A.
Pengertian Pendekatan Antropologi
Untuk dapat
dimengerti apa itu pendekatan antropologi, maka terlebih dahulu membahas makna
tersebut satu persatu. Pendekatan dalam bahasa inggris, approach yang diartikan
dengan mendekat, datang, menjelang dan tiba. Namun yang dimaksud disini
pendekatan adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah
studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati
disiplin ilmu karena tujuan utama pendekatan ini untuk mengetahui sebuah kajian
dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam mengkaji atau peneliti itu
sendiri. Setiap disiplin ilmu mempunyai kekhususan metodologi sebab tidak ada
sebuah metode yang dapat digunakan dalam semua disiplin ilmu. Jika seorang
pengkaji telah menentukan pendekatan yang di gunakannya, akan dengan mudah
terbaca langkah-langkah metodelogis yang di gunakannya.
Adapun
antropologi dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yaitu, anthropos berarti
manusia dan logos berarti studi. Jadi, antropologi merupakan suatu studi
disiplin ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya
tentang makhluk manusia. Namun secara istilah antropologi diartikan, ilmu
pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai satu kesatuan fenomena
bio-sosial secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk biologis sekaligus
makhluk sosial budaya. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pendekatan antropologi dalam memahami agama yaitu sebagai
salahsatu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Agama sebagian dari
budaya, keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu,
antropologi digunakan sebagai alat untuk meneliti dan mengkaji agama dalam
antropologi. Selain itu juga, sejak awal permulaan sejarah umat manusia, agama
sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat
kebudayaan.
B.
Definisi Agama Menurut Para Antropolog
Dalam
mendefinisikan agama para tokoh sangat mengalami kesulitan. Dari segi etimologi
mungkin ada kesepakatan diantara tokoh agama. Tetapi dalam mendefinisikan
secara istilah sudah masuk pada subjektifitas para pemeluknya. Maka sangat
sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut dialami oleh para tokoh antropolog
dalam mendefinisikan agama. Pendapat para antropolog mengenai agama sebagai
berikut:
1. Edward
Burnett Tylor (1832-1917)
Tylor
mengusulkan definsi agama adalah kepercayaan pada makhluk spiritual (a belief
in spritual being). Tylor menganggap karakteristik yang dimiliki oleh semua
agama besar maupun kecil, kuno atau modern, adalah kepercayaan kepada ruh yang
berfikir, bertindak dan merasa seperti pribadi manusia. Esensi agama menurut
Tylor adalah animisme, yakni kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup
dibalik semua benda.
Asal
mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal,
yaitu (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
mati. Di situlah manusia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu;
(2) peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan
tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara tubuh
jasmani dan rohani atau jiwa (Tylor, 1871/1903; 429).
2. Sir
James George Frazer (1854-1941)
Frazer
sebenarnya tidak mengajukan definisi agama sendiri. Ia sepenuhnya sepakat
dengan definisi Tylor, hanya ia ingin membedakan agama dengan magic sebagai
sistem yang menurutnya mendahului agama. Agama sebagai cara mengambil hati
untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut
kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan manusia (frazer, 1932:
693). Sedangkan magic dilihatnya sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum
alam tertentu yang dipahami. Jadi magic semacam ilmu pengetahuan semu
(pseudoscience). Pada masyarakat primitif, kata Frazer, ketika kondisi alam
tidak mengakomodir kepentingan manusia, maka usaha mereka untuk memahami dan
mengubahnya mengambil magic yakni pola tindakan manusia untuk mencapai
tujuannya dengan cara memperdayakan kekuatan supranatural. Namun kemudian
setelah magic dianggap sering gagal maka manusia beralih pada agama.
3. Lucien
Levy-Bruhl (1857-1945)
Bruhl
mengkritik pendapat Tylor tentang agama. Bagi Bruhl, manusia primitif terlalu
bodoh untuk bisa berfikir abstrak tentang adanya jiwa dibalik setiap
benda-benda seperti yang diteorikan oleh Tylor. Menurut Bruhl, agama adalah
adalah pandangan dan jalan hidup manusia priminif. Agama, sebagaimana megic,
tidak pernah mampu mengantarkan kehidupan manusia kepada kemajuan.
4. Radcliffe
Brown (1881-1955)
Brown
mengemukakan definisi agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang
kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang
dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.
5. Clifford
Greetz (1926)
Geerz
memandang agama sebagai sistem budaya, maksudnya: ”Sebuah sistem simbil yang
berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, perfasiv dan tahan lama
di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang
umum dan membungkus konsepsi ini dengan suatu aura fakutalitas semacam itu
sehingga suasan hati dan motivasi tampak realistik secara unik”.
Dari
berbagai definisi agama yang dikemukakan para tokoh antropog diatas, dapat kita
simpulkan bahwa agama adalah kepercayaan pada sesuatu yang gaib diyakini
mempunyai kekuatan yang lebih. Dan dapat mendorong pada diri seseorang untuk
berbuat kebaikan.
C. Sistem
Religi
1.
Perhatian
Ilmu Antropologi terhadap Religi
Sejak
lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan
tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar
Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang
tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, ketika bahan
etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap
bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang
menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:
a) Upacara
keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur
kebudayaan yang tampak secara lahir;
b) Bahan
etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori
tentang asal mula religi.
Para
pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu,
akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena
upacara-upacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara
keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani.
Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya
itu menarik perhatian.
Masalah
asal mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah penyebab
manusia percaya pada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi
daripadanya, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara
yang beragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan
tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari
dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula
religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai
sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia
pada zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada
pada tingkat yang primitif.
Dalam
memecahkan masalah asal mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat
pada sesuatu yang dianggapnya sisa-sisa bentuk-bentuk tua dari gejala itu.
Dengan demikian bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku
bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha menyusun teori-teori
tentang asal mula agama.
2.
Unsur-unsur
Khusus dalam Sistem Religi
Dalam
membahas pokok antropologi tentang religi, sebaiknya juga di bocarakan sistem
ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi dua pokok khusus, yaitu: (1)
sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib.
Semua
aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu
getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami
oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk
beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah
yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Mengenai
masalah definisi emosi, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam buku ini.
Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau
gagasan, mendapat suatunilai keramat (sacred
value) dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan,
atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi
oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda,
tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
Suatu sistem religi dalam suatu
kebudayaan selalu mempunyai cirri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi
keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan
merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain,
yaitu:
a) Sistem
keyakinan;
b) Sistem
upacara keagamaan;
c) Suatu
umat yang menganut religi itu.
Sistem
keyakinan secara khusus mengandung banyak subunsur. Mengenai ini para ahli
antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang
baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang
makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik
maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan
pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai
bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan
maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan
gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa
(mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya
juga dianggap sebagai kesusasteraan suci.
Sistem upacara keagamaan secara
khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli
antropologi ialah:
a) Tempat
upacara keagamaan dilakukan;
b) Saat-saat
upacar keagamaan dijalankan;
c) Benda-benda
dan alat upacara;
d) Orang-orang
yang melakukan dan memimpin upacara.
Aspek
pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat upacara dilakukan, yaitu
makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek
kedua adalah aspek mengeni saat-saat beribadah, hari-hari keramat suci dan
sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara,
termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti
lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek keempat
adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta
biksu, syaman, dukun dan lai-lain,
Upacara-upacara itu sendiri banyak
juga unsurnya, yaitu:
a) Bersaji;
b) Berkorban;
c) Berdoa;
d) Makan
bersama makanan yang telah disucikan dengan doa;
e) Menari
tarian suci;
f) Menyanyi
nyanyian suci;
g) Berprosesi
atau berpawai;
h) Memainkan
seni drama suci;
i)
Berpuasa;
j)
Intoksikasi atau mengaburkan pikiran
dengan makan obat bius sampai kerasukan, mabuk;
k) Bertapa;
l)
Bersemedi.
Di
antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali
dalam suatu agama, tetapi ntidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga
sebaliknya. Selain itu, suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian
yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara
untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai
dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah
itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan
oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan
akhirnya semuanya kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan doa.
Subunsur ketiga dalam religi adalah
subunsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan.
Secara khusus subunsur itu meliputi masalah pengikut suatu agama,
hubungannyasatu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik
dalam saat adanya upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari; dan
akhirnya subunsur itu juga meliputi masalah seperti organisasi dari para umat,
kewajiban, serta hak-hak para warganya.
Pokok-pokok khusus dalam sistem ilmu
gaib (magic) pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem
religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya;
ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu
gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacara ilmu gaib juga
mempunyai aspek-aspek yang sama artinya; ada pemimpin atau pelakunya, yaitu
dukun; ada saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pasa
hari-hari keramat); ada peralatan untuk malakukan upacara, dan ada
tempat-tempat tertentu untuk pelaksanaan upacara. Akhirnya suatu upacara ilmu
gaib sering kali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara
religi pada umumnya. Misalnya orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan
ayam yang hendak diadu dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu ia membuat
obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa,
serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan
melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya
akan mujarab sekali.
Walaupun pada akhirnya religi dan
ilmu gaib sering kelihatan sama, walaupun sukar untuk menentukan batas dari
upacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya
ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap
manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan
diri kepda Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya
menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam
hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya,
pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha
memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya
dan berbuat apa yang ingin dicapainya.
Referensi
:
Adeng
Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta.