1.
Apakah pendidikan itu?
2.
Apa yang hendak ia capai?
3.
Bagaimana cara terbaik merealisasi
tujuan-tujuan itu?
Masing-masing
pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut. Berbagai pertanyaan yang bertalian
dengan apakah pendidikan itu, antara lain:
1.
Bagaimana sifat pendidikan itu?
2.
Apakah pendidikan itu merupakan
sosialisasi?
3.
Apakah pendidikan itu sebagai
pengembangan individu?
4.
Bagaimana mendefinisikan pendidikan itu?
5.
Apakah pendidikan itu berperan penting
dalam membina perkembangan anak?
6.
Apakah pendidikan itu mengisi
perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa?
7.
Apakah perlu membedakan pendidikan teori
dengan pendidikan praktik?
Pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain:
1.
Berapa proporsi pendidikan yang bersifat
umum?
2.
Berapa proporsi pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu?
3.
Apakah peserta didik diperbolehkan
berkembang bebas?
4.
Apakah perkembangan peserta didik diarahkan
ke nilai tertentu?
5.
Bagaimana sifat manusia itu?
6.
Dapatkah manusia diperbaiki?
7.
Apakah manusia itu sama atau unik?
8.
Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya
kebenaran utama dalam era globalisasi ini?
9.
Apakah tidak ada kebenaran lain yang
dapat dianut pada perkembangan manusia?
Pertanyaan-pertanyaan
yang bertalian dengan cara terbaik merealisasi tujuan pendidikan, antara lain:
1.
Apakah pendidikan harus berpusat pada
mata pelajaran atau pada peserta didik?
2.
Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu
atau berupa pilihan bebas?
3.
Ataukah peserta didik menentukan
kurikulumnya sendiri?
4.
Apakah lembaga pendidikan permanen atau
bersifat tentatif?
5.
Apakah proses pendidikan berbaur pada
masyarakat yang sedang berubah cepat?
6.
Apakah diperlukan kondisi-kondisi
tertentu dalam mendidik anak-anak?
7.
Siapa saja yang perlu dilibatkan dalam
mendidik anak-anak?
8.
Perkembangan apa saja yang diperlukan
dalam proses pendidikan?
9.
Apakah diperlukan nilai-nilai penuntun
dalam proses pendidikan?
1.
Bagaimana sebaiknya proses pendidikan
itu, otoriter primitif, atau demokratis?
1. Belajar menekankan prestasi atau
terpusat pada pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?
Sesudah
kita mengetahui sejumlah pertanyaan yang sering muncul di benak para filsof
pendidikan, yang membuat mereka berpikir dan merenung tentang pendidikan, ada
baiknya kita simak tulisan Zanti Arbi (1988) yang menceritakan tentang maksud
filsafat pendidikan sebagai berikut:
1.
Menginspirasikan.
2.
Menganalisis.
3.
Mempreskriptifkan.
4.
Menginvestigasi.
Maksud
menginspirasikan adalah memberi inspirasi kepada para pendidik untuk
melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang
pendidikan, filsof memaparkan idenya bagaimana pendidikan itu, ke mana
diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan
bagaimana cara mendidik serta peran pendidik. Sudah tentu ide-ide ini didasari
oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia, masyarakat atau lingkungan,
dan negara. Salah satu contoh filsafat menginspirasi adalah buku Emile karya Rousseau. Dia ingin memberi
inspirasi kepada para pendidik tentang pendidikan naturalis atau mempengaruhi
para pendidik untuk mengikuti idenya mengenai pendidikan alami. Emile adalah
nama anak yang menerima pendidikan. Dalam buku ini Rousseau menceritakan bahwa
anak-anak tidak perlu diarahkan atau melalui metode-metode tertentu. Mereka
cukup dihindarkan dari kemungkinan kena bencana berat saja. Selebihnya biarlah
mereka berkembang sendiri di alam, biar alam yang mendidik mereka, biar mereka
mendapatkan pengalaman langsung sendiri-sendiri. Dari pengalaman-pengalaman ini
mereka akan belajar banyak dan berkembang secara perlahan-lahan.
Sementara
itu yang dimaksud dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa
secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas
validitasnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam menyusun konsep pendidikan
secara utuh tidak terjadi kerancuan, tumpang tindih, serta arah yang simpang
siur. Dengan demikian ide-ide yang kompleks bisa dijernihkan terlebih dahulu,
tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga dapat ditentukan dengan
tepat.
Francis
Bacon dalam bukunya The Advancement of
Learning mengemukakan tesis bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia mengandung unsur-unsur validitas yang bermanfaat dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu dibersihkan dari konsep
yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif
sebagai teknik kritis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan.
Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan
konsep-konsep pendidikan yang dapat diandalkan.
Mempreskriptifkan
dalam filsafat pendidikan adalah upaya menjelaskan atau memberi pengarahan
kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa
hakikat manusia bila dibandingkan dengan makhluk lain, aspek-aspek peserta
didik yang patut dikembangkan: proses perkembangan itu sendiri, batas-batas
bantuan yang bisa diberikan kepada proses perkembangan itu sendiri, batas-batas
keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas, target-target pendidikan
bila dibandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minat anak-anak. Semua penjelasan ini diberi rasional dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sebagai
contoh, Johann Herbart dalam bukunya Scence
of Education menginginkan agar guru mempunyai informasi yang dapat
diandalkan mengenai tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan proses belajar
sebelum guru ini memasuki kelas. Pondasi pendidikan yang dikonstruksi di atas
tradisi yang masih kabur perlu segera diganti dengan informasi-informasi yang
valid. Suatu informasi yang direkonstruksi dari atau secara ilmiah.
Dan
maksud menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau
meneliti kebenaran suatu teori pendidikan. Pendidik tidak dibenarkan mengambil
begitu saja suatu konsep atau teori pendidikan untuk dipraktikkan di lapangan.
Pendidik seharusnya mencari sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan atau
melalui penelitian-penelitian. Untuk sementara filsafat pendidikan bisa dipakai
latar pengetahuan saja. Selanjutnya setelah pendidik berhasil menemukan konsep,
barulah filsafat pendidikan dimanfaatkan untuk mengevaluasinya, atau sebagai
pembanding, untuk kemungkinan sebagai bahan merevisi, agar konsep pendidikan
itu menjadi lebih mantap.
John
Dewey dalam bukunya Democracy and
Education menyatakan bahwa pengalaman adalah tes terakhir dari segala hal.
Mereka memandang pengalaman sebagai sendi-sendi semua filsafat pendidikan yang
mempunyai komitmen terhadap inquiry atau
penyelidikan. Filsuf berfungsi memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk
memajukan efesiensi sosial. Filsafat
pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar-mengajar menurut prosedur
pengujian ilmiah dan kemudian memberi komentar tentang nilai atau
kemanfaatannya. Filsafat pendidikan mencari konsekuensi proses belajar
mengajar, apa yang telah dilakukan, apa kelemahannya, dan bagaimana cara
mengatasi kelemahan itu.
Sesudah
membahas tentang pernyataan-pernyataan dan maksud-maksud filsafat pendididkan,
dapatlah kita menggambarkan apa sesungghnya yang diinginkan oleh filsafat
pendidikan. Para filsuf, melalui karya filsafat pendidikannya, berusaha
menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat
ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau
dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang
keberadaan manusia akan menimbulkan aliran Perenialis, Realis, Empiris,
Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan
budaya akan menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan
Rekonstruksionis. Dengan catatan aliran-aliran baru sangat mungkin akan muncul
di kemudia hari.
Berbagai
aliran filsafat pendidikan tersebut, memberi dampak terciptanya konsep-konsep
atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung
masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan,
filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori
pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.
Filsafat
pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hati-hati menyusun suatu
teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih. Suatu teori
yang akan dibangun perlu dianalisis bagian-bangiannya, cabang-cabangnya, dan
ranting-rantingnya, termasuk pengertian pendidikan itu sendiri, tujuan
pendidikan, dan cara-cara mencapai tujuan. Masing-masing bagian perlu
divalidasi terlebih dahulu agar bebas dari salah tafsir, memakai terminologi
yang tepat, definisi yang jelas, dan sebagainya. Sesudah itu barulah disusun
secara sistematis, diintegrasikan satu sama lain, sehingga menjadi suatu teori
pendidikan yang utuh.
Agar
uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran
filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu adalah:
1.
Esensialis
2.
Perenialis
3.
Progresivis
4.
Rekonstruksionis
5.
Eksistensialis
Filsafat
pendididkan Esensialis bertitik tolak
dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti
itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja.
Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman
Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa Latin yang
dikenal dengan nama Great Book. Buku
ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia-manusia berkaliber
internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang
esensial. Tokohnya antara lain Brameld.
Tekanan
pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan
mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit,
diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan
berkembang. Disiplin sangat diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur,
dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian
rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif. Pengajaran terpusat pada
guru.
Pengaruh
filsafat ini sangat kuat sampai sekarang. Sekolah-sekolah dengan kurikulum dan
metode tradisionalnya merupakan perwujudan filsafat pendidikan ini. Sementara
itu kebudayaan klasik yang dipandang esensial seperti itu di dunia timur adalah
Mahabarata dan Ramayana.
Filsafat
pendidikan Perenialis tidak jauh
berbeda dengan filsafat pendidikan Esensialis. Jika kebenaran esensial pada
esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Perenialis ada pada wahyu Tuhan.
Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam
proses belajar-mengajar tidaklah jauh berbeda antara Esensialis dengan
Perenialis. Proses pendidikan mereka sama-sama bersifat tradisonal.
Filsafat
ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen.
Pada zaman itu tokoh-tokoh agama menguasai hampir semua bidang kemasyarakatan.
Sehingga sangat logis jika sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul
di sana-sini. Ajaran agama itulah merupakan suatu kebenaran yang patut
dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini ialah
Agustinus dan Thomas Aquino.
Ajaran
Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih dahulu dari
Perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato kebenaran hanya
ada di dunia ide, di luar itu adalah semu. Sebab itu Plato sering dimasukkan
sebagai penganut Perenialis.
Pengaruh
filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan Katolik dan
Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. demikian kita lihat di Indonesia
banyak diwarnai oleh keagamaan seperti Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama di
samping sekolah-sekolah Katolik dan Kristen.
Filsafat
pendidikan Progresivisme lahir di
Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan dengan jiwa bangsa Amerika pada waktu
itu, sebagai bangsa yang dinamis berjuang mencari hidup baru di negeri
seberang. Bagi mereka tidak ada hidup yang tetap, apalagi nilai-nilai yang
abadi. Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat menekankan kehidupan sehari-hari,
maka segala tindakan mereka diukur dari kegunaan praktisnya.
Demikianlah
Progresivisme mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika,
ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti,
begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat
relatif. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun
depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi
kehidupan manusia hari ini.
Karena
tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itu pun tidak
pasti pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu, artinya bila tujuan
berubah maka alat pun berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis ini
adalah John Dewey.
Sebagai
konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah
mengembangkan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang
baik. Hal ini bisa dicapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang
dilakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat
pada anak. Untuk mempercepat proses pengembangan mereka juga menekankan prinsip
mendisiplin diri sendiri, sosialisasi, dan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan
individual juga sangat mereka perhatikan dalam pendidikan.
Kurikulumnya
adalah kehidupan itu sendiri, artinya kurikulum tidak dibatasi pada hal-hal
yang bersifat akademik saja. Semua pengetahuan adalah merupakan produk berpikir
melalui pengalaman. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat. maka pendidikan
mengupayakan kehidupan sosial yang lebih baik serta sebagai agen pembaruan
masyarakat. etika juga bersumber dari kesepakatan sosial dan akan berubah
manakala masyarakat berubah.
Filsafat
pendidikan Rekonstruksionis merupakan
variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya
harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali
kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat
baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan
membangun tata susunan hidup yang baru, melalui lembaga dan proses pendidikan.
Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak
berbeda dengan aliran Progresivis.
Filsafat
pendidikan Eksistensialis berpendapat
bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya manusia itu
sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi
terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu
ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri (Callahan, 1983).
Seseorang
akan menjadi tahu tentang sesuatu melalui pengalaman. Hal itu bergantung kepada
tingkat kesadaran masing-masing untuk mencari pengalaman. Kebenaran menurut
mereka adalah relatif bergantung kepada keputusan mereka masing-masing. Begitu
pula nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu. Orang tidak perlu
menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial, agar eksistensi dirinya tidak
hilang.
Pendidikan
menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi
kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri
sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Materi
pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan
sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok, materi yang dipelajari
ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik
perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual
mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung.
Referensi :
Made Pidarta. 2013.
Landasan Kependidikan. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar