikat alam
beserta isinya sebagaimana adanya, bebas dari norma-norma yang diciptakan oleh
manusia.
Dalam
bukunya yang lain, Jujun (9181) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua
bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain. tingkat proses perkembangan
yang dimaksud adalah:
1.
Tingkat empiris ialah ilmu yang baru
ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri-sendiri, baru sedikit
bertautan dengan penemuan lain yang sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum
utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.
2.
Tingkat penjelasan atau teoritis, adalah
ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoritis. Dengan struktur ini
ilmu-ilmu empiris yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan
yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha
mengintegrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.
Dan
uraian di atas sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa simpulan-simpulan
penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoritis dalam bentuk teori-teori.
Setiap ilmuwan seharusnya tidak merasa puas dengan menemukan konsep-konsep
saja, melainkan perlu diteruskan sampai terbentuk suatu teori.
Pendidikan
merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain,
pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Sejalan dengan proses
perkembanga ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari
induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat
tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat
diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia,
pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.
Di
zaman Yunani kuno, bangsa Sparta mendidik anak-anaknya menjadi warga negara
yang sehat, berdisiplin tinggi, dan tangkas menjadi militer, dengan tujuan
utama mempertahankan keutuhan bangsa dari gangguan bangsa lain. pandangan
manusia tentang manusia mulai menunjukkan titik terang, yang diawali pada zaman
Arthena, yaitu pada zaman Romawi, dan diteruskan pada zaman Humanisme sampai
sekarang.
Zaman-zaman
tersebut masing-masing punya ciri-ciri. Zaman Arthena mulai memperhatikan
kemerdekaan manusia dan keharmonisan jasmani-rohani. Sementara itu Romawi
meneruskannya kepada ketatanegaraan, hukum, kehidupan sehari-hari, dan
pendidikan agama. Sedangkan tujuan utama pada zaman Humanisme ialah membentuk
manusia yang harmonis dalam arti yang luas dengan pelajaran-pelajaran yang
klasik yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Dan pada abad ke-18 ada satu hal
yang menonjol patut diketahui ialah gerakan nasionalisme. Pada zaman ini
filsafat hidup manusia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk membentuk negara
sendiri. Sebab itu muncullah pendidikan nasional di sejumlah wilayah yang
berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara sendiri. Dengan salah satu
akibat negatif ialah timbulnya sifat kegilaan terhadap tanah air (chaufinisme) di jerman yang melahirkan
bencana perang dunia.
Pada
zaman nasionalisme itulah pendidikan sebagai ilmu mulai muncul. Zaman ini
dikatakan sebagai kebangkitan Ilmu Pendidikan, sebab komponen-komponen ilmu itu
mulai lengkap. Ilmu pendidikan telah memisahkan diri secara sempurna dari
induknya yaitu filsafat. Salah satu tokoh yang sangat dikenal ialah Johann
Gottlieb Fichte yang hidup pada tahun 1762-1814.
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi
perebutan pengaruh dalam dunia pendidikan yaitu antara pembawaan dan
lingkungan. Schopenhauer berpendapat bahwa anak manusia sudah dibekali segala sesuatu sejak
dilahirkan. Bila sudah sampai waktunya semua bekal itu akan menjadi realitas.
Pendidikan tidak ada gunanya. Aliran ini disebut Nativisme, dari kata nativus yang artinya pembawaan.
Bertentangan dengan aliran ini, ialah aliran Empirisme, berpendapat bahwa
lingkunganlah yang memegang peranan dalam menentukan maju mundurnya hidup dan
kehidupan manusia. Kata empirisme berasal dari kata empiria yang berarti lingkungan. Tokohnya adalah John Locke yang
terkenal dengan teori tabularasa. Tabularasa adalah meja yang dilapisi lilin
tempat menulis orang-orang Yunani kuno. Pendamai kedua teori itu adalah William
Stern, yang kemudian diikuti oleh Woodworth dan Marquis, yang menciptakan teori
Konvergensi. Teori ini memandang kekuasaan pembawaan dan lingkungan adalah sama
dalam perkembangan manusia.
Ketiga
teori tersebut di atas masih mewarnai teori-teori pendidikan pada zaman modern.
Dalam aliran Behaviorisme misalnya, B.F. Skinner sebagai peletak dasar teori Determinism Enviromental, menyatakan
bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan, perilaku, saraf, dan fisik manusia. Dia sama sekali tidak percaya
akan adanya faktor kognisi dan introspeksi pada diri manusia. (Zanti Arbi,
1988).
Sama
halnya dengan teori lingkungan, teori pembawaan pun masih berguna dalam zaman
modern. Jensen dengan hasil-hasil penelitiannya tahun1969 membangkitkan kembali
teori pembawaan (Zanti Arbi, 1988). Jensen menemukan bahwa rata-rata skor tes
mental anak-anak kulit putih berbeda 15 macam dengan skor tes mental anak-anak
kulit hitam. Dari 15 perbedaan itu hanya tiga atau empat saja yang bertalian dengan
perbedaan lingkungan atau kebudayaan, selebihnya dijelaskan oleh
perbedaan-perbedaan dalam konstitusi genetik. Hasil penelitian Christopher
Jencks dan kawan-kawannya juga mendukung penelitian di atas, yang menyatakan
bahwa hubungan antara kesempatan mendapat pendidikan dengan sukses dalam
masyarakat Amerika Serikat tidak tinggi atau tidak pasti. Pendidikan hanya memainkan
peranan yang marginal dalam mencapai kesamaan, kesempatan, dan mobilitas
sosial.
Dari
uraian tersebut tampak bahwa ilmu, termasuk ilmu pendidikan, lahir dari
filsafat umum. Namun ada konsep lain yang menyatakan bahwa ilmu lahir dari
filsafat umum melalui perantara, yaitu filsafat ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam
hal ini kelahiran ilmu ekonomi akan dibantu oleh filsafat ekonomi, kelahiran
IPA dibantu oleh filsafat IPA, kelahiran ilmu pendidikan dibantu oleh filsafat
pendidikan, dan sebagainya.
Sikun
Pribadi (ISPI, 1989) menggambarkan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, ilmu
pendidikan, ilmu pendidikan praktis, perubahan pendidik, pengalaman pendidik,
dan keyakinan pendidik, sebagai berikut:
- Filsafat atau filsafat umum atau filsafat negara menjadi sumber segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga negara suatu bangsa.
- Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat pendidikan tidak boleh bertentangan dengan filsafat.
- Selanjutnya ilmu pedidikan (yang bersifat teoritis) ada diurutan ketiga, sebab ia dijabarkan dari filsafat pendidikan. Di sinilah teori-teori pendidikan dirumuskan.
- Ilmu pendidikan praktis merupakan konsep-konsep pelaksanaan teori-teori pendidikan di atas. Jadi ini dijabarkan dari teori-teori pendidikan.
- Pada langkah berikutnya adalah perbuatan mendidik, yaitu tindakan-tindakan nyata dalam menerapkan teori pendidikan praktis.
- Sebagai akibat dari perbuatan mendidik, akan mendapatkan pengalaman tentang mendidik. Sudah tentu pengalaman ini didapatkan di lapangan.
- Pengalaman ini memberi umpan balik kepada teori pendidikan yang terdapat dalam ilmu pendidikan, yang memanfaatkannya untuk kemungkinan merevisi teori semula.
- Sebagai akibat dari revisi tadi, sangat mungkin ilmu pendidikan memberi umpan balik kepada filsafat pendidikan, dan kemungkinan merevisi konsep-konsepnya.
- Ilmu pendidikan juga mengadakan kontak hubungan dengan pengalaman-pengalaman mendidik, untuk selalu mengingatkan diri agar tidak menyimpang dari teori-teori mendidik.
- Sementara itu perbuatan-perbuatan mendidik bisa menimbulkan keyakinan tersendiri tentang pendidikan. Suatu keyakinan yang belum tampak pada filsafat, filsafat pendidikan, maupun pada ilmu pendidikan. Keyakinan ini memberi bahan baru kepada filsafat, untuk dipikirkan kembali dan dimasukkan ke dalam filsafat.
Made Pidarta. 2013. Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar