Senin, 03 Oktober 2016

Sikap Belajar Peserta Didik

A.   Sikap dan Belajar
Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu berbeda satu sama lain. Trow[1] mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat. Di sini Trow lebih menekankan pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap suatu objek. Sementara itu Allport seperti dikutip oleh Gable[2]mengemukakan bahwa sikap adalah susuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu.
Definisi sikap menurut Allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak muncul seketika atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang.Harlen[3] mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu.
Jadi di sini makna sikap yang terpenting apabila diikuti oleh objeknya. Misalnya sikap terhadap Undang-Undang Pemilu, sikap terhadap sistem kampanye, dan lain-lain. Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu. Sikap bukan tindakan nyata (overt behavior) melainkan masih bersifat tertutup (covert behavior). Cardno mendefinisikan sikap sebagai berikut: Attitude entails an existing predisposition to response to social object which, in interaction with situational and other dispositional variables, guides and directs the overt behavior og the individual.[4]
            Dalam istilah kecenderungan (predisposition), terkandung pengertian arah tindakan yang akan dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu objek. Arah tersebut dapat bersifat mendekati atau menjauhi. Tidakan mendekati atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan, dan lain-lain), dilandasi oleh perasaan penilaian individu yang bersangkutan terhadap objek tersebut. Misalnya, ia menyukai atau tidak menyukainya, menyenangi atau tidak menyenanginya, menyetujui atau tidak menyetujui.
            Adapun belajar menunjuk kepada suatu cabang belajar[5] yaitu belajar dalam arti sempit, khusus untuk mendapatkan pengetahuan akademik. Belajar menurut Morgan dkk. Merupakan setiap perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman.[6]
            Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil belajar yang dicapai peserta didik.
Biggs (1991) dalam pendahuluan Teaching for Learning: The View from Cognitive Psychology mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu: rumusan kuantitatif; rumusan institusional; rumusan kualitatif. dalam rumusan-rumusan ini, kata-kata seperti perubahan dan tingkah laku tak lagi disebut secara eksplisit mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan.
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.
Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses mengajar. Ukurannya ialah, semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa, belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Belajar memiliki arti penting bagi siswa dalam: 1) Melaksanakan kewajiban keagamaan; 2) Meningkatkan derajat kehidupan; dan 3) Mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Dalam perspektif psikologi, antara belajar, memori, dan pengetahuan terdapat hubungan yang tak terpisahkan. Dalam perspektif agama (Islam) belajar untuk memperoleh pengetahuan yang menggunakan memori dan sensori itu hukumnya wajib.
Teori-teori pokok mengenai belajar terdiri atas: 1) koneksionisme; 2) pembiasaan klasik; 3) pembiasaan perilaku respons; 4) pembiasaan asosiasi dekat; 5) teori kognitif; 6) teori belajar sosial. Teori kesatu, kedua, ketiga dan keempat bersifat behavioristik (hanya bahwa belajar adalah peristiwa mental bukan semata-mata behavioral). Teori keenam berbasis teori behaviorisme tetapi dipandang moderat karena memperhatikan arti penting aspek kognitif manusia.
Menurut aliran behaviorisme, setiap siswa lahir tanpa warisan/pembawaan apa-apa dari orangtuanya, dan belajar adalah kegiatan refleks-refleks jasmani terhadap stimulus yang ada (S-R theory) serta tidak ada hubungannya dengan bakat dan kecerdasan atau warisan/pembawaan. Menurut aliran kognitif, setiap siswa lahir dengan bakat dan kemampuan mentalnya sendiri. Faktor bawaan ini memungkinkan siswa untuk menentukan merespons atau tidak terhadap stimulus, sehingga belajar tidak bersifat otomatis seperti robot.
Tahap belajar menurut Bruner, meliputi 1) informasi (penerimaan materi); 2) transformasi (pengubahan materi dalam memori); 3) evaliasi (penilaian penguasaan materi). Menurut Wittig, tahap belajar meliputi: 1) acquisition (perolehan materi); 2) stroage (proses penyimpanan); 3) retrieval (memproduksi/mengungkapkan kembali materi dan memori). Menurut A. Bandura, tahap-tahap belajar meliputi: 1) perhatian (attentional phase); 2) penyimpanan dalam ingatan (retention phase); 3) reproduksi (reproduction phase); 4) motivasi (motivation phase) yang kemudian menghasilkan kinerja tertentu.
B.     Konsep Sikap Belajar
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, sikap belajar dapat diartikan sebagai kecenderungan perilaku seseorang tatkala ia mempelajari hal-hal yang bersifat akademik.
Brown dan Holtzman mengembangkan konsep sikap belajar melalui dua komponen, yaitu Teacher Approval (TA) dan Educational Acceptance (EA). TA berhubungan dengan pandangan siswa terhadap guru-guru; tingkah laku mereka di kelas; dan cara mengajar. Adapun Education Acceptance terdiri atas penerimaan dan penolakan siswa terhadap tujuan yang akan dicapai; dan materi yang disajikan, praktik, tugas, dan persyaratan yang ditetapkan di sekolah.
Sikap belajar penting karena didasarkan atas peranan guru sebagai leader dalam proses belajar mengajar. Gaya mengajar yang diterapkan guru dalam kelas berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa.[7] Dalam hubungan ini, Nasution menyatakan bahwa hubungan tidak baik dengan guru dapat menghalangi prestasi belajar yang tinggi.[8] Sikap belajar bukan saja sikap yang ditujukan kepada guru, melainkan juga kepada tujuan yang akan dicapai, materi pelajaran, tugas, dan lain-lain.
Sikap belajar siswa akan berwujud dalam bentuk perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka terhadap hal-hal tersebut. Sikap seperti itu akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar yang dicapainya. Sesuatu yang menimbulkan rasa senang, cenderung untuk diulang, demikian menurut hukum belajar (law of effect) yang dikemukakan Thorndike. Pengulangan ini (Law of exercise) penting untuk mengukuhkan hal-hal yang telah dipelajari.[9]
Manifestasi perilaku belajar tampak dalam: 1) kebiasaan seperti siswa belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar; 2) keterampilan seperti menulis dan berolah raga yang meskipus sifatnya motorik keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi; 3) pengamatan yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga siswa mampu mencapai pengertian yang benar; 4) berpikir asosiatif yakni berpikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat; 5) berpikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” dan “mengapa”; 6) sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan; 7) inhibisi (menghindari hal yang mubadzir); 8) apresiasi (menghargai karya-karya bermutu); 8) tingkah laku afektif yakni tingkah laku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
C.    Peranan Sikap Belajar
Sikap belajar ikut menentukan intensitas kegiatan belajar. Sikap belajar yang positif akan menimbulkan intensitas kegiatan yang lebih tinggi dibanding dengan sikap belajar yang negatif. Peranan sikap bukan saja ikut menentukan apa yang dilihat seseorang, melainkan juga bagaimana ia melihatnya.
Segi afektif dalam sikap merupakan sumber motif.[10] Sikap belajar yang positif dapat disamakan dengan minat[11], sedangkan minat akan memperlancar jalannya pelajaran siswa yang malas, tidak mau belajar dan gagal dalam belajar, disebabkan oleh tidak adanya minat.[12]
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap belajar ikut berperan dalam menentukan aktivitas belajar siswa. Sikap belajar yang positif berkaitan erat dengan minat dan motivasi. Oleh karena itu, apabila faktor lainnya sama, siswa yang sikap belajarnya positif akan belajar lebih aktif dan dengan demikian akan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang sikap belajarnya negatif.
Cara mengembangkan sikap belajar yang positif:
1.      Bangkitkan kebutuhan untuk menghargai keindahan, untuk mendapat penghargaan, dan sebagainya;
2.      Hubungkan dengan pengalaman yang lampau;
3.      Beri kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik;
4.      Gunakan berbagai metode mengajar seperti diskusi, kerja kelompok, membaca, demonstrasi, dan sebagainya.
Jenis-jenis belajar meliputi belajar: 1) abstrak; 2) keterampilan; 3) sosial; 4) pemecahan masalah; 5) rasional; 6) kebiasaan; 7) apresiasi; 8) pengetahuan/studi.
Ciri khas dalam belajar meliputi perubahan-perubahan yang bersifat: 1) intensional (disengaja); 2) positif dan aktif (bermanfaat dan atas hasil usaha sendiri); 3) efektif dan fungsional (berpengaruh dan mendorong timbulnya perubahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar terdiri atas: 1) faktor internal (dari dalam diri siswa); 2) faktor eksternal (dari luar diri siswa); 3) faktor pendekatan belajar siswa. Faktor internal meliputi: 1) aspek fisiologis seperti keadaan mata dan telinga; 2) aspek psikologis seperti inteligensi. Fantor eksternal meliputi: 1) lingkungan sosial; 2) lingkungan nonsosial (rumah, gedung sekolah, dan sebagainya). Pendekatan belajar dapat dibagi menjadi tiga macam tingkatan, yaitu: 1) pendekatan tinggi (speculative dan achieving); 2) pendekatan menengah (analitical dan deep); 3) pendekatan rendah (reproductive dan surface).
D.    Penerapan di Bidang Administrasi Pendidikan
Contoh variabel bidang Administrasi Pendidikan yang berkaitan dengan konsep/variabel sikap., yaitu :
1.      Sikap sosial di lingkungan kerja,
2.      Sikap guru terhadap kebijaksanaan awal “Kepala Sekolah Baru”, dan
3.      Sikap kerja.

a.      Sikap Sosial di Lingkungan Kerja
Teori yang melandasi sikap sosial seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa kecenderungan tindakan seseorang terhadap sesama di suatu lingkungan tertentu disebut sikap sosial.[13] Sikap tersebut merupakan hasil kecenderungan reaksi terhadap lingkungannya, termasuk di dalamnya lingkungan tempat bekerja. Tannenbaum yang dikutip Hicks dan Gullet menyebutkan sikap sosial itu sebagai utilitas organisasi yang penting, karena dapat memberi pertukaran kepada kemajuan ekonomi.[14] Dari dua pndapat di atas, ternyata sikap sosial dalam komunitas kerja sangat penting untuk menggerakkan kehidupan organisasi.
Berdasarkan konsep yang dikembangkan dua ahli tersebut, dapat diidentifikasi seorang pekerja/administator yang memiliki sikap sosial yang baik akan ditandai dengan :
1.      Kesadaran manusia terhadap hakikat hidupnya di tengah-tengah teman sejawat,
2.      Kesadaran akan kelemahannya, sehingga segala aspek tergantung sesama,
3.      Kecenderungan memiliki kerelaan untuk selalu dapat memelihara hubungan baik dengan sesama, dan
4.      Kecenderungan memiliki kerelaan untuk menyenangkan orang lain.[15]

b.      Sikap Guru terhadap Kebijaksanaan Awal Kepala Sekolah Baru
Sikap ini dapat diamati melalui respons guru, yaitu berupa kecenderungan untuk bereaksi terhadap semua kebijaksanaan awal yang dikeluarkan oleh kepala sekolah yang baru. Kebijaksanaan awal kepala sekolah yang bar merupakan objek sikap.
Mengapa penelitian ini penting? Menunjuk pendapat Wayne dan Faules yang mengatakan bahwa proses difusi inovasi dalam organisasi akan berhasil, jika penyesuaian diri karyawan terhadap kebijaksanaan berhasil. Hubungan antara difusi inovasi usaha dengan kebijaksanaan terletak pada kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pejabat yang baru memangku jabatan tertentu. Memerlukan difusi, karena dalam menjalankan sistem, ada kecenderungan organisasi tersebut dalam hal-hal tertentu sifatnya rutin/selalu dilakukan dengan cara-cara yang lama. Dengan pejabat organisasi baru, maka kebijakan cenderung akan mengalami perubahan baik cara maupun pendekatannya. Jika pekerja mengalami hambatan beradaptasi dengan pimpinan baru, maka kebijakan tersebut juga akan gagal dilaksanakan, karena kurang mendapat dukungan dari pekerja. Hal itu berarti sikap terhadap kebijaksanaan merupakan salah satu ruang lingkup riset, khususnya untuk objek yang berstatus pejabat baru.
Dengan memperhatikan makna konsep sikap di atas, sikap guru terhadap kepala sekolah yang baru ditandai dengan kecenderungan bereaksi tentang :
1.      Keputusan menerapkan disiplin sekolah dengan ketat;
2.      Keputusan larangan memberi les privat;
3.      Seragam sekolah, dan lain-lain.

c.       Sikap terhadap Tugas
Contoh lain, yaitu sehubungan dengan kecenderungan tingkah laku, Harlen mengemukakan bahwa terdapat lima ciri khas kecenderungan tingkah laku seseorang yang bisa dijadikan indikator sikap terhadap tugas, yaitu :
1.      Hasrat ingin tahu,
2.      Respek terhadap fakta,
3.      Fleksibel dalam berpikir dan bertindak,
4.      Mempunyai pikiran kritis, dan
5.      Peka terhadap lingkungan kehidupan.
Hasrat ingin tahu adalah sifat seseorang yang ingin mengetahui apa saja yang ada di sekitarnya. Di dalam pikiran orang tersebut selalu timbul berbagai pertanyaan, di mana ia selalu berusaha untuk mencari jawabannya, baik dengan bertanya kepada orang lain maupun dengan mencari sendiri jawabannya. Dalam proses penyelesaian tugas sifat ingin tahu ini sangat membantu pimpinan dalam mengelola perusahaan.
Respek kepada fakta adalah suatu sifat di mana pekerja selalu merasa tidak puas dengan pertanyaan atau penjelasan pimpinan tanpa fakta yang mendasari pertanyaan itu. Untuk menemukan fakta di atas, dituntut suatu ketekunan, pandangan yang terbuka, dan keinginan untuk memikirkan atau mempermasalahkan ide-ide yang tidak sesuai dengan fakta.
Seorang pekerja tidak menerima begitu saja apa yang diberikan oleh pimpinannya, tetapi ingin mengetahui lebih jauh lagi. Dengan demikian, pekerja menjadi lebih aktif dan kreatif dalam menyelesaikan tugas. Fleksibel dalam berpikir dan bertindak adalah suatu sifat seseorang yang tidak kaku, moderat, mau diajak kompromi, dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mempunyai pikiran kritis adalah suatu sifat pada diri seseorang yang tidak mau menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh orang lain, tanpa pemikiran rasional dan kritis. Pekerja selalu mempunyai ide baru dan berkeinginan untuk meningkatkan atau mengubah ide lama yang tidak sesuai lagi dengan kenyaaan yang ada sekarang. Dalam kegiatan diskusi biasanya pekerja yang mempunyai pikiran kritis selalu aktif dalam menanggapi pernyataan yang dilontarkan oleh pimpinan, cepat tanggap dan selalu dinamis dalam perilakunya. Dalam mempelajari hal yang baru, sifat ini sangat diperlukan sebab untuk bisa mempelajari dengan baik diperlukan sifat yang kritis dan dinamis. Peka terhadap lingkungan dan kehidupan adalah suatu sifat seseoramg di mana ia selalu sensitif terhadap apa saja yang ada di sekitarnya.
Pekerja yang mempunyai sifat seperti ini biasanya cepat tanggap dalam setiap permasalahan yang dihadapinya, tidak bersifat acuh atau masa bodoh, selalu bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya, dan selalu mencintai lingkungan.
Saifuddin Azwar[16] (mengutip teori fungsional Ktz) mengemukakan bahwa salah satu fungsi sikap bagi individu adalah fungsi instrumental atau fungsi manfaat. Maksudnya adalah setiap individu akan bersikap positif terhadap hal-hal yang mendatangkan manfaat bagi dirinya, dan bersikap negatif terhadap hal-hal yang tidak membawa manfaat atau bahkan dapat membahayakan dirinya. Jika dikaitkan dengan penilaian ini maka seseorang akan bersikap positif terhadap tugas, jika ia merasa dan menganggap tugas tersebut bermanfaat bagi pengembangan dirinya. Sebaliknya orag tersebut akan bersikap kurang positif atau bahkan bersikap negatif terhadap tugas jika ia merasa tugasnya kurang bermanfaat atau bahkan menghalanginya.



Bahan Bacaan :
Djali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhibin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada



[1]Trow, op cit., hlm. 109.
[2]Robert K. Gable, Instrument Development In Affective Domain, (Boston: Kluwer).
[3]Wyne Harlen, Teaching and Learning Primary Science, (London: Row Publisher, 1985), hlm. 44-45.
[4]Mar’at. Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya, (Jakarta: Ghalia, 1982), hlm. 10.
[5]Good, Carter V, Dictonary of Education, (New York: McGraw-Hill Book Cpmpany, 1973), hlm. 564.
[6]Tuti Soekamto & Udin Sarpudin Winataputra, “Teiri Belajar”, Tepti Belajar dan Model Pembelajaran, (Jakarta: PAU PPAI UT., 1994), hlm. 8.
[7]Bennett Nevile, et.al., Teaching Styles and Pupil Progress, (London: Open Books Publishing, Ltd., 1976), hlm. 45.
[8]Nasution, S. Azaz-azaz Kurikulum, (Bandung: Terate, 1978), hlm. 58.
[9]Staton, Thomas F., Cara Mengajar dengan Hasil yang Baik, terjemahan oleh Tahalele (Bandung: Diponegoro, 1978). Hlm. 27.
[10]Sri Mulyani Martaniah, Motif Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hlm. 51.
[11]Ibid., hlm. 34-37.
[12]Nasution, S., Didaktik Azaz-Azaz Mengajar, (Bandung: Jemmares, 1982), hlm. 85.
[13]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1976), hlm.20.
[14]Hick G. Herbert & Gullet, G. Ray, Organisasi Teori dan Tingkah Laku, terjemahan oleh Kartasapoetra, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 8-12.
[15]Indikator ini juga dijadikan kriteria EQ sebagai bagian dari sikap sosial oleh Patricia Patton, seperti dalam Patton, op. cit. hlm. 52-55.
[16]Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar