Senin, 17 Oktober 2016

Teori Antropologi tentang Sistem Religi

A.    Pengertian Pendekatan Antropologi
Untuk dapat dimengerti apa itu pendekatan antropologi, maka terlebih dahulu membahas makna tersebut satu persatu. Pendekatan dalam bahasa inggris, approach yang diartikan dengan mendekat, datang, menjelang dan tiba.  Namun yang dimaksud disini pendekatan adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati disiplin ilmu karena tujuan utama pendekatan ini untuk mengetahui sebuah kajian dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam mengkaji atau peneliti itu sendiri. Setiap disiplin ilmu mempunyai kekhususan metodologi sebab tidak ada sebuah metode yang dapat digunakan dalam semua disiplin ilmu. Jika seorang pengkaji telah menentukan pendekatan yang di gunakannya, akan dengan mudah terbaca langkah-langkah metodelogis yang di gunakannya.
Adapun antropologi dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yaitu, anthropos berarti manusia dan logos berarti studi. Jadi, antropologi merupakan suatu studi disiplin ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang makhluk manusia. Namun secara istilah antropologi diartikan, ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai satu kesatuan fenomena bio-sosial secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial budaya. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi dalam memahami agama yaitu sebagai salahsatu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Agama sebagian dari budaya, keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, antropologi digunakan sebagai alat untuk meneliti dan mengkaji agama dalam antropologi. Selain itu juga, sejak awal permulaan sejarah umat manusia, agama sudah terdapat pada semua lapisan masyarakat dan seluruh tingkat kebudayaan. 

B.     Definisi Agama Menurut Para Antropolog
Dalam mendefinisikan agama para tokoh sangat mengalami kesulitan. Dari segi etimologi mungkin ada kesepakatan diantara tokoh agama. Tetapi dalam mendefinisikan secara istilah sudah masuk pada subjektifitas para pemeluknya. Maka sangat sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut dialami oleh para tokoh antropolog dalam mendefinisikan agama. Pendapat para antropolog mengenai agama sebagai berikut:
1.      Edward Burnett Tylor (1832-1917)
Tylor mengusulkan definsi agama adalah kepercayaan pada makhluk spiritual (a belief in spritual being). Tylor menganggap karakteristik yang dimiliki oleh semua agama besar maupun kecil, kuno atau modern, adalah kepercayaan kepada ruh yang berfikir, bertindak dan merasa seperti pribadi manusia. Esensi agama menurut Tylor adalah animisme, yakni kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda.
Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal, yaitu (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Di situlah manusia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu; (2) peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmani dan rohani atau jiwa (Tylor, 1871/1903; 429).
2.      Sir James George Frazer (1854-1941)
Frazer sebenarnya tidak mengajukan definisi agama sendiri. Ia sepenuhnya sepakat dengan definisi Tylor, hanya ia ingin membedakan agama dengan magic sebagai sistem yang menurutnya mendahului agama. Agama sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan manusia (frazer, 1932: 693). Sedangkan magic dilihatnya sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang dipahami. Jadi magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudoscience). Pada masyarakat primitif, kata Frazer, ketika kondisi alam tidak mengakomodir kepentingan manusia, maka usaha mereka untuk memahami dan mengubahnya mengambil magic yakni pola tindakan manusia untuk mencapai tujuannya dengan cara memperdayakan kekuatan supranatural. Namun kemudian setelah magic dianggap sering gagal maka manusia beralih pada agama.
3.      Lucien Levy-Bruhl (1857-1945)
Bruhl mengkritik pendapat Tylor tentang agama. Bagi Bruhl, manusia primitif terlalu bodoh untuk bisa berfikir abstrak tentang adanya jiwa dibalik setiap benda-benda seperti yang diteorikan oleh Tylor. Menurut Bruhl, agama adalah adalah pandangan dan jalan hidup manusia priminif. Agama, sebagaimana megic, tidak pernah mampu mengantarkan kehidupan manusia kepada kemajuan.
4.      Radcliffe Brown (1881-1955)
Brown mengemukakan definisi agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.
5.      Clifford Greetz (1926)
Geerz memandang agama sebagai sistem budaya, maksudnya: ”Sebuah sistem simbil yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, perfasiv dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi ini dengan suatu aura fakutalitas semacam itu sehingga suasan hati dan motivasi tampak realistik secara unik”.
Dari berbagai definisi agama yang dikemukakan para tokoh antropog diatas, dapat kita simpulkan bahwa agama adalah kepercayaan pada sesuatu yang gaib diyakini mempunyai kekuatan yang lebih. Dan dapat mendorong pada diri seseorang untuk berbuat kebaikan.
C.     Sistem Religi
1.      Perhatian Ilmu Antropologi terhadap Religi
Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, ketika bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:
a)      Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahir;
b)      Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi.
Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian.
Masalah asal mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah penyebab manusia percaya pada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.
Dalam memecahkan masalah asal mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat pada sesuatu yang dianggapnya sisa-sisa bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha menyusun teori-teori tentang asal mula agama.
2.      Unsur-unsur Khusus dalam Sistem Religi
Dalam membahas pokok antropologi tentang religi, sebaiknya juga di bocarakan sistem ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi dua pokok khusus, yaitu: (1) sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib.
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Mengenai masalah definisi emosi, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam buku ini. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau gagasan, mendapat suatunilai keramat (sacred value) dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan, atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.
            Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai cirri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu:
a)      Sistem keyakinan;
b)      Sistem upacara keagamaan;
c)      Suatu umat yang menganut religi itu.
Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak subunsur. Mengenai ini para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang makhluk-makhluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain.
            Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusasteraan suci.
            Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah:
a)      Tempat upacara keagamaan dilakukan;
b)      Saat-saat upacar keagamaan dijalankan;
c)      Benda-benda dan alat upacara;
d)     Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua adalah aspek mengeni saat-saat beribadah, hari-hari keramat suci dan sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta biksu, syaman, dukun dan lai-lain,
            Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
a)      Bersaji;
b)      Berkorban;
c)      Berdoa;
d)     Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa;
e)      Menari tarian suci;
f)       Menyanyi nyanyian suci;
g)      Berprosesi atau berpawai;
h)      Memainkan seni drama suci;
i)        Berpuasa;
j)        Intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius sampai kerasukan, mabuk;
k)      Bertapa;
l)        Bersemedi.
Di antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam suatu agama, tetapi ntidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Selain itu, suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan doa.
            Subunsur ketiga dalam religi adalah subunsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan. Secara khusus subunsur itu meliputi masalah pengikut suatu agama, hubungannyasatu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari; dan akhirnya subunsur itu juga meliputi masalah seperti organisasi dari para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya.
            Pokok-pokok khusus dalam sistem ilmu gaib (magic) pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama artinya; ada pemimpin atau pelakunya, yaitu dukun; ada saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya juga pasa hari-hari keramat); ada peralatan untuk malakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu untuk pelaksanaan upacara. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib sering kali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekuatan ayam yang hendak diadu dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu ia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
            Walaupun pada akhirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, walaupun sukar untuk menentukan batas dari upacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok  itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri kepda Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain sama sekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya.

Referensi :
Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar