Pada
dasarnya istilah sex dan gender itu berbeda pengertian. Jika kita berbicara mengenai istilah
sex berarti kita berbicara pria ataupun wanita yang pembedaannya berdasar pada
jenis kelamin. Dalam kata lain, sex merujuk pada pembedaan antara pria dan
wanita berdasar pada jenis kelamin yang ditandai oleh perbedaan anatomi tubuh
dan genetiknya. Perbedaan seperti ini lebih sering disebut sebagai perbedaan
secara biologis (alami) atau bersifat kodrati (tetap), dalam artian sudah
melekat pada masing-masing individu semenjak lahir.
Karena itu laki-laki mempunyai kumis, jenggot, jakun, dan
bentuk anatomi tubuh lain serta gen yang tidak dimiliki perempuan. Sedangkan
perempuan tidak mempunyai kumis, jenggot, jakun, tetapi mempunyai rahim, sel
telur, dan bentuk anatomi serta gen yang tidak dimiliki pria.
Jadi anatomi tubuh dan faktor genetik tersebut bersifat
kodrati karena bersumber langsung dari Tuhan. Karena hal-hal tersebut berasal
dari Tuhan, maka apa yang membedakan pria dan wanita secara biologis tersebut
tidak dapat dipertukarkan, seperti rahim yang tiba-tiba dimiliki pria, atau
wanita bisa berjakun, dan sebagainya. Secara kodrati, bentuk anatomi tubuh pria
dan wanita berbeda. Pria berbentuk seperti itu dan wanita seperti ini. Hal
tersebut tidak dapat dipertukarkan. Maka pembedaan ini pun tidak mengenal batas
waktu, tidak mengenal pembedaan kelas masyarakat, dan berlaku di mana saja.
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan
mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan
sekunder. Ciri biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah
(sulit) dan merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali
dengan cara operasi.
“Seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari
laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil
karena diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas
Beatie yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu
mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan
kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan”.
Lantas bagaimana dengan gender?
Disebutkan
dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat
(Siti Musdah Mulia, 2004: 4).
Karakteristik tersebut (perilaku,
sikap, dan peran) dapat dipertukarkan. Dalam hal ini, pria dapat berperan
selayaknya pria namun juga bisa berperan sebagai wanita (menjalani nilai-nilai
feminim: memasak, menjahit, menjaga anak, dan sebagainya). Sedangkan wanita
juga dapat berperan sebagaimana seorang wanita, namun sudah banyak sekarang
wanita yang menggeluti peran pria juga (menjalani nilai-nilai maskulin: menarik
becak, bekerja di kantor sebagai wanita karir, supir busway, dan sebagainya).
Seperti kasus
yang terjadi pada Wiwin Sulistiawati asal Depok yang menjadi wanita pengojek
untuk menghidupi serta membiayai operasi anaknya yang masih balita. Hal ini
terpaksa Wiwin kerjakan karena diusir oleh suami siri dari rumah mertua untuk
menghidupi anaknya.
Dalam kasus tersebut mengandung teori sosial-konflik
yang diungkapkan oleh Dahrendorf dan R. Collins yang
menganggap konflik tidak hanya terjadi karena
perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga
disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan
anak, suami dan isteri, senior dan junior, laki-laki dan perempuan, dan lain
sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64).
Gender membuat adanya pandangan kepada
perempuan bahwa perempuan bisa lebih mandiri. Yohana Yembise
mendorong setiap perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan. Dengan jumlah
perempuan lebih dari separuh total penduduk Indonesia, ini tentu menjadi asset
bangsa yang berharga. Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi
yang semakin maju, perempuan diberi kesempatan serta peran yang sama dengan
pria untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Maka partisipasi perempuan yang dimaksudkan adalah
bentuk kesediaan perempuan secara sukarela dalam menunjang program-program baik
atas inisiatif masyarakat local maupun pemerintahan yang tercermin dari
pikiran, sikap dan tindakan mereka baik sifatnya individual maupun kolektif
dalam model kerangka partisipasi yang dikembangkan baik pada tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pengambilan manfaat dari
program-program yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Teori yang mendasari kasus tersebut adalah Teori
Feminisme Liberal. Teori ini berasumsi bahwa pada
dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu
perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian,
kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki
dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi
perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna
Megawangi, 1999: 228).
Teori kelompok ini termasuk paling
moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar
perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di
luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang
lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk
memasuki peran-peran di sektor publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar