Sabtu, 08 Oktober 2016

Bidang Kajian Filsafat


Filsafat merupakan telaahan yang ingin menjawab berbagai persoalan secara mendalam tentang hakikat sesuatu, atau dengan kata lain, filsafat adalah usaha untuk mengetahui sesuatu. Kegiatan penelaahan, penalaran, atau argumentasi secara mendasar tentang masalah-masalah tertentu disebut filsafat, dan pendalamannya ditekankan pada bidang yang lebih diminati dari pada masalah-maslaah lain.
            Secara umum bidang kajian filsafat cukup luas dan meliputi berbagai jenis bidang kajian. Menurut Titus, yang dikutip oleh Anna Pudjiadi (1987: 4) cabang-cabang tradisional yang dibahas dalam filsafat meliputi logika, metefisika, epistemologi, dan etika. Sedangkan menurut Muzayyin Arifin (2003: 6), ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
1.      Kosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, serta proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata, dan sebagainya.
2.      Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya.
3.      Phyilosophy of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan bagaimana hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebiasaan berkehendak manusia, dan sebagainya.
4.      Epistemologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari ide-ide (aliran idealisme), atau dari Tuhan (aliran teologisme), termasuk juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana kebenaran pengetahuan kita.
5.      Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).
Dalam beberapa literature, di antaranya menurut Jujun S. Suria Sumantri (2003: 33) dan Anna Pudjiadi (1987: 15), secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian utama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pertama, ontologi. Ontologi bersal dari bahasa Yunani, “ontos” yang berarti “yang ada” dan “logos” yang berarti “penyelidikan tentang”. Jadi, ontologi membicarakan asas-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui (penyelidikan tentang) esensi yang terdalam dari “yang ada”. Ontologi sering disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Sementara Langeveld menamai ontologi ini dengan teori tentang keadaan. Hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, kebenaran sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah. Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Misalnya: Objek apa yang ditelaah ilmu? Apa wujud yang hakiki dari objek tersebut hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Teknik apa yang membantu kita mendapatkan ilmu? Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisme, dan agnotisme.
Kedua, epistemologi. Epistemologi merupkan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan filsafat pengetahuan, karena ia membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan. Istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 M.
Pengetahuan manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan ini diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Melalui epistemologi diharapkan terjawab pertanyaan tentang “bagaimana”. Misalnya: Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Bagaimana cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat? Epistemologi ini terbagi atas beberapa aliran, yaitu empirisme, nasionalisme, dan intuisionisme.
Ketiga, aksiologi. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian aksiologi ini adalah disebut dengan teori nilai. Teori nilai ini membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. Untuk menggunakan kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal: 1) filsafat sebagai kumpulan teori, 2) filsafat sebagai pandangan hidup, dan 3) filsafat sebagai metode pemecahan masalah.
Sebagai kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah filsafat sebagai metodologi memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat ada untuk menyelesaikan masalah secara mendalam, artinya ia memecahkan masalah dengan mencari penyebab munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam hubungan yang seluas-luasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak sudut pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu amat luas dan urgen sekali, di manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana pasti ada gunanya.
Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya: Mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan? Mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral? Dan sebagainya, yang semuanya menunjukkan bahwa aksiologi ini diperuntukkan dalam kaitannya untuk mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya, aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak digunakan secara kurang terkontrol. Berbeda dengan ontologi dan epistemologi sudah sejak lama dikenal di dalam kajian filsafat sebagai kajian dasar dari cabang-cabang tradisional filsafat.
Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta seberapa jauh landasan-landasan dari ketiga aspek ini dikembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
Terhadap setiap jenis pengetahuan dapat diajukan pertanyaan tentang: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut maka kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat di dalam khazanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, dan agama serta dapat meletakkannya pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan manusia.
Tanpa mengenal ciri-ciri setiap pengetahuan dengan benar, maka bukan saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, namun bahkan kita bisa salah memanfaatkannya. Ilmu dapat dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, dan seterusnya. Demikian pula di dalam ilmu pendidikan, menurut Nursid Sumaatmadja (2002: 43) dari sudut pandang metodologis-filosofis, pendidikan sebagai suatu sosok kajian juga ditelaah dari tiga bidang kajian tersebut, yaitu ontologi yang berkenaan dengan “apa yang ingin diketahui?”, epistemologi yang berkenaan dengan “bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang kegiatan dan proses pendidikan?”, serta dari aspek aksiologinya berkenaan dengan “nilai-nilai apa yang dapat diungkapkan dari proses pendidikan tersebut?”.

Referensi :
Sumanto. 2011. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar