A.
Sikap
dan Belajar
Sikap
dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu berbeda satu sama
lain. Trow[1]
mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat. Di sini Trow lebih menekankan
pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap suatu objek. Sementara
itu Allport seperti dikutip oleh Gable[2]mengemukakan
bahwa sikap adalah susuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui
pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap
semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu.
Definisi
sikap menurut Allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak muncul seketika
atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta
memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang.Harlen[3]
mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk
bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu.
Jadi
di sini makna sikap yang terpenting apabila diikuti oleh objeknya. Misalnya
sikap terhadap Undang-Undang Pemilu, sikap terhadap sistem kampanye, dan
lain-lain. Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak berkenaan dengan objek
tertentu. Sikap bukan tindakan nyata (overt
behavior) melainkan masih bersifat tertutup (covert behavior). Cardno mendefinisikan sikap sebagai berikut: Attitude entails an existing predisposition
to response to social object which, in interaction with situational and other
dispositional variables, guides and directs the overt behavior og the
individual.[4]
Dalam istilah kecenderungan (predisposition), terkandung pengertian
arah tindakan yang akan dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu objek. Arah
tersebut dapat bersifat mendekati atau menjauhi. Tidakan mendekati atau
menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan, dan lain-lain), dilandasi
oleh perasaan penilaian individu yang bersangkutan terhadap objek tersebut.
Misalnya, ia menyukai atau tidak menyukainya, menyenangi atau tidak
menyenanginya, menyetujui atau tidak menyetujui.
Adapun belajar menunjuk kepada suatu
cabang belajar[5]
yaitu belajar dalam arti sempit, khusus untuk mendapatkan pengetahuan akademik.
Belajar menurut Morgan dkk. Merupakan setiap perubahan tingkah laku yang
relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.[6]
Belajar adalah kegiatan yang
berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan
setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya
pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang
dialami siswa baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau
keluarganya sendiri.
Oleh
karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek,
bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan
atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang
berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil belajar
yang dicapai peserta didik.
Biggs
(1991) dalam pendahuluan Teaching for
Learning: The View from Cognitive Psychology mendefinisikan belajar dalam
tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif;
rumusan institusional; rumusan kualitatif. dalam rumusan-rumusan ini,
kata-kata seperti perubahan dan tingkah laku tak lagi disebut secara eksplisit
mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua
orang yang terlibat dalam proses pendidikan.
Secara
kuantitatif (ditinjau dari sudut
jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan
kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang
dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.
Secara
institusional (tinjauan kelembagaan),
belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan
siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang
menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses
mengajar. Ukurannya ialah, semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka
akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam
bentuk skor atau nilai.
Adapun
pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan
mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara
menafsirkan dunia di sekeliling siswa, belajar dalam pengertian ini difokuskan
pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan
masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Secara
umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman
dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Belajar
memiliki arti penting bagi siswa dalam: 1) Melaksanakan kewajiban keagamaan; 2)
Meningkatkan derajat kehidupan; dan 3) Mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan. Dalam perspektif psikologi, antara belajar, memori, dan pengetahuan
terdapat hubungan yang tak terpisahkan. Dalam perspektif agama (Islam) belajar
untuk memperoleh pengetahuan yang menggunakan memori dan sensori itu hukumnya
wajib.
Teori-teori
pokok mengenai belajar terdiri atas: 1) koneksionisme; 2) pembiasaan klasik; 3)
pembiasaan perilaku respons; 4) pembiasaan asosiasi dekat; 5) teori kognitif;
6) teori belajar sosial. Teori kesatu, kedua, ketiga dan keempat bersifat
behavioristik (hanya bahwa belajar adalah peristiwa mental bukan semata-mata
behavioral). Teori keenam berbasis teori behaviorisme tetapi dipandang moderat
karena memperhatikan arti penting aspek kognitif manusia.
Menurut
aliran behaviorisme, setiap siswa lahir tanpa warisan/pembawaan apa-apa dari
orangtuanya, dan belajar adalah kegiatan refleks-refleks jasmani terhadap
stimulus yang ada (S-R theory) serta
tidak ada hubungannya dengan bakat dan kecerdasan atau warisan/pembawaan.
Menurut aliran kognitif, setiap siswa lahir dengan bakat dan kemampuan
mentalnya sendiri. Faktor bawaan ini memungkinkan siswa untuk menentukan
merespons atau tidak terhadap stimulus, sehingga belajar tidak bersifat
otomatis seperti robot.
Tahap
belajar menurut Bruner, meliputi 1) informasi
(penerimaan materi); 2) transformasi (pengubahan
materi dalam memori); 3) evaliasi (penilaian
penguasaan materi). Menurut Wittig, tahap belajar meliputi: 1) acquisition (perolehan materi); 2) stroage (proses penyimpanan); 3) retrieval (memproduksi/mengungkapkan
kembali materi dan memori). Menurut A. Bandura, tahap-tahap belajar meliputi:
1) perhatian (attentional phase); 2)
penyimpanan dalam ingatan (retention
phase); 3) reproduksi (reproduction
phase); 4) motivasi (motivation
phase) yang kemudian menghasilkan kinerja tertentu.
B.
Konsep
Sikap Belajar
Berdasarkan
hal-hal yang dikemukakan di atas, sikap belajar dapat diartikan sebagai
kecenderungan perilaku seseorang tatkala ia mempelajari hal-hal yang bersifat
akademik.
Brown
dan Holtzman mengembangkan konsep sikap belajar melalui dua komponen, yaitu Teacher Approval (TA) dan Educational Acceptance (EA). TA
berhubungan dengan pandangan siswa terhadap guru-guru; tingkah laku mereka di
kelas; dan cara mengajar. Adapun Education
Acceptance terdiri atas penerimaan dan penolakan siswa terhadap tujuan yang
akan dicapai; dan materi yang disajikan, praktik, tugas, dan persyaratan yang
ditetapkan di sekolah.
Sikap
belajar penting karena didasarkan atas peranan guru sebagai leader dalam proses belajar mengajar.
Gaya mengajar yang diterapkan guru dalam kelas berpengaruh terhadap proses dan
hasil belajar siswa.[7] Dalam
hubungan ini, Nasution menyatakan bahwa hubungan tidak baik dengan guru dapat
menghalangi prestasi belajar yang tinggi.[8]
Sikap belajar bukan saja sikap yang ditujukan kepada guru, melainkan juga kepada
tujuan yang akan dicapai, materi pelajaran, tugas, dan lain-lain.
Sikap
belajar siswa akan berwujud dalam bentuk perasaan senang atau tidak senang,
setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka terhadap hal-hal tersebut. Sikap
seperti itu akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar yang dicapainya.
Sesuatu yang menimbulkan rasa senang, cenderung untuk diulang, demikian menurut
hukum belajar (law of effect) yang
dikemukakan Thorndike. Pengulangan ini (Law
of exercise) penting untuk mengukuhkan hal-hal yang telah dipelajari.[9]
Manifestasi
perilaku belajar tampak dalam: 1) kebiasaan
seperti siswa belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan
penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan
penggunaan bahasa secara baik dan benar; 2) keterampilan
seperti menulis dan berolah raga yang meskipus sifatnya motorik
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan
kesadaran yang tinggi; 3) pengamatan yakni
proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui
indera-indera secara obyektif sehingga siswa mampu mencapai pengertian yang
benar; 4) berpikir asosiatif yakni
berpikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan
daya ingat; 5) berpikir rasional dan kritis yakni menggunakan
prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis
seperti “bagaimana” dan “mengapa”; 6) sikap
yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik
atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan
keyakinan; 7) inhibisi (menghindari
hal yang mubadzir); 8) apresiasi (menghargai
karya-karya bermutu); 8) tingkah laku afektif
yakni tingkah laku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih,
gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya sesuai dengan
pengetahuan dan keyakinan.
C.
Peranan
Sikap Belajar
Sikap
belajar ikut menentukan intensitas kegiatan belajar. Sikap belajar yang positif
akan menimbulkan intensitas kegiatan yang lebih tinggi dibanding dengan sikap
belajar yang negatif. Peranan sikap bukan saja ikut menentukan apa yang dilihat
seseorang, melainkan juga bagaimana ia melihatnya.
Segi
afektif dalam sikap merupakan sumber motif.[10]
Sikap belajar yang positif dapat disamakan dengan minat[11],
sedangkan minat akan memperlancar jalannya pelajaran siswa yang malas, tidak
mau belajar dan gagal dalam belajar, disebabkan oleh tidak adanya minat.[12]
Berdasarkan
hal-hal yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap belajar ikut
berperan dalam menentukan aktivitas belajar siswa. Sikap belajar yang positif
berkaitan erat dengan minat dan motivasi. Oleh karena itu, apabila faktor
lainnya sama, siswa yang sikap belajarnya positif akan belajar lebih aktif dan
dengan demikian akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang
sikap belajarnya negatif.
Cara
mengembangkan sikap belajar yang positif:
1. Bangkitkan
kebutuhan untuk menghargai keindahan, untuk mendapat penghargaan, dan
sebagainya;
2. Hubungkan
dengan pengalaman yang lampau;
3. Beri
kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik;
4. Gunakan
berbagai metode mengajar seperti diskusi, kerja kelompok, membaca, demonstrasi,
dan sebagainya.
Jenis-jenis
belajar meliputi belajar: 1) abstrak; 2) keterampilan; 3) sosial; 4) pemecahan masalah;
5) rasional; 6) kebiasaan; 7) apresiasi; 8) pengetahuan/studi.
Ciri
khas dalam belajar meliputi perubahan-perubahan yang bersifat: 1) intensional (disengaja); 2) positif dan aktif (bermanfaat dan atas hasil usaha sendiri); 3) efektif dan fungsional (berpengaruh dan mendorong timbulnya perubahan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar terdiri atas: 1) faktor internal (dari dalam diri
siswa); 2) faktor eksternal (dari luar diri siswa); 3) faktor pendekatan
belajar siswa. Faktor internal meliputi: 1) aspek fisiologis seperti keadaan
mata dan telinga; 2) aspek psikologis seperti inteligensi. Fantor eksternal
meliputi: 1) lingkungan sosial; 2) lingkungan nonsosial (rumah, gedung sekolah,
dan sebagainya). Pendekatan belajar dapat dibagi menjadi tiga macam tingkatan,
yaitu: 1) pendekatan tinggi (speculative dan
achieving); 2) pendekatan menengah (analitical dan deep); 3) pendekatan rendah (reproductive
dan surface).
D.
Penerapan
di Bidang Administrasi Pendidikan
Contoh
variabel bidang Administrasi Pendidikan yang berkaitan dengan konsep/variabel
sikap., yaitu :
1. Sikap
sosial di lingkungan kerja,
2. Sikap
guru terhadap kebijaksanaan awal “Kepala Sekolah Baru”, dan
3. Sikap
kerja.
a.
Sikap
Sosial di Lingkungan Kerja
Teori
yang melandasi sikap sosial seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
bahwa kecenderungan tindakan seseorang terhadap sesama di suatu lingkungan
tertentu disebut sikap sosial.[13]
Sikap tersebut merupakan hasil kecenderungan reaksi terhadap lingkungannya,
termasuk di dalamnya lingkungan tempat bekerja. Tannenbaum yang dikutip Hicks
dan Gullet menyebutkan sikap sosial itu sebagai utilitas organisasi yang
penting, karena dapat memberi pertukaran kepada kemajuan ekonomi.[14]
Dari dua pndapat di atas, ternyata sikap sosial dalam komunitas kerja sangat
penting untuk menggerakkan kehidupan organisasi.
Berdasarkan
konsep yang dikembangkan dua ahli tersebut, dapat diidentifikasi seorang
pekerja/administator yang memiliki sikap sosial yang baik akan ditandai dengan
:
1. Kesadaran
manusia terhadap hakikat hidupnya di tengah-tengah teman sejawat,
2. Kesadaran
akan kelemahannya, sehingga segala aspek tergantung sesama,
3. Kecenderungan
memiliki kerelaan untuk selalu dapat memelihara hubungan baik dengan sesama,
dan
4. Kecenderungan
memiliki kerelaan untuk menyenangkan orang lain.[15]
b.
Sikap
Guru terhadap Kebijaksanaan Awal Kepala Sekolah Baru
Sikap
ini dapat diamati melalui respons guru, yaitu berupa kecenderungan untuk
bereaksi terhadap semua kebijaksanaan awal yang dikeluarkan oleh kepala sekolah
yang baru. Kebijaksanaan awal kepala sekolah yang bar merupakan objek sikap.
Mengapa
penelitian ini penting? Menunjuk pendapat Wayne dan Faules yang mengatakan
bahwa proses difusi inovasi dalam organisasi akan berhasil, jika penyesuaian
diri karyawan terhadap kebijaksanaan berhasil. Hubungan antara difusi inovasi
usaha dengan kebijaksanaan terletak pada kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang baru memangku jabatan tertentu. Memerlukan difusi, karena dalam
menjalankan sistem, ada kecenderungan organisasi tersebut dalam hal-hal
tertentu sifatnya rutin/selalu dilakukan dengan cara-cara yang lama. Dengan
pejabat organisasi baru, maka kebijakan cenderung akan mengalami perubahan baik
cara maupun pendekatannya. Jika pekerja mengalami hambatan beradaptasi dengan
pimpinan baru, maka kebijakan tersebut juga akan gagal dilaksanakan, karena
kurang mendapat dukungan dari pekerja. Hal itu berarti sikap terhadap
kebijaksanaan merupakan salah satu ruang lingkup riset, khususnya untuk objek
yang berstatus pejabat baru.
Dengan
memperhatikan makna konsep sikap di atas, sikap guru terhadap kepala sekolah
yang baru ditandai dengan kecenderungan bereaksi tentang :
1. Keputusan
menerapkan disiplin sekolah dengan ketat;
2. Keputusan
larangan memberi les privat;
3. Seragam
sekolah, dan lain-lain.
c.
Sikap
terhadap Tugas
Contoh
lain, yaitu sehubungan dengan kecenderungan tingkah laku, Harlen mengemukakan
bahwa terdapat lima ciri khas kecenderungan tingkah laku seseorang yang bisa
dijadikan indikator sikap terhadap tugas, yaitu :
1. Hasrat
ingin tahu,
2. Respek
terhadap fakta,
3. Fleksibel
dalam berpikir dan bertindak,
4. Mempunyai
pikiran kritis, dan
5. Peka
terhadap lingkungan kehidupan.
Hasrat
ingin tahu adalah sifat seseorang yang ingin mengetahui apa saja yang ada di
sekitarnya. Di dalam pikiran orang tersebut selalu timbul berbagai pertanyaan,
di mana ia selalu berusaha untuk mencari jawabannya, baik dengan bertanya
kepada orang lain maupun dengan mencari sendiri jawabannya. Dalam proses
penyelesaian tugas sifat ingin tahu ini sangat membantu pimpinan dalam
mengelola perusahaan.
Respek
kepada fakta adalah suatu sifat di mana pekerja selalu merasa tidak puas dengan
pertanyaan atau penjelasan pimpinan tanpa fakta yang mendasari pertanyaan itu.
Untuk menemukan fakta di atas, dituntut suatu ketekunan, pandangan yang
terbuka, dan keinginan untuk memikirkan atau mempermasalahkan ide-ide yang
tidak sesuai dengan fakta.
Seorang
pekerja tidak menerima begitu saja apa yang diberikan oleh pimpinannya, tetapi
ingin mengetahui lebih jauh lagi. Dengan demikian, pekerja menjadi lebih aktif
dan kreatif dalam menyelesaikan tugas. Fleksibel dalam berpikir dan bertindak
adalah suatu sifat seseorang yang tidak kaku, moderat, mau diajak kompromi, dan
cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mempunyai pikiran kritis adalah
suatu sifat pada diri seseorang yang tidak mau menerima begitu saja apa yang
dikatakan oleh orang lain, tanpa pemikiran rasional dan kritis. Pekerja selalu
mempunyai ide baru dan berkeinginan untuk meningkatkan atau mengubah ide lama
yang tidak sesuai lagi dengan kenyaaan yang ada sekarang. Dalam kegiatan
diskusi biasanya pekerja yang mempunyai pikiran kritis selalu aktif dalam
menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh pimpinan, cepat tanggap dan selalu
dinamis dalam perilakunya. Dalam mempelajari hal yang baru, sifat ini sangat
diperlukan sebab untuk bisa mempelajari dengan baik diperlukan sifat yang
kritis dan dinamis. Peka terhadap lingkungan dan kehidupan adalah suatu sifat
seseoramg di mana ia selalu sensitif terhadap apa saja yang ada di sekitarnya.
Pekerja
yang mempunyai sifat seperti ini biasanya cepat tanggap dalam setiap
permasalahan yang dihadapinya, tidak bersifat acuh atau masa bodoh, selalu
bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya, dan
selalu mencintai lingkungan.
Saifuddin
Azwar[16]
(mengutip teori fungsional Ktz) mengemukakan bahwa salah satu fungsi sikap bagi
individu adalah fungsi instrumental atau fungsi manfaat. Maksudnya adalah
setiap individu akan bersikap positif terhadap hal-hal yang mendatangkan
manfaat bagi dirinya, dan bersikap negatif terhadap hal-hal yang tidak membawa
manfaat atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Jika dikaitkan dengan penilaian
ini maka seseorang akan bersikap positif terhadap tugas, jika ia merasa dan
menganggap tugas tersebut bermanfaat bagi pengembangan dirinya. Sebaliknya orag
tersebut akan bersikap kurang positif atau bahkan bersikap negatif terhadap
tugas jika ia merasa tugasnya kurang bermanfaat atau bahkan menghalanginya.
Bahan Bacaan :
Djali.
2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Muhibin
Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
[1]Trow, op cit., hlm. 109.
[2]Robert K. Gable, Instrument Development In Affective Domain, (Boston:
Kluwer).
[3]Wyne Harlen, Teaching and Learning Primary Science, (London:
Row Publisher, 1985), hlm. 44-45.
[4]Mar’at. Sikap Manusia: Perubahan serta
Pengukurannya, (Jakarta: Ghalia, 1982), hlm. 10.
[5]Good, Carter V, Dictonary of Education, (New York:
McGraw-Hill Book Cpmpany, 1973), hlm. 564.
[6]Tuti Soekamto & Udin
Sarpudin Winataputra, “Teiri Belajar”,
Tepti Belajar dan Model Pembelajaran, (Jakarta: PAU PPAI UT., 1994), hlm.
8.
[7]Bennett Nevile, et.al., Teaching Styles and Pupil Progress, (London:
Open Books Publishing, Ltd., 1976), hlm. 45.
[8]Nasution, S. Azaz-azaz Kurikulum, (Bandung: Terate,
1978), hlm. 58.
[9]Staton, Thomas F., Cara Mengajar dengan Hasil yang Baik, terjemahan
oleh Tahalele (Bandung: Diponegoro, 1978). Hlm. 27.
[10]Sri Mulyani Martaniah, Motif Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1984), hlm. 51.
[11]Ibid.,
hlm.
34-37.
[12]Nasution, S., Didaktik Azaz-Azaz Mengajar, (Bandung:
Jemmares, 1982), hlm. 85.
[13]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta:
Gramedia, 1976), hlm.20.
[14]Hick G. Herbert &
Gullet, G. Ray, Organisasi Teori dan
Tingkah Laku, terjemahan oleh Kartasapoetra, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
hlm. 8-12.
[16]Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta:
Liberty, 1988), hlm. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar