Filsafat merupakan
telaahan yang ingin menjawab berbagai persoalan secara mendalam tentang hakikat
sesuatu, atau dengan kata lain, filsafat adalah usaha untuk mengetahui sesuatu.
Kegiatan penelaahan, penalaran, atau argumentasi secara mendasar tentang masalah-masalah
tertentu disebut filsafat, dan pendalamannya ditekankan pada bidang yang lebih
diminati dari pada masalah-maslaah lain.
Secara umum bidang kajian filsafat cukup luas dan
meliputi berbagai jenis bidang kajian. Menurut Titus, yang dikutip oleh Anna
Pudjiadi (1987: 4) cabang-cabang tradisional yang dibahas dalam filsafat
meliputi logika, metefisika, epistemologi, dan etika. Sedangkan menurut
Muzayyin Arifin (2003: 6), ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang
sebagai berikut:
1.
Kosmologi,
yaitu
suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang
dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, serta proses kejadian
dan perkembangan hidup manusia di alam nyata, dan sebagainya.
2.
Ontologi,
yaitu
suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah
mana proses kejadiannya.
3.
Phyilosophy
of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan bagaimana
hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebiasaan berkehendak
manusia, dan sebagainya.
4.
Epistemologi,
yaitu
pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah
dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera (aliran
empirisme), dari ide-ide (aliran idealisme), atau dari Tuhan (aliran
teologisme), termasuk juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia,
artinya sampai di mana kebenaran pengetahuan kita.
5.
Aksiologi,
yaitu
suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari
Tuhan. Misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika).
Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi).
Dalam
beberapa literature, di antaranya menurut Jujun S. Suria Sumantri (2003: 33)
dan Anna Pudjiadi (1987: 15), secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang
kajian utama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pertama, ontologi. Ontologi bersal dari bahasa Yunani, “ontos” yang berarti “yang ada” dan “logos” yang berarti “penyelidikan
tentang”. Jadi, ontologi membicarakan asas-asas rasional dari “yang ada”,
berusaha untuk mengetahui (penyelidikan tentang) esensi yang terdalam dari
“yang ada”. Ontologi sering disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan
pengetahuan itu sendiri. Sementara Langeveld menamai ontologi ini dengan teori
tentang keadaan. Hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, kebenaran sebenarnya
sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan
yang berubah. Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”.
Misalnya: Objek apa yang ditelaah ilmu? Apa wujud yang hakiki dari objek
tersebut hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu? Apa
yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Teknik apa yang membantu kita
mendapatkan ilmu? Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa
aliran, yaitu materialisme, idealisme,
dualisme, skeptisme, dan agnotisme.
Kedua, epistemologi.
Epistemologi merupkan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan,
metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi membicarakan
sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita
sering menyebutnya dengan filsafat pengetahuan, karena ia membicarakan hal-hal
yang berkenaan dengan pengetahuan. Istilah epistemologi ini pertama kali muncul
dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 M.
Pengetahuan
manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan
pengetahuan mistik. Pengetahuan ini diperoleh manusia melalui berbagai cara dan
dengan menggunakan berbagai alat. Melalui epistemologi diharapkan terjawab
pertanyaan tentang “bagaimana”. Misalnya: Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai
pengetahuan? Bagaimana cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat?
Epistemologi ini terbagi atas beberapa aliran, yaitu empirisme, nasionalisme, dan intuisionisme.
Ketiga, aksiologi.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian
aksiologi ini adalah disebut dengan teori nilai. Teori nilai ini membahas
mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. Untuk menggunakan kegunaan
filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal: 1) filsafat sebagai kumpulan
teori, 2) filsafat sebagai pandangan hidup, dan 3) filsafat sebagai metode
pemecahan masalah.
Sebagai
kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah filsafat sebagai
metodologi memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat ada untuk menyelesaikan
masalah secara mendalam, artinya ia memecahkan masalah dengan mencari penyebab
munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam
hubungan yang seluas-luasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak
sudut pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu amat luas dan urgen
sekali, di manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana pasti ada gunanya.
Aksiologi
ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya:
Mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan? Mengapa pemanfaatan ilmu
pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral? Dan sebagainya, yang
semuanya menunjukkan bahwa aksiologi ini diperuntukkan dalam kaitannya untuk
mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah
lahirnya, aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat,
khususnya setelah terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan
teknologi tampak digunakan secara kurang terkontrol. Berbeda dengan ontologi
dan epistemologi sudah sejak lama dikenal di dalam kajian filsafat sebagai
kajian dasar dari cabang-cabang tradisional filsafat.
Semua
pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
mempunyai ketiga landasan ini (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Yang
berbeda adalah materi perwujudannya serta seberapa jauh landasan-landasan dari
ketiga aspek ini dikembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan, maka
ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya
telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
Terhadap
setiap jenis pengetahuan dapat diajukan pertanyaan tentang: Apa yang dikaji
oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan
(aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut maka
kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat di dalam
khazanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai
pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, dan agama serta dapat meletakkannya
pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan manusia.
Tanpa
mengenal ciri-ciri setiap pengetahuan dengan benar, maka bukan saja kita tidak
dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, namun bahkan kita bisa salah
memanfaatkannya. Ilmu dapat dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan
dengan agama, dan seterusnya. Demikian pula di dalam ilmu pendidikan, menurut
Nursid Sumaatmadja (2002: 43) dari sudut pandang metodologis-filosofis,
pendidikan sebagai suatu sosok kajian juga ditelaah dari tiga bidang kajian
tersebut, yaitu ontologi yang berkenaan dengan “apa yang ingin diketahui?”,
epistemologi yang berkenaan dengan “bagaimana cara memperoleh pengetahuan
tentang kegiatan dan proses pendidikan?”, serta dari aspek aksiologinya
berkenaan dengan “nilai-nilai apa yang dapat diungkapkan dari proses pendidikan
tersebut?”.
Referensi :
Sumanto. 2011. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar