Bangsa Indonesia baru memiliki filsafat umum atau filsafat negara ialah Pancasila. Sebagai filsafat negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala segi kehidupan dari hari ke hari. Secara konsep memang seharusnya demikian. Tetapi dalam praktik cukup sulit hal itu dilaksanakan. Mengapa demikian? Karena tindakan manusia dalam praktik kehidupan sehari-hari perlu ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Ini berarti menyangkut pendidikan.
Bila saja pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila
dilakukan dengan cara memasukkannya ke dalam setiap tindakan atau kegiatan
manusia sehari-hari, termasuk ke dalam mengajarkan suatu bidang studi, tetapi
cara ini tidak akan menjamin efektivitas dan efisiensi pekerjaan itu. Sebab si
pelaku tidak tahu secara jelas bagaimana memasukkannya, bagian-bagian mana yang
dimasukkan, dan kapan dimasukkan. Para pelaku atau para pemimpin kegiatan belum
semuanya paham akan hal ini.
Belum ada upaya mengoperasionalkan Pancasila agar mudah
diterapkan dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, termasuk penerapannya dalam
dunia pendidikan. Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila,
sebagian besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik
mengajarkannya, peserta didik menyerap pengetahuan itu, dan kalau sudah tiba
saatnya peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam
ujian-ujian. Namun, sekarang sudah mulai ada perbaikan terhadap pengembangan
afeksi itu, tidak lagi hanya menilai penguasaan materi, melainkan mengutamakan
perilaku sehari-hari.
Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya
konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau
budaya Indonesia tentang pengertian pendidikan dan cara-cara mencapai tujuan
pendidikan. Sebagian konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri
sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.
Teori-teori
bisa didapat dengan cara belajar di luar negeri, atau dengan cara melakukan
studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku
atau membeli buku dan negara lain itu. Inilah sumber-sumber konsep pendidikan
di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian
besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep
pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber
dari buku buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia yang
dicita-citakan seperti menempa patung dengan cetakan luar negeri. Hasilnya
tentu tidak persis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu
sendiri belum ada di Indonesia.
Memang benar ada sejumlah konsep pendidikan yang tumbuh
dan berkembang dari dalam negeri sendiri. Tetapi konsep-konsep itu sendiri belum
dikaji lebih lanjut melalui penelitian-penelitian pendidikan, yang membuat
validitasnya masih diragukan. Sampai di mana efektivitas kepemimpinan Tut Wuri Handayani misalnya, belum
banyak diteliti dan dikomunikasikan. Begitu pula dengan kepemimpinan Asta
Barata juga belum banyak diteliti orang. Sehingga konsep-konsep pendidikan yang
tumbuh di negeri sendiri hanya dipandang sebagai kebudayaan saja oleh dunia
pendidikan internasional.
Ditinjau dari segi arah pengembangan pendidikan di
Indonesia masih terjadi perbedaan. Belum ada kekompakan di antara para ahli dan
pecinta poendidikan mengenai ilmu pendidikan yang diinginkan. Sebagian
berorientasi pada ilmu pendidikan di Eropa dan sebagian lagi berorientasi pada
pendidikan di Amerika Serikat. Orientasi yang tidak sama ini lebih meningkatkan
kerumitan upaya membentuk ilmu pendidikan di Indonesia lengkap dengan filsafat
pendidikannya.
Buchori
menyatakan adanya penyederhanaan dalam pendidikan sebagai akibat dari orientasi
ke Amerika Serikat. Pendidikan cenderung hanya mempersoalkan masalah-masalah
operasional, khususnya tentang proses belajar-mengajar di kelas (Soedomo,
1990). Pendidikan hanya dipandang sebagai upaya mengajarkan sesuatu kepada
peserta didik. Badan Ilmu Pendidikan itu sendiri sebagai suatu yang utuh
menjadi terabaikan.
Untuk
Amerika Serikat yang menganut filsafat Pragmatis dengan filsafat pendidikan,
progresivis penyederhanaan makna pendidikan tersebut di atas bisa diterima.
Mengingat mereka tidak mempunyai tujuan pendidikan yang pasti. Karena itu
mereka juga tidak membutuhkan alat
pendidikan yang pasti. Tujuan pendidikan dan alat pendidikan mereka sangat
mungkin akan berganti terus untuk selalu menemukan yang lebih baik bagi
kehidupan manusia. Sehingga mereka mengatakan tujuan dan alat pendidikan adalah
sama. Hal inilah yang membuat mereka memandang pendidikan itu hanya sebagai
cara untuk membuat anak-anak belajar, alias hanya sebagai proses
belajar-mengajar.
Negara
Indonesia tidak sama seperti Amerika Serikat. Indonesia punya cita-cita yang
pasti dalam pendidikan, yang harus dikejar dan diwujudkan, yaitu manusia
Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila. Untuk mencapai hal
ini perlu ada alat yang pasti pula. Alat ini akan menjadi efektif kalau ia
dijabarkan dan berkaitan erat dengan badan ilmu pendidikan yang utuh yang
mencerminkan dunia Indonesia dengan iklim, geografis, dan budayanya yang khas.
Dengan kata lain, pendidikan di Indonesia perlu diwujudkan dalam bentuk ilmu
pendidikan seperti halnya dengan model pendidikan di Eropa. Hanya saja ilmu
pendidikan di Indonesia harus menunjukkan ciri khas negara Indonesia termasuk
Pancasilanya. Ini berarti ilmu pendidikan harus digali dari bumi Indonesia
sendiri.
Selanjutnya
Buchori menunjukkan kepada kita bahwa kegiatan pendidikan di Indoneisa hanya
baru satu segi saja, yaitu segi operasionalnya. Itupun hanya terjadi pada jalur
pendidikan formal. Jalur pendidikan nonformal dan informal belum banyak yang
digarap (Soedomo, 1990). Tentang landasan pendidikan Indonesia belum terjamah
sama sekali.
Seperti
diketahui ilmu pendidikan sebagai suatu ilmu yang utuh terdiri dari landasan,
struktur, dan operasional pendidikan. Landasan akan memberi latar belakang,
fondasi, atau titik tolak mengapa suatu pendidikan dibutuhkan, apa tujuan
pendidikan atau kemana diarahakan pendidikan itu, untuk mencapai tujuan itu apa
saja yang harus dibahas, apa saja yang harus diperhatikan agar tujuan dapat
dicapai, siapa saja yang harus dilibatkan, dan sebagainya.
Sementara
itu yang dimaksud dengan struktur ialah isi ilmu itu dengan sistematikanya
serta proporsi bagian-bagiannya yang mendukung pendidikan sebagai suatu ilmu.
Struktur ilmu pendidikan ciptaan luar negeri memang sudah ada. Tetapi struktur
seperti itu kurang diperhatikan di Indonesia, sebagai akibat dari pro dan
kontra mengenai pendidikan apakah sebagai ilmu atau sekedar sebagai proses
belajar-mengajar seperti yang telah diutarakan di atas. Juga karena usaha untuk
mewujudkan ilmu pendidikan yang cocok dengan alam Indonesia belum tampak secara
jelas. Kedua hal inilah yang membuat struktur ilmu pendidikan belum ditangani.
Yang
sudah ada seperti pernyataan Buchori adalah operasional atau praktik
pendidikan. Suatu praktik tanpa landasan dan teori. Kelihatan memang aneh,
tetapi hal itu dapat berjalan dengan relatif lancar. Di suatu negara berkembang
atau yang baru berdiri, seperti Indonesia, kasus seperti ini sangat mungkin
terjadi sebab bangsa ini belum sempat memikirkan landasan dan teori yang sudah
tentu memakan waktu panjang untuk mewujudkannya. Sementara itu masyarakat tidak
dapat dibiarkan begitu saja tanpa diberi pendidikan. Oleh sebab itu diambillah
konsep dari sana sini, terutama dari dunia Barat, untuk diterapkan di
Indonesia. Hasilnya memang tidak mengecewakan terutama bila dilihat dari segi
kuantitas. Tetapi lulusan-lulusan itu belum bisa menunjukkan kualitasnya
seperti yang dicita-citakan oleh bangsa ini. Untuk mencapai kualitas ini, teori
ilmu pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia perlu segera diwujudkan.
Ilmu
pendidikan tidak persis sama dengan ilmu-ilmu yang lain. kalau ilmu yang lain
bersifat empiris yang menerangkan apa adanya dari data yang didapat di lapangan
dan bila mungkin meramalkan hal-hal yang akan terjadi, maka ilmu pendidikan
disamping bersifat empiris, ia juga bersifat normatif. Bersifat normatif
artinya mengupayakan agar norma-norma tertentu dapat diinternalisasi dan
dilaksanakan oleh peserta didik dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi ilmu
pendidikan mengandung unsur-unsur fakta dan upaya. Fakta akan membentuk teori
penjelasan tentang cara mendidik, sedangkan upaya akan membentuk kiat atau seni
mensukseskan pendidikan terutama dalam memasukkan norma-norma ke dalam
kehidupan peserta didik.
Bertalian
dengan fakta dan upaya tersebut di atas Perry mengemukakan tiga metode dalam
ilmu pendidikan seperti berikut (Soedomo, 1990).
1. Metode
normatif, suatu metode yang berusaha menjelaskan tentang keberadaan manusia,
bagaimana seharusnya manusia itu bersikap dan bertindak terhadap dirinya dan
terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. menentukan nilai-nilai baik yang
perlu dan membuang hal-hal yang tidak baik. Di Indonesia misalnya, tugas metode
normatif ini adalah menjabarkan nilai-nilai Pancasila sehingga mudah diterapkan
dalam pendidikan. Menentukan unsur-unsur yang bertentangan dengan Pancasila
untuk dijauhkan dari diri peserta didik. Serta mencari kiat atau upaya agar
norma-norma itu bisa diwujudkan dalam diri peserta didik.
2. Metode
eksplanatori, suatu metode yang berusaha menentukan kondisi dan kekuatan apa
yang dapat membuat suatu proses pendidikan berhasil. Metode ini bersumber dari
data atau hasil penelitian di lapangan, berupa kondisi dan kekuatan yang
dimiliki oleh peserta didik. Kondisi dan kekuatan biasanya diambil dari
ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik.
3. Metode
teknologi, ialah cara mendidik itu sendiri yaitu praktik mendidik di lapangan.
Metode ini mencakup organisasi materi pelajaran, iklim dan lingkungan belajar,
alat-alat dan media belajar, teknik penyampaian bahan, bentuk bimbingan
belajar, dan sebagainya.
Dari
uraian tersebut di atas tampaklah bagi kita bahwa terjadi ketidaksamaan
pandangan di antara para ahli pendidikan tentang pendidikan itu sendiri.
Sebagian yang berkiblat ke Amerika Serikat memandang pendidikan sebagai cara
mengajar dan belajar, jadi tidak memerlukan ilmu pendidikan. Sebagian lagi
berorientasi pada pendidikan di Eropa yang memandang pendidikan sebagai suatu
ilmu yang utuh yaitu ilmu pedidikan.
Juga
terjadi ketidakkonsistenan arah pendidikan karena pengarahan kurang jelas. Yang
ada hanyalah arahan umum yang bisa ditemukan dalam UU Pendidikan Nasional
beserta peraturan-peraturannya. Arahan seperti ini sulit diaplikasikan di
lapangan. Sehingga tujuan-tujuan pendidikan di lapangan pada umumnya hanya
memiliki dua corak yaitu TIU (tujuan instruksional umum) dan TIK (tujuan
instruksional khusus), suatu tujuan yang hanya menjabarkan tujuan-tujuan
pengajaran. Bagaimana mengaitkan tujuan-tujuan seperti ini dengan tujuan
nasional belum terjawab. Ini pula yang menyebabkan tujuan pendidikan nasioanal belum
bisa diwujudkan dengan baik sampai sekarang.
Sebagai
konsekuensi kedua hal tersebut di atas adalah kekaburan yang menyelimuti para
pelaksana pendidikan di lapangan. Mereka hanya melaksanakan petunjuk-petunjuk
yang diberikan pada waktu mengikuti penataran atau pada waktu masih kuliah.
Bila ditanya bagaimana cara mengembangkan manusia seutuhnya atau manusia
Pancasila sejati, mereka tentu bingung menjawabnya.
Karena
itu perlu dirintis dengan segera filsafat pendidikan yang cocok dengan kondisi
serta budaya Indonesia. Suatu filsafat pendidikan yang dijabarkan dari filsafat
Pancasila sebagai filsafat negara. Kita tidak perlu meniru sifat pendidikan di
Amerika Serikat sebab filsafat hidup mereka berbeda dengan kita. Mereka tidak
punya tujuan yang pasti, tetapi kita sudah punya tujuan yang pasti yang akan
kita kejar, yang memberi arah kepada pendidikan kita. Oleh sebab itu, kita
membutuhkan alat pendidikan yang pasti pula, suatu alat yang tepat untuk
mencapai tujuan. Alat itu adalah teori pendidikan yang diwarnai oleh budaya
bangsa Indonesia.
Untuk
bisa membentuk teori pendidikan Indonesia yang valid, terlebih dahulu
dibutuhkan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia yang memadai. Filsafat
ini akan menguraikan tentang:
1. Pengertian
pendidikan yang jelas, yang satu, dan berlaku di seluruh tanah air. Apakah
pendidikan itu member kebebasan penuh kepada individu untuk berkembang apakah
mereka perlu diarahkan, kalau ya, sampai di mana batas-batas pengarahan itu.
Apakah peranan pendidikan pendting bagi peningkatan sumberdaya manusia, mana
yang lebih penting disbandingkan dengan pembawaan? Apakah belajar untuk belajar
atau mengaktualisasi diri atau belajar untuk mengejar prestasi. Apakah semua
orang berhak mendidik atau hanya mereka yang sudah professional saja? Dan
sebagainya.
2. Tujuan
pendidikan, yaitu pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang diwarnai oleh
sila-sila Pancasila. Tujuan ini mengoprasionalkan manusia Indonesia seutuhnya
dan juga mengoperasionalkan wujud sila-sila Pncasila dalam diri peserta didik
secara detail. Agar satu persatu dapat ditanamkan melalui proses
belajar-mengajar. Juga perlu dijelaskan kaitan antara sila-sila Pancasila
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat serta isi ajaran-ajaran agama di
Indonesia agar dapat ditanamkan pada diri peserta didik. Bagaimana mengaitkan
tujuan pendidikan ini dengan era globalisasi yang sedang melanda dunia atau
bagaimana membuat tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan ini tidak tidak
ketinggalan zaman? Bagaimana mengaitkan tujuan institusional dengan tujuan umum
agar setiap lulusan mencerminkan manusia berkembang seutuhnya serta berciri
Pancasila.
3. Model
pendidikan, yang membahas tentang model pendidikan di Indonesia yang tepat.
Apakah model tunggal atau majemuk sesuai dengan macam lulusan yang diinginkan?
Model pendidikan akan menyangkut teori tentang pendidikan. Semua teori
pendidikan yang utuh lengkap dengan strukturnya, yang satu, dan diberlakukan di
seluruh tanah air karena mendukung terbentuknya manusia berkembang seutuhnya
yang Pancasilais. Bila saja teori pendidikan itu diberi variasi di sana-sini
yang akan menimbulkan berbagai model, tetapi batang tubuhnya tetap sama. Inilah
yang akan menjelma menjadi ilmu pendidikan bercorak Indonesia yang
konsep-konsepnya dikembangkan lewat penelitian-penelitian di lapangan.
4. Cara
mencapai tujuan, yaitu segi teknik dan pendidikan itu sendiri. Teknik mendidik
seringkali berkaitan dengan siapa yang dididik, apa yang dipelajari, dan
bagaimana filsafat pendidikan itu sendiri. Mengenai siapa yang dididik aan
mengungkapkan psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi
belajar. Juga mengungkapkan sosiologi anak serta antropologi atau norma dan
budaya yang dianut oleh anak-anak. Selanjutnya setiap materi atau rumpun materi
yang dipelajari membutuhkan teknik tertentu. juga dukungan materi itu untuk
mengembangkan aspek afeksi, kognisi, dan psikomotor membutuhkan teknik yang
berbeda-beda pula. Tentang fasilitas pendidikan akan mencakup iklim dan
lingkungan belajar, alat dan media belajar, organisasi materi, kegiatan peserta
didik, cara membimbing siswa, dan sebagainya, yang juga membutuhkan variasi
sesuai dengan materi yang dipelajari dan arah pendidikan.
Referensi :
Made Pidarta. 2013.
Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar